Oleh Victor Sihombing
Hari rasanya masih terlalu pagi ketika kami semua berkumpul di lapangan. Kami dipaksa berbaris rapi dengan teriakan-teriakan keras oleh beberapa orang kakak kelas. Berbalut kaus berwarna biru yang seragam dan muka lugu selepas lulus SMU, kami mendengar kalimat-kalimat ini, “Junior! Undang-undang yang berlaku di tempat ini hanya berisi dua pasal. Satu, senior selalu benar. Dua, kalau senior salah, lihat pasal satu.”
Tidak asing di telinga, bukan?
Kita menyebutnya sebagai “Hukum Senioritas”. Hukum ini, dalam segala bentuk dan interpretasinya, memberi hak kepada senior untuk dihormati dan berkuasa, sementara pada saat yang sama memberi kewajiban kepada junior untuk tunduk dan patuh.
Ada yang setuju, tetapi ada juga yang terang-terangan menolak. Maka ketegangan pun sering kali melandasi hubungan antara senior dan junior. Mereka yang merasa dirugikan atau sakit hati malah berpikir bahwa hubungan senior-junior itu kolot dan perlu dihapuskan.
Sayangnya, itu tidak mungkin. Itu sudah pola dasar alam semesta. Ada yang muncul lebih dahulu, dan ada yang muncul kemudian. Pasti ada kakak, dan pasti ada adik. Ada anak sulung dan ada anak bungsu.
Kebudayaan Timur malah memberi ruang khusus kepada orang-orang yang lebih tua. Mereka punya hak untuk didengarkan oleh yang lebih muda. Memang, di dalam sebuah organisasi, ada kemungkinan seorang senior berusia lebih muda. Hanya saja, dalam kehidupan sehari-hari, umumnya para senior lebih banyak umurnya.
Tidak bisa dipungkiri, para senior punya sebuah keuntungan, yaitu pengalaman. Pengalaman inilah yang memberi para senior sebuah kemampuan, yaitu antisipasi. Hidung mereka lebih tajam mencium bahaya kegagalan. Walau demikian, mereka terkadang bersikap lambat, konvensional, atau lembam. Mereka tidak bisa beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan. Keadaan ini membuat mereka dianggap sebagai penghambat untuk bergerak lebih cepat dan berkembang.
Lain halnya dengan para junior yang memang lebih cepat, lebih segar, dan lebih kuat. Bak masakan panas di atas penggorengan, yang harus segera dihidangkan sebelum dingin, demikianlah mereka siap beraksi. Tapi para junior terkadang menemui kegagalan karena hal yang sederhana. Batu yang besar bisa dilewati, tapi kerikil yang kecil malah bisa membuat tersandung. Minimnya pengalaman membuat para junior tidak waspada akan hal-hal kritis yang bisa menghambat mereka untuk maju dengan aman.
Maka tidaklah bijak bila kita membuat jurang antara senior dan junior. Tak sedap rasanya bila ada ketegangan di antara keduanya. Hubungan ini, bila dibuat nyaman, bisa memberi manfaat lebih besar. Kuatnya tenaga dan segarnya ide seharusnya bisa digabungkan dengan antisipasi yang cermat. Kekompakanlah yang perlu dibentuk.
Dunia bulutangkis Indonesia mengamini usulan ini. Di bulan Maret 2012, kita dibuat tersenyum sumringah oleh pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir. Kemenangan Tontowi dan Liliyana di kejuaraan All England menuntaskan dahaga gelar Indonesia. Kita tidak pernah melahirkan juara lagi sejak tahun 2003. Bahkan untuk ganda campuran, Indonesia menjadi juara 33 tahun yang lalu.
Luar biasanya, mereka baru saja dipasangkan pada tahun 2010. Saat itu Tontowi tergolong junior di Pelatnas dan hanya jadi pemain pelapis. Prestasi tertingginya di tahun 2008 dicapai saat memenangkan Vietnam Grand Prix. Liliyana adalah pemain senior. Ia sudah menjadi juara dunia—walau tak pernah memenangkan All England—bersama pasangan lain sejak tahun 2005.
Kini coba lihat kerja sama mereka! Perpaduan pukulan smes keras Tontowi dan permainan net Liliyana yang apik mematikan bagi lawan-lawannya. Pasangan senior-junior ini bahkan menjadi tumpuan harapan Indonesia untuk meraih emas di olimpiade mendatang.
Senior memang tak selalu benar. Bila senior salah, itu hal biasa. Toh hidup tak sependek soal benar dan salah, tapi soal meraih kemenangan ketika tantangan muncul di depan mata. Demi kemenangan tersebut saya yakin kita memerlukan kerjasama yang manis antara senior dan junior. Energi muda berpadu dengan pengalaman yang matang akan mewujudnyatakan sebuah slogan kampanye lama, “Lebih cepat, lebih baik.”
.
Victor Sihombing adalah seorang karyawan di bidang konstruksi fasilitas industri yang tinggal di Depok, Jawa Barat.
.
A very nice point of view 🙂