Oleh Patricia Manurung
Indonesia adalah bangsa yang tidak perlu diragukan lagi kekayaan alamnya. Tanahnya digarap, jadilah perkebunan. Tanahnya digali, ditemukanlah batubara, emas, dan permata. Lautnya menghasilkan beragam jenis binatang dan tumbuhan laut, serta dasar lautnya memendam minyak. Puji dan syukur haruslah kita panjatkan kepada Allah, Sang Pencipta, Ia menempatkan kita di negeri yang begitu raya dengan kekayaan alam.
Pedihnya, kita tidak bebas menikmati kekayaan alam tersebut. Kondisi ekonomi kita seharusnya selaras dengan kaya rayanya alam yang kita miliki. Namun kenyataannya, setelah merdeka 67 tahun, bangsa Indonesia bukan semakin maju perekonomiannya malahan berutang melewati angka Rp 1.800 triliun pada tengah tahun 2012. Alamak! Kita bukan hidup merdeka, tetapi malah menjadi budak utang!
Masalah ekonomi Indonesia memang pelik. Kwik Kian Gie, mantan menteri ekonomi, mengutarakan bahwa beliau sudah tidak tahu lagi bagaimana mencari solusi bagi utang bangsa ini.1 Tetapi apakah pemecahan masalah ini merupakan beban cendekiawan ekonomi saja? Tentu tidak! Segenap rakyat—dengan latar belakang apa pun—dapat ikut berperan demi majunya ekonomi bangsa.
Meski teori ekonomi ada banyak (lengkap dengan tingkat kerumitannya), sesungguhnya ekonomi berpangkal dari pemahaman sederhana yang indah. Ekonomi, kita tahu, adalah ilmu tentang bagaimana masyarakat menggunakan sumber daya yang tersedia untuk memproduksi komoditas berharga dan mendistribusikannya kepada kelompok yang berbeda-beda.2
Kata “ekonomi” diturunkan dari kata Inggris, economy, yang diturunkan dari kata Yunani, oikonomia. Oikonomia artinya peraturan dalam rumah seseorang yang harus ditaati oleh pelayan yang bertugas mengelola rumah itu.3 Dalam Alkitab bahasa Indonesia oikonomia diterjemahkan, antara lain, menjadi “urusan” atau “tugas.”4
Secara analogi, “rumah” bisa kita pahami sebagai dunia ini (atau, secara lebih sempit, sebagai negeri Indonesia), “pemilik rumah” adalah Allah, Sang Pencipta, dan “pelayan” adalah manusia, yakni kita semua. Kita memiliki tugas mulia: mengelola alam Indonesia, yang adalah milik Allah, sebaik-baiknya demi kesejahteraan segenap masyarakat. Dengan demikian, kerusakan ekonomi yang terjadi di Indonesia bukan disebabkan oleh kekayaan alam negeri ini, tetapi oleh manusia-manusia pengelolanya dan cara mereka mengelolanya.
Mengenai manusia-manusia pengelola, sudah menjadi sesal hati khalayak ramai bahwa banyak di antara mereka adalah “laskar” perusahaan asing. Hasil alam Indonesia lebih banyak dinikmati anak bangsa lain, bukan anak ibu pertiwi! Payahnya lagi, hasil yang tersisa untuk anak ibu pertiwi malah banyak diserobot koruptor dalam negeri, orang-orang serakah yang rajin mengumpulkan laba demi dirinya sendiri.
Pemerintah harus bertindak tegas untuk menjaga kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia dari perusahaan asing dan koruptor dalam negeri. Hukum yang mengatur pengelolaan alam harus benar-benar diterapkan secara tegas. Dengan demikian, barulah rakyat Indonesia dapat benar-benar “sampai ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang … adil dan makmur.” Bukankah pemerintah Indonesia ada “untuk memajukan kesejahteraan umum?”5Sejahtera artinya anak ibu pertiwi dapat menikmati kayanya tanah air.
Para pengusaha yang menggarap alam Indonesia harus bertekad memelihara kelestarian lingkungan. Sering kali kita kebablasan menguras alam tanpa mau keluar biaya lebih untuk memeliharanya demi anak cucu kita di hari depan. Setiap industri harus rela menganggarkan dana yang proporsional untuk, misalnya, mengolah limbah dengan baik.
Tabiat konsumtif masyarakat6 pun dapat berdampak buruk pada perekonomian. Kita lebih banyak menggunakan barang (konsumtif) daripada membuat barang (produktif). Padahal hanya lewat langkah produktif, kita baru dapat membayar utang Indonesia. Bisa jadi lantaran iklim konsumtif, kebanyakan industri Indonesia senang langsung menjual bahan mentah—supaya lekas dapat uang—tanpa melakukan langkah produktif-kreatif untuk meningkatkan nilai bahan mentah itu.
Sebagai pemilik Indonesia, Allah tentu ingin kita mengelola “rumah”-Nya dengan baik dan benar. Ini harus kita pandang sebagai “peraturan” umum dari-Nya. Sebagai “pelayan,” sudah sepatutnya kita mengerti dan mematuhi “peraturan”itu. Modal kita adalah tabiat yang baik, sebab jika tabiat kita baik, cara kita mengelola alam pun akan bijaksana dan menyejahterakan masyarakat. Mari kita menjadi “pelayan-pelayan” yang bertabiat baik dalam “rumah” Indonesia!
.
Patricia adalah seorang mahasiswa jurusan manajemen rekayasa industri yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 “Kwik Kian Gie: Utang Indonesia Rp. 1.800 Triliun Hasil Nipu” dalam situs detik finance. <http://finance.detik.com/read/2012/02/21/143351/1847854/4/kwik-kian-gie-utang-indonesia-rp-1800-triliun-hasil-nipu>.
2 Lihat juga Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus. Economics. Boston: The McGraw-Hill Companies, 1998, hal. 3-7.
3 Lihat lema oikonomia, misalnya, di situs Biblos.com. <http://concordances.org/greek/3622.htm>.
4 Contohnya terdapat di Lukas 16:2, “Berilah pertanggung jawaban atas urusanmu (oikonomia),” dan Kolose 1:25, “Aku telah menjadi pelayan jemaat itu sesuai dengan tugas (oikonomia) yang dipercayakan Allah kepadaku.”
5 Pembukaan UUD 1945.
6 Di Indonesia, menurut Litbang Kompas, kelas menengah (mereka dengan pengeluaran 4-10 dolar AS per hari) berjumlah 50,3 persen, kelas menengah atas 3,6 persen (10-20 dolar AS per hari), sisanya 1% kelas atas (di atas 20 dolar per hari), 39,6% kelas bawah (2-4 dolar AS per hari), dan 5,6 % kelas sangat bawah atau kelas yang betul-betul miskin (di bawah 2 dolar AS per hari). Karena jumlahnya yang dominan, kelas menengah mencerminkan wajah Indonesia. Salah satu ciri yang menonjol pada kelas menengah adalah konsumtif dan suka menggunakan barang mewah. Lihat “Kelas Menengah: Konsumtif dan Intoleran” dalam situs KOMPAS.com. <http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/11204529/Kelas.Menengah.Konsumtif.dan.Intoleran>.