Oleh Viona Wijaya
Telepon genggam saya berbunyi. Nada deringnya mengabari saya bahwa ada surat elektronik (surel) yang baru masuk. Jantung saya berpacu lebih cepat setelah melihat nama pengirim surel tersebut. Surel itu dikirim oleh penyunting tulisan Komunitas Ubi (Kombi).
Pengalaman itu saya alami hampir setiap bulan sejak Maret 2011, sejak saya mulai ikut menulis untuk Kombi. Bulan demi bulan, saat-saat menerima suntingan tulisan selalu menjadi momen “menegangkan” bagi saya.
Di Kombi, setiap tulisan para peladang (istilah Kombi untuk “penulis”) harus melewati proses penyuntingan yang, menurut saya, luar biasa ketat. Tata bahasa, pilihan kata, kesinambungan alur tulisan, dan juga kelogisan argumen adalah aspek-aspek yang dikenai pisau sunting.
Adalah wajar jika kami, para peladang, merasa deg-degan ketika menerima hasil suntingan. Pasalnya, selalu ada kemungkinan kami harus memperbaiki atau bahkan merombak total tulisan apabila terdapat masalah di sana sini.
Kalau suntingan tulisan hanya sedikit, tentu kami merasa puas sekaligus lega. Tapi kalau suntingannya banyak, apalagi jika argumen-argumen yang digunakan dianggap kurang logis, setiap peladang mesti memeras otak guna menambal “lubang-lubang logika” dalam tulisannya. Ini, bagi saya, kerap kali lebih sulit dibandingkan dengan membuat sebuah tulisan baru.
Kadangkala proses perbaikan tulisan tak selesai hanya dengan sekali jalan. Demi mendapat hasil terbaik, sebuah tulisan bisa saja baru layak muat setelah melewati beberapa kali proses perbaikan.
Proses penyuntingan yang demikian ketat membuat saya berani mengatakan bahwa menulis di Kombi bukan perkara mudah. Meskipun bentuk publikasi yang saat ini digunakan adalah blog, tulisan yang dimuat tak pernah dibuat ala kadarnya.
Para peladang dituntut untuk memiliki ide-ide segar dan berani mengambil sudut-sudut bidik unik terhadap tema yang telah ditetapkan. Ide-ide itu kemudian mesti dikemas dalam bentuk yang mudah dipahami oleh pembaca. Jangan sampai tulisan yang muncul malah membuat kening pembaca berkerut karena sulit mengerti. Dengan demikian, tulisan-tulisan itu diharapkan benar-benar mencerahi para pembaca dan tak jadi ajang pamer pengetahuan belaka.
Sepanjang setahun perjalanan Komunitas Ubi, komitmen terhadap mutu ini diterapkan secara konsisten. Jika para peladang tak berhasil memenuhi standar mutu yang dikehendaki, tentu ada “konsekuensi” yang harus dihadapi. Beberapa tulisan, misalnya, mesti gugur atau batal dimuat karena tak berhasil diperbaiki hingga tenggat yang ditentukan.
Kekonsistenan menerapkan standar tinggi terhadap tulisan ini diharapkan dapat memacu setiap peladang untuk terus meningkatkan mutu tulisannya. Yang pasti, setiap peladang tidak boleh punya mental gampang menyerah. Ketika tulisan kita menerima banyak usulan perbaikan, kita pantang berkecil hati. Toh semua itu dibuat agar tulisan kita dapat menjadi lebih baik.
Di sisi lain, tentu penyunting pun memiliki tugas yang berat dalam proses kejar mutu. Melalui tulisan ini saya juga hendak mengapresiasi kerja keras penyunting. Mutu tulisan yang baik tidak mungkin tercapai tanpa kerja keras dan kesabarannya menyunting tulisan kami. Penyunting jugalah yang paling rajin mengingatkan kami, “Buat tulisan yang bermutu!”
Kisah mengenai proses penyuntingan tulisan di Kombi ini mudah-mudahan dapat mendorong setiap kita untuk selalu mengerahkan yang terbaik dalam berkarya. Mental membuat segala sesuatu ala kadarnya, asal jadi, apalagi sekadar menjiplak apa yang dianggap sukses, mesti kita buang jauh-jauh. Hal ini merupakan salah satu permasalahan besar yang dihadapi bangsa kita.
Di tengah generasi serba-instan, kita kekurangan insan-insan yang berani membuat karya orisinil serta bersedia bekerja keras menghasilkan karya bermutu di berbagai bidang kehidupan. Kondisi ini menantang kita untuk tampil beda: memaksa diri dan “membayar harga” guna menyajikan karya-karya luhung yang dapat membangun bangsa.
Kejar mutu! Semangat menelurkan karya bermutu akan terus bergelora di Komunitas Ubi. Kita berharap semangat ini juga merambat ke hati sekalian pembaca Kombi. Selepas satu tahun berkarya, Kombi telah—dan akan terus—menyajikan tulisan-tulisan yang menyemangati, mencerahi, maupun mengoreksi kita sekalian demi kebaikan bangsa dan Gereja. Salam Ubi!
.
Viona Wijaya adalah seorang mahasiswa jurusan hukum yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.