Oleh Monica Nirmala
Pasir putih menghampar bagai karpet di pulau kecil ini. Pohon kelapa berjajar rapi, menari mengikuti tiupan angin. Air laut bersih, jernih, tembus pandang. Ribuan ikan berteduh di bawah bayangan dermaga. Berselang-seling tampak terumbu karang dan tanaman laut bergoyang seiring ombak. Angin sepoi-sepoi membuai, sedang saya duduk bersantai. Sungguh pulau yang meneduhkan hati!
Tetapi siapa yang tahu pulau ini?
Namanya Pulau Sawi, satu bagian dari gugusan kepulauan di Kecamatan Kendawangan, Ketapang, Kalimantan Barat. Pulau kecil berukuran hampir 500 Ha ini asing di telinga wisatawan lokal seperti saya—dan mungkin juga Anda. Berdekatan dengannya ternyata terdapat 33 pulau kecil lain. Salah satunya adalah Pulau Gambar. Namanya langsung mengingatkan saya kepada berita bahwa pulau ini dipasarkan di internet seharga Rp 6,8 miliar.1
Miris.
Sebegitu miskin dan abaikah kita sampai pulau pun harus dijual?
Terlepas dari benar tidaknya kabar tersebut, saya tidak heran kalau pulau-pulau semacam Pulau Gambar dan Sawi ini dijual. Alamnya masih asli, asri, tidak ada limbah dan sampah. Suasananya tenang teduh, sepi penduduk. Belum lagi potensi lautnya berupa ikan, udang, kepiting, dll. Tentu akan menyenangkan sekaligus menguntungkan jika menjadi pulau pribadi!
Sedikit yang tahu, lebih sedikit lagi yang peduli. Di internet saya menemukan informasi bahwa pemda setempat mengelola pariwisata Pulau Sawi sejak tahun 2009. Sungguh saya meragukan informasi ini. Di sana tidak ada listrik maupun air bersih—bahkan sebuah kursi saja tidak ada! Fasilitas umum yang tersedia hanyalah satu toilet umum tanpa air dan tak terurus, satu pondok kayu, dermaga, serta satu bukti aparat pernah datang, yaitu batu bertuliskan “Pulau RI.”
Akibatnya, setelah berenang di pantai, pengunjung (khususnya kami yang wanita) kesulitan membilas diri dengan menimba sumur air payau. Ditambah lagi tidak ada bilik untuk mengganti baju. Bisa Anda bayangkan betapa minimnya kelola wisata di sana!
Saya kira Pulau Sawi hanyalah contoh dari harta wisata alam mahadasyat milik Indonesia yang, sayangnya, terabaikan. Ada ribuan lagi harta wisata alam lokal yang tak dilirik dan terbengkalai pengelolaannya. Jangan heran jika tiba-tiba kita mendengar pulau-pulau kita dijual.
Kontras dengan hal itu adalah angka mengejutkan dari wisatawan Indonesia yang berpelesir ke Singapura. Di tahun 2011 jumlahnya tertinggi, yaitu 13,3 juta orang! Luar biasa, bukan?
Ini membuat saya berpikir bahwa sebetulnya banyak orang Indonesia yang mampu keluarkan uang demi wisata ke Singapura. Menurut Suhaimi Sany, staf Singapore Tourism Board (Badan Turisme Singapura) untuk Indonesia, ini terjadi karena Singapura memiliki obyek-obyek wisata menarik berupa pusat perbelanjaan dan hiburan.2Saya jadi bertanya-tanya, apakah kita terlalu terpikat dengan harta wisata negeri orang sehingga lupa mengunjungi dan mengurus harta wisata negeri sendiri?
Kita patut acung jempol untuk Singapura yang sukses mengelola wilayah kecilnya menjadi pusat-pusat wisata yang laris. Kini giliran kita untuk memihak dan memperjuangkan harta wisata alam Indonesia. Saya memikirkan beberapa peran nyata keberpihakan kita.
Kita, wisatawan lokal, sedapat mungkin harus memprioritaskan rekreasi alam di Indonesia. Keberpihakan dalam hal ini merupakan wujud cinta kepada tanah air. Mari kita kunjungi alam Indonesia, yang adalah harta kita, dan banggakan ke seluruh dunia.
Pemerintah harus serius mengembangkan infrastruktur di kawasan-kawasan wisata alam. Perhatikan fasilitas umum, akses, dan transportasi. Tanpa ini semua, sia-sialah upaya promosi pariwisata. Selain itu, pemerintah dan pengusaha wisata harus terus membangun kesadaran wisatawan lokal untuk berpihak kepada wisata alam Indonesia.
Akhir kata, saya teringat siang itu di Pulau Sawi. Setelah sepanjang pagi berenang dan selam dangkal (snorkeling), saya makan siang di pondok kayu. Sungguh nikmat nasi hangat yang disantap dengan hidangan laut andalan: udang kipas dan kepiting rebus tangkapan nelayan! Saya harap di masa depan segala nikmat itu bisa dirasakan pula oleh lebih banyak wisatawan lokal, yang harus menjadi tuan rumah dan pegiat potensi wisata tanah airnya sendiri. Harta wisata alam Indonesia terlalu mahal dan berharga untuk kita abaikan.
.
Monica adalah seorang dokter gigi yang tinggal di Sukadana, Kalimantan Barat.
.
Catatan
1 “Pulau Gambar Masuk Teritorial Ketapang” dalam Pontianak Post terbitan 07.09.2012.
< http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=115534 >.
2 “Indonesia Peringkat Pertama Jumlah Wisatawan ke Singapura” dalam Harian Analisa terbitan 27.10.2011.
<http://www.analisadaily.com/news/read/2011/10/27/18962/indonesia_peringkat_pertama_jumlah_wisatawan_ke_singapura/ >.