Oleh Hendy Yang
Ada tapi seakan tiada. Kalimat itu tepat untuk menggambarkan gembala gereja suku Sangir di Kalama. Kalama adalah salah satu pulau terluar Indonesia yang terletak jauh di atas ujung utara Pulau Sulawesi.Di sinilah saya bekerja sebagai pengajar sejak bulan Juli 2012.
Menurut aturan organisasinya, gereja tersebut memang harus dilayani oleh (seorang) gembala alias pendeta. Namun, gembala yang empunya tugas pelayanan jarang ada di Pulau Kalama lantaran memiliki pelayanan di beberapa gereja lain di Tahuna, ibukota kabupaten yang terletak di Pulau Sangihe.1
Selain itu, perjalanan ke Kalama sangat sulit. Sampai saat ini belum ada kapal atau perahu tetap yang menuju kemari. Satu-satunya cara ke Kalama adalah dengan menumpang perahu kecil milik nelayan di Pulau Sangihe.2 Perahu kecil ini pun hanya dapat digunakan apabila ombak tidak terlalu kencang.
Biaya juga menyulitkan warga Kalama untuk mendatangkan pendeta. Ongkos perjalanannya memang menjadi tanggungan jemaat sepenuhnya. Belum lagi jemaat harus menyiapkan tempat tinggal, makanan spesial, dan kendaraan untuknya. Sebab itu, gembala umumnya hanya hadir di Pulau Kalama ketika ada acara khusus, misalnya perjamuan kudus, peneguhan majelis dan penatua, pembaptisan, atau pemberkatan nikah.3
Kebergantungan pada peran sentral pendeta ini tentulah amat disayangkan. Baik ketua jemaat maupun pengurus gereja lainnya tidak dapat menggantikan peran gembala, padahal kondisi menuntut hal itu. Dampak ketiadaan gembala yang cakap pun sangat terasa dalam ibadah jemaat. Ibadah memang sering sekali diadakan, sehingga saya berani mengatakan bahwa di sini tiada hari tanpa ibadah. Sayangnya, ibadah-ibadah tersebut hanya menjadi rutinitas yang kekurangan makna.
Meskipun begitu, ketiadaan gembala memunculkan hal positif pula dalam diri jemaat Pulau Kalama: kemandirian dan rasa percaya diri dalam kadar tertentu. Banyak orang di sini berani tampil memimpin ibadah, membagikan firman, mendoakan orang lain, dsb. Namun, sayangnya lagi, kemandirian untuk memimpin belum teriring dengan kemandirian untuk, misalnya, menyusun sendiri khotbah.
Dalam liturgi, penyampaian firman Tuhan, bahkan doa, pemimpin ibadah hampir selalu membaca dari buku. Saya belum mendengar khotbah yang memang dibuat sendiri oleh pemimpin ibadah. Masyarakat di sini rata-rata memang memiliki buku kumpulan khotbah dan doa. Buku kumpulan khotbah itu mencakup khotbah-khotbah khusus untuk perayaan ulang tahun, kedukaan, hari lahir ataupun untuk kaum wanita, pemuda, anak, dll.
Tentu saja khotbah dan doa dari buku-buku tersebut sering tidak sesuai dengan konteks hidup warga. Sebagai contoh, saya pernah mendengar khotbah tentang kewajiban orang tua menjaga anak dari derasnya media informasi (internet). Padahal sebagian besar warga di sini belum mengenal internet!
Contoh lain adalah khotbah tentang kesabaran dalam mengemudi (karena orang Kristen pun sering kedapatan memaki saat mengemudi). Saya tahu betul bahwa khotbah itu ditujukan kepada para pengemudi di kota-kota besar yang harus bersabar menghadapi kemacetan atau serobotan kendaraan lain. Di pulau ini kendaraan satu-satunya hanyalah perahu kecil. Jauh dari memaki, keimanan justru sangat meningkat saat menumpangi atau mengendarainya, terutama kalau ombak kencang.
Segala kondisi memprihatinkan tadi tentu saja mempengaruhi cara dan pola hidup masyarakat setempat. Kekristenan tersempitkan menjadi kewajiban melaksanakan ibadah semata sedangkan nilai-nilainya kurang diamalkan. Tak heran, kata-kata kotor/makian menjadi semacam kata sambung dalam percakapan orang dewasa maupun anak-anak. Kebiasaan berganti-ganti pasangan pun marak. Pergaulan sangat bebas. Saya mendapati banyak sekali anak yang lahir di luar nikah hingga sekarang hidup tanpa orang tua dan hanya diasuh oleh kerabatnya.
Sebab itu, dari tepian kepulauan Indonesia, dari keterpencilan di tengah samudera biru, imbauan penuh kasih saya layangkan kepada Gereja Indonesia untuk mengingat Pulau Kalama. Gembala Agung kita pastilah mengasihi warga suku Sangir di sini tetapi Ia juga membutuhkan gembala-gembala yang bisa mengurus umat-Nya—dari dalam ataupun luar Kalama. Mari memanjatkan doa agar Ia memasok gembala-gembala yang cakap bagi umat-Nya di ujung utara Nusantara ini.
.
Hendy adalah seorang guru yang tinggal di Pulau Kemala, Sulawesi Utara.
.
Catatan
1 Pulau Kalama bisa dicapai dengan perahu kecil dan waktu perjalanan sekitar 2-3 jam dari Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe. (Kapal besar tidak melewati Pulau Kalama.) Kota Tahuna sendiri bisa dicapai dengan pesawat terbang dan waktu perjalanan sekitar satu jam dari Manado, ibukota Propinsi Sulawesi Utara. Jika menggunakan kapal laut, lama perjalanan Manado-Tahuna adalah sekitar sepuluh jam.
2 Atau perahu milik warga Kalama yang sedang mengunjungi Pulau Sangihe dan akan kembali lagi ke Pulau Kalama.
3 Dan kalau pendeta datang, ia akan disambut bak seorang raja—dijemput secara khusus dan selalu dipenuhi segala kebutuhan serta kehendaknya. Saya menilai gembala cenderung lebih sering dilayani daripada melayani domba-dombanya.