Oleh Samsu Sempena
Merdeka!
Hari ini genap 67 tahun sejak bangsa Indonesia memaklumkan kemerdekaannya. Beserta kemerdekaan itu, terlontarlah janji untuk kehidupan berbangsa yang lebih baik. Janji ini tersirat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, di antaranya janji untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, sekalipun kemerdekaan kita sudah mendapat pengakuan bangsa-bangsa lain, kita perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah kita sudah benar-benar merdeka di segala bidang? Atau masihkah kita tergantung pada bangsa-bangsa lain?
Tahun 1945, ketika proklamasi kemerdekaan dibacakan, teknologi dunia dan Indonesia belumlah semaju saat ini. Naskah proklamasi diketik menggunakan mesin tik dan foto-foto peristiwa bersejarah itu masih hitam-putih. Alat-alat elektronik belum secanggih sekarang. Bahkan komputer dan internet masih diangan-angankan para penemunya. Namun, hampir tujuh dasawarsa kemudian, ketika bangsa-bangsa lain mengalami peningkatan (eskalasi) teknologi yang signifikan, bagaimana dengan Indonesia?
Mari kita tilik salah satu megaproyek yang sedang dikerjakan di Indonesia: pendataan penduduk Indonesia dalam bentuk Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-e). Proyek ini sangat penting karena segala transaksi, pendaftaran, dan pemeriksaan data yang membutuhkan data penduduk Indonesia akan diakses dari basis data KTP-e ini.
Untuk sukses mendata lebih dari 200 juta jiwa penduduk Indonesia dibutuhkan alat-alat canggih seperti komputer, kamera, pemindai retina, pencetak kartu, dsb dalam jumlah massal. Kita tentu berharap bahwa belanja negara sebesar 5,8 triliun rupiah untuk proyek KTP-e akan meningkatkan gairah ekonomi dalam negeri. Kita juga tentu berharap produk dalam negeri dan tenaga kerja lokal dapat terserap melalui belanja proyek berskala nasional ini.
Akan tetapi, harapan tinggal harapan karena sebagian besar peralatan elektronik yang digunakan ternyata dibeli dari perusahaan-perusahaan asing.1 Sebut saja Hewlett-Packard untuk komputer, Canon untuk kamera, Microsoft untuk sistem operasi komputer, Cisco untuk jaringan, dan lainnya.
Tidak dapat dipungkiri, kita masih tergantung pada negara-negara inovator teknologi seperti Amerika Serikat dan Eropa. Kita masih harus mengandalkan mereka untuk teknologi terbaik. Namun, bagaimana jika kondisi ini dibenturkan dengan janji kemerdekaan yang diungkapkan oleh para bapak bangsa? Bukankah bisa dikatakan bahwa kita belum merdeka di bidang teknologi?
Tidak ada jalan pintas untuk merdeka di bidang teknologi. Kemerdekaan Indonesia sendiri tidak dicapai secara instan: butuh tujuh belas tahun sejak Sumpah Pemuda diikirarkan, belum terhitung waktu pembentukan organisasi-organisasi pemuda yang membidani sumpah itu. Harganya pun tidak murah: darah para pahlawan bangsa dan pemenjaraan bapak-bapak bangsa kita. Demikian pula tidak ada jalan pintas bagi Indonesia untuk merdeka secara teknologi. Ada waktu dan harga yang harus dibayar.
Solusinya memang tidak senaif menolak impor produk teknologi. Jika itu dilakukan, kita malah akan semakin tertinggal! Untuk sementara kita bisa tetap mengimpor, namun lama-lama kita harus berani membuat produk-produk sendiri seperti yang dilakukan Jepang, Cina, dan Korea. Satu contoh yang membangkitkan harapan adalah upaya putra bangsa membuat mobil listrik.2 Ini merupakan langkah strategis yang patut didukung dan dikawal pelaksanaannya.
Kita juga harus memfokuskan pengembangan teknologi yang berkaitan dengan potensi negeri, seperti pariwisata, pertanian, energi, dan lainnya. Sebagai contoh, seorang wisatawan Eropa pernah mencari hotel di Indonesia lewat situs booking.com dan mendapatkan hasil yang tidak begitu akurat. Bukankah kita, sebagai orang yang lebih menguasai medan Indonesia, seharusnya dapat membuat situs serupa dengan data yang lebih akurat?3 Dan kita belum lagi bicara tentang potensi lain yang dimiliki Indonesia. Mengapa harus penggarap dari negeri lain yang mengerjakannya?
Negara-negara maju memang telah menikmati kemerdekaan teknologi sejak puluhan bahkan ratusan tahun lebih awal. Namun, kita tidak perlu berkecil hati. Indonesia perlu bekerja keras dan belajar dengan rendah hati dari negara-negara maju. Bercermin kepada megaproyek KTP-e, mari kita tingkatkan semangat dan kinerja untuk mewujudkan kemerdekaan teknologi di Indonesia.
Kita bisa!
.
Samsu Sempena adalah seorang praktisi teknologi di bidang perjalanan yang tinggal di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Lihat, misalnya, Muhammad Iqbal. “Proyek e-KTP Dorong Penjualan Komputer HP” dalam situs Indonesia Finance Today, 29.09.2011. <http://www.indonesiafinancetoday.com/read/15254/Proyek-e-KTP-Dorong-Penjualan-Komputer-HP>.
2 Lihat Anton William. “Mimpi Mobil Listrik Ahmadi Membelah Ibu Kota” dalam situs Tempo Tekno, 19.07.2012. <http://www.tempo.co/read/news/2012/07/19/061417917/Mimpi-Mobil-Listrik-Ahmadi-Membelah-Ibu-Kota>.
3 Booking.com adalah anak perusahaan Priceline yang telah terdaftar di bursa saham NASDAQ. Booking.com melayani pemesanan tiket pesawat maupun hotel di seluruh dunia secara daring (online) dengan 120 juta pengunjung unik per bulannya.