Si Kotak Ajaib Harus Bermanfaat Besar

Salam sejahtera di bulan sembilan 2012, Sidang Pembaca!

Kira-kira tiga sampai empat dekade lalu, televisi masih merupakan barang mewah yang langka ditemukan di Indonesia. Hari ini, “kotak ajaib” itu sudah terlalu mudah didapati menyala di seantero negeri, dari kota besar sampai desa pelosok, dari kafe kelas atas sampai warung pinggir jalan. Masyarakat dibanjirinya dengan rupa-rupa hiburan dan informasi—dan dipengaruhinya pula melalui semua itu.

Pengaruh televisi tentu saja bisa positif atau negatif. Di Indonesia, berbagai kalangan terus melantangkan suara demi pengaruh positif si kotak ajaib bagi seluruh lapisan masyarakat. Sayangnya, suara-suara ini kerap terabaikan oleh industri pertelevisian lantaran gelitik peluang meraup laba kerap melengahkan angan terhadap ekses negatif tayangan.

Meskipun begitu, seruan bagi pengaruh positif itu tetap perlu dilancarkan. Bulan ini, Komunitas Ubi memadukan suara bersama mereka yang mengumandangkan seruan tersebut di Indonesia. Lima peladang menyingsingkan lengan baju lalu menuliskan pengamatan dan pemikirannya.

Monalisa Malelak harus melewatkan acara televisi kegemarannya karena ibunda terkasihnya hendak menonton kelanjutan sinetron yang beliau ikuti. Dari pengalaman pribadi ini, ia melukiskan kegandrungan sebagian masyarakat Indonesia kepada sinetron dan menyebutkan dampaknya terhadap kinerja, hubungan antar pribadi, dan pencerdasan keluarga.

Aspek “hitam-putih” yang menonjol dalam sinetron atau filem seri televisi Indonesia menjadi sorotan S.P.Tumanggor. Ia bergabung dengan khalayak yang mencermati dan menyikapi aspek tersebut di media massa dan blog-blog lalu menguak kepayahan etos pikir orang Indonesia di baliknya: tidak realistis-kreatif.

Nova Samosir tergelak oleh humor-humor kocak di layar kaca tetapi sambil mengkritisi cerdas-tidaknya kejenakaan yang ditayangkan. Ia menyayangkan pola melucu banyak pelawak Indonesia yang mengedepankan ejekan fisik. Ia juga berargumen bagi lawakan cerdas yang senonoh, ramah SARA, dan memakai olok-olok terukur.

Apa kemiripan praktik pertelevisian di Indonesia dengan praktik tanam paksa Belanda? Rudy Tjandra membahasnya di seputar istilah “tonton paksa”—kecenderungan industri televisi “memaksa” masyarakat menonton acara yang disuguhkan di layar kaca, entah bermanfaat atau tidak. Ia mengimbau pemirsa peduli dan aktif bersuara untuk mendobrak praktik ini.

Viona Wijaya mematikan pesawat televisi karena jemu akan menu-menu yang tersaji. Sembari jemu, ia merenungkan fakta bahwa tidak sedikit orang Kristen yang berkecimpung bahkan menduduki posisi strategis di dunia pertelevisian Indonesia. Ia pun menyerukan agar daya “garam dan terang” mereka bisa membubuh rasa dan pencerahan pada rupa-rupa tayangan layar kaca.

Segenap suara di atas, dipadukan dengan suara-suara sehati dari berbagai kalangan lain, menderu menuju muara agung berupa pencerdasan dan pemandirian bangsa—untuk berpikir baik dan bertindak baik. Ya, si kotak ajaib bisa dan harus bermanfaat besar bagi Indonesia!

Selamat ber-Ubi.

Penjenang Kombi

One thought on “Si Kotak Ajaib Harus Bermanfaat Besar

  1. kuncenkombi

    Pemindahan komentar dari
    Zwikker | dodi.munandar@yahoo.co.id
    pada 2012/09/17 pukul 20:35

    Baru buka dan baca diblog ini…
    Setuju dengan tulisan mengenasi si “kotak ajaib” tersebut. Sempat menjadi korban dengan suguhan-suguhan ringan yang cendrung kosong #halah dan baru saja beranjak. Sinetron emang semakin mendominasi dalam tayangan-tayangan yang biasanya menjadi santapan rutin bagi kaum wanita khusunya para ibu dan wanita-wanita remaja. Alhasil…tampilan wanita-wanita dalam bertutur kata mengikuti bahasa-bahasa aneh supaya terdengar sedikit gaul dan ngetren #trusgueharusbilangwowgitu. Tapi tetap bersyukur masih ada statsiun-stasiun televisi yang mau singgah diperempatan, dipertigaan, diperduaan, dipersatuan #haha untuk mengeruk informasi dan menyuguhkannya dengan hangat dan menarik. Salam hangat.

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *