Tradisi Unik Gereja Timor di Hadapan Perubahan Zaman

Oleh Elsa Umbu Tara

Saya selalu merasa senang ketika berkunjung ke kampung halaman ibu saya di Desa Merbaun, Pulau Timor. Apalagi ketika saya mengikuti ibadah di satu-satunya gereja yang ada di sana. Gereja itu sengaja dibangun di atas bukit yang tidak terlalu tinggi. Dari situ warga gereja bisa melihat desa mereka di tengah pemandangan alam yang indah. Ini mengajari mereka untuk selalu bersyukur kepada Tuhan atas hal-hal baik yang mereka miliki.

Salah satu cara mereka menyatakan syukur kepada Tuhan adalah dengan memberikan hasil panen pertama kepada gereja. Mereka melakukannya sebelum mereka sendiri menikmati atau menjual hasil panen selebihnya. Dan tradisi ini sudah berlangsung lama.

Di Timor, masyarakat selalu mengingat gereja ketika mereka memanen hasil ladang dan sawah. Jemaat  banyak desa di Timor bahkan tidak akan memakan jagung sebelum mereka menyerahkan hasil panen jagung mereka ke gereja. Tradisi ini dipatuhi oleh semua warga desa sehingga di manapun mereka berada, mereka tidak akan pernah memakan jagung selama hasil panen jagung belum dimasukkan ke gereja.

Kita mungkin merasa itu berlebihan, namun itulah “budaya Kristen” yang sudah terbentuk di tengah masyarakat Timor. Bagi jemaat, hari ketika panen dibawa ke gereja adalah hari yang istimewa. Gereja bahkan mengundang pemerintah setempat untuk bersyukur bersama. Semua merayakan hari itu sebagai hari yang penuh berkat.

Selain di pedesaan, saya juga menemukan tradisi unik Gereja Timor di perkotaan. Satu gereja yang saya ketahui di Kota So’e tetap mempertahankan tradisi ibadah menggunakan bahasa ibu, yaitu bahasa Dawan. Di tengah perkembangan budaya moderen dan generasi muda yang semakin “terlatih” berbahasa gaul,masyarakat yangmenggunakan bahasa Dawan semakin sedikit. Bahasa Dawan lebih sering dipakai dalam acara-acara adat dibanding dalam percakapan sehari-hari. Tetapi gereja ini tetap melestarikannya.

Bagi saya, itu adalah salah satu fungsi gereja, yakni mempertahankan hal-hal baik yang dimiliki masyarakat. Gereja memang harus selalu menjelaskan kepada masyarakat bahwa budaya, sepanjang tidak bertentangan dengan kebenaran Firman, merupakan keunikan yang dapat mereka gunakan untuk memuliakan Tuhan. Gereja harus terus mengingatkan dan mendorong masyarakat untuk bersama-sama mempertahankan nilai-nilai budaya yang unik dan benar.

Tradisi-tradisi unik hidup terus dalam Gereja Timor, namun bukannya tanpa masalah. Sebagai contoh, sebagian masyarakat di desa ibu saya lambat laun tidak lagi memberikan hasil panen ke gereja tetapi persembahan berupa uang. Ini terjadi karena mereka kesulitan mencari bibit untuk musim menanam berikutnya. Selain itu, berkembangnya desa dan semakin beragamnya pekerjaan warga desa membuat hanya sedikit jemaat (petani) yang membawa hasil panen ke gereja.

Dalam hal penggunaan bahasa daerah di gereja, ada masalah pula: tidak semua orang bisa ikut dalam ibadah berbahasa daerah karena saat ini banyak warga gereja sudah tidak mengerti bahasa ibu mereka sendiri. Tanpa generasi penerus yang mampu menggunakan bahasa daerah, tentulah gereja tak akan dapat mempertahankan ibadah dengan bahasa daerah.

Masyarakat berkembang cepat. Zaman terus bergerak maju. Jika dahulu gereja sangat mempengaruhi segala tindakan masyarakat, saat ini perubahan di tengah masyarakat sangat mempengaruhi gereja. Gereja Timor bisa saja semakin kehilangan keunikannya sehingga cara beribadahnya menjadi seragam dengan cara beribadah di  tempat-tempat lain di Indonesia, atau bahkan dunia.

Saat ini kita patut merenung: apakah segala keunikan tradisional gereja harus dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan perlu diganti dengan segala yang moderen? Kita harus ingat bahwa setradisional apa pun gereja menjalankan ibadahnya, warga gereja tetaplah bisa menikmati kehadiran Tuhan.

Bukan berarti kita menolak hal-hal moderen yang mendatangkan kebaikan bagi jemaat. Kita perlu menerimanya, tetapi sambil mempertahankan nilai-nilai tradisional yang baik dan tetap relevan. Dengan begitu, keunikan gereja di setiap latar budaya—termasuk Gereja Timor—tidak akan hilang dalam keseragaman, tak peduli seberapa cepat masyarakat berkembang dan zaman bergerak.

.

Elsa adalah seorang staf lembaga pelayanan mahasiswa yang tinggal di So’e, Nusa Tenggara Timur.

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *