Oleh Kornelius Upa’ Rodo
Tanah Toraja pernah dipromosikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai tempat persinggahan kedua setelah Bali. Promosi itu bukan tanpa alasan, sebab Tanah Toraja memiliki kekayaan budaya yang unik, dan panorama alam yang indah. Adat istiadat Toraja sebagian besar tetap terpelihara, bahkan telah “bercengkerama” dengan kehidupan moderen dan kekristenan. Hamparan sawah yang sejuk di tengah perbukitan dan pegunungan batu kapur adalah anugerah Sang Khalik yang mengundang ungkapan syukur warga Toraja.
Salah satu bentuk ungkapan syukur itu adalah pesta panen yang digelar Gereja Toraja setiap tahun. Melaluinya, warga Toraja bersyukur atas kebesaran dan pemeliharaan Sang Pencipta terhadap ternak, panen padi, dan hasil bumi lainnya. Lama sebelum kekristenan datang, orang Toraja sudah melaksanakan acara pesta panen. Jadi, pesta panen yang digelar Gereja Toraja sekarang ini adalah warisan dari zaman dulu yang dipelihara sebagai salah satu ciri khas ketorajaan.
Umat Kristen Toraja di kampung-kampung merayakan pesta panen dengan membawa sebagian hasil bumi (seperti gabah, padi, buah-buahan, dan sayur-sayuran) dan ternak (seperti babi dan ayam) ke gereja. Ada juga yang membawa uang. Semua itu merupakan tanda syukur kepada Tuhan dan nantinya dikelola bagi kemajuan jemaat.
Pesta panen dimulai dengan kebaktian yang dipimpin oleh pendeta. Jemaat duduk di bawah tenda-tenda. (Dalam pesta syukur seperti ini, tenda-tenda harus didirikan karena banyak sekali jemaat yang datang dan gedung gereja tidak mampu menampung mereka semua.) Setelah ibadah, tibalah saat yang sangat ditunggu-tunggu, yaitu makan bersama. Tiap keluarga mengeluarkan makanan yang dibawa dari rumah masing-masing. Beragam makanan khas Toraja menjadi santapan, dan yang tak pernah absen adalah pa’piong.
Pa’piong dibuat dari beras ketan dicampur dengan santan yang dimasukkan ke dalam bambu lalu dibakar. Sehari sebelum acara pesta panen, jemaat sibuk membuat pa’piong karena umumnya setiap keluarga akan membawanya. Sebagian pa’piong diserahkan ke gereja untuk dilelang, sebagian lagi dimakan bersama-sama. Karena hal-hal ini, pesta panen Toraja menjadi identik dengan pa’piong.
Ketika semua keluarga memakan makanan yang sudah lebih dulu dimasak di rumah, tampaklah pancaran sukacita, kebersamaan, dan kekeluargaan di antara sesama orang Toraja. Tak ada sekat-sekat pemisah antara yang kaya dan miskin, yang tua dan yang muda. Rasa lelah tenggelam dalam rasa sepenanggungan. Semua senang dan bersukacita seraya memohon bersama agar Tuhan memberkati panen berikutnya.
Selain pa’piong, baka dan janur kuning pun sudah menjadi ciri khas pesta panen Gereja Toraja. Baka adalah wadah untuk padi atau gabah yang dibawa jemaat, sedangkan janur kuning dipasang jemaat di sekeliling gereja, di halaman gereja, dan di jalan menuju tempat ucapan syukur. Ungkapan seni budaya Toraja yang lain, misalnya tari-tarian ma’gellu dan sisemba’, terkadang ditampilkan pula. Ini pun berasal dari pesta panen zaman pra-Kristen.
Meskipun panen tidak selalu baik setiap tahun, orang Toraja tetap menggelar acara pesta panen tahunan. Selain untuk makan-minum dalam sukacita dan semangat kekeluargaan, pesta ini juga menjadi ajang untuk silahturahmi dengan membicarakan masalah-masalah pertanian atau bahkan sekedar mengobrol tentang persawahan.
Adalah tantangan bagi Gereja Toraja, menjelang usianya yang ke-100 pada tahun 2013, untuk tetap bersyukur dalam senang ataupun susah dan untuk terus menjaga kekayaan budaya Toraja. Kebesaran Tuhan tak pernah terbatas, karenanya syukur atas kebesaran itu pun tidak boleh dibatasi. Semua yang kita miliki haruslah digunakan untuk memuji Dia. Adat istiadat, kesenian, hasil panen, bahkan seluruh hidup kita harus digunakan untuk memuliakan Tuhan dalam kesadaran bahwa semua milik kita berasal dari Dia saja.
.
Kornelius adalah seorang staf lembaga pelayanan mahasiswa yang tinggal di Salatiga, Jawa Tengah.
.