Konteks Kekristenan Kita

Salam sejahtera di bulan sebelas 2012, Sidang Pembaca!

Pengenalan dan pemahaman konteks kian hari kian disadari warga dunia sebagai kunci untuk berkiprah secara efektif. Tak sukar kita aminkan bahwa orang atau kelompok orang yang mau sukses berkarya atau berusaha di suatu tempat haruslah mendalami konteks tempat itu baik-baik. Asas ini berlaku bagi orang Kristen dan Gereja Indonesia pula.

Bulan ini sajian Komunitas Ubi (Kombi) dipersembahkan untuk memperkuat ikhtiar mencerahi umat Kristen akan arti penting konteks. Lima peladang mengangkat lima cerita dan perenungan tentang kekhasan konteks kekristenan kita di Indonesia, yang bahkan bisa berbeda antara satu daerah dengan daerah lain.

Hadir di negeri yang “gemah ripah loh jinawi,” yang sejumlah besar penduduknya bergawai di sawah dan ladang, membuat Gereja Indonesia mendapatkan suatu konteks pertanian. Kornelius Upa’ Rodo menceritakan bagaimana konteks tersebut menyemarakkan kehidupan jemaat Toraja, khususnya dalam pesta panen. Ungkapan sukacita dan syukur dalam masa raya itu direnungkannya sebagai hal berharga yang harus terus dipelihara jemaat.

Elsa Umbu Tara pun bercerita soal kebiasaan-kebiasaan unik jemaat Timor yang berkaitan dengan konteks pertanian—dan juga soal penggunaan bahasa daerah dalam ibadat. Ia merenungkan makna segala keunikan itu di hadapan deru perubahan zaman dan berargumen bahwa Gereja Indonesia harus bisa mempertahankan tradisi yang baik dan yang tetap relevan.

Di mana di dunia ini ada gereja jadi kekurangan pengunjung gara-gara buah durian? Di Indonesia! Sarpianto menceritakan bagaimana musim durian dan musim tanam atau panen di Tanah Dayak bisa “menghilangkan” jemaat dari bangku-bangku kebaktian lantaran mereka disibukkan di kebun, sawah, dan ladang. Sebagai buah renungan, ia menyatakan bahwa kedewasaan jemaat dan kebijaksanaan pengurus gereja amat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan seperti itu.

Hendy Yang bercerita tentang konteks khas Indonesia lainnya: konteks kepulauan. Di Pulau Kalama, Kepulauan Sangihe, ia mendapati langkah pertumbuhan jemaat terseok-seok akibat sering absennya gembala—yang harus dinanti kedatangannya dari luar pulau. Ini mencuarkan perenungan berharga tentang pemandirian umat di depan tantangan keterpencilan serta bahaya ibadah yang sekadar kerutinan atau lahiriah.

Segala kekhasan konteks Indonesia sesungguhnya menggaungkan kebenaran peribahasa beken “lain padang, lain belalangnya.” S.P. Tumanggor memaparkan contoh-contoh pengenalan Paulus dan Kristus akan “belalang” di “padang” yang berbeda lalu membandingkannya dengan contoh-contoh kasus jemaat berbagai daerah di Indonesia. Lewat semuanya, ia mengimbau Gereja Indonesia untuk merenung tentang arti penting tanggap konteks/lingkungan dan untuk berani menggubah bentuk/pola kekristenan yang cocok bagi orang Indonesia.

Segenap bahasan di atas tentang konteks kekristenan kita mengungkapkan idam-idaman Kombi untuk melihat Gereja Indonesia purna membumi dengan tanah air Indonesia, tempat hidupnya. Sikap umum Gereja Indonesia sejauh ini, yang bergantung dan gandrung secara tak-kritis-konteks kepada “produk” (ajaran, kajian, budaya) kekristenan luar negeri, sudah pasti tidak mengoptimalkan kiprah dan karya Gereja Indonesia sendiri. Hari sudah siang bagi kita untuk lebih serius lagi dengan konteks Indonesia dan mementingkannya.

Selamat ber-Ubi.

Penjenang Kombi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *