Kekristenan yang Berpadu Selaras dengan Keindonesiaan

Oleh Julianto Chin

Ada perbedaan besar antara orang Indonesia yang beriman Kristen dengan orang Kristen yang “kebetulan” berada di Indonesia. Yang pertama memahami bahwa tidak kebetulan Allah menjadikan dirinya orang Indonesia dan memanggilnya menjadi orang Kristen. Ia adalah orang Indonesia sekaligus orang Kristen. Yang kedua sekadar memahami bahwa Allah memanggilnya menjadi orang Kristen tetapi tidak sadar bahwa Allah menjadikannya orang Indonesia juga. Ia adalah orang Kristen saja, tidak sekaligus orang Indonesia.

Sedihnya, banyak orang Kristen Indonesia masuk, atau menunjukkan kesan bahwa mereka masuk, kategori yang kedua. Mereka memandang kekristenan terpisah dari keindonesiaan dan lebih merasa sebagai orang Kristen daripada orang Indonesia. Akibatnya, mereka bersikap acuh tak acuh terhadap keindonesiaan. Dengan berbagai alasan, mereka menjauhkan diri dari kehidupan berbangsa-bernegara dan membentuk komunitas “surgawi” eksklusif yang mengambil sikap sebagai penonton dinamika keindonesiaan saja.

Cara pandang tak menguntungkan itu, yang memisahkan kekristenan dari keindonesiaan, adalah cara lama yang harus kita tinggalkan. Kita harus menggantinya dengan cara baru yang memandang kekristenan berpadu secara selaras dengan keindonesiaan. Dengan cara baru ini kesaksian dan fitrah kekristenan kita justru akan terlihat nyata.

Cara pandang lama tidak memberi sumbangan bagi kemajuan bangsa. Cara pandang itu hanya menggiring orang Kristen Indonesia kepada pemikiran bahwa kekristenan terbatas pada urusan ibadah belaka (bangsa dan negara tentu saja diletakkan di luar urusan ini). Maka bisa kita cermati berapa banyak khotbah gereja yang menekankan peran umat Kristen di tengah bangsa: sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada.

Idealnya, kalau berpatokan kepada Alkitab, umat Kristen Indonesia harus menjadi berkat dan teladan baik bagi lingkungan sekitarnya (atau, dengan kata lain, bagi masyarakat bangsanya). Namun, acap kali kita terlalu sibuk dengan urusan memperluas atau memperkuat gereja masing-masing sehingga melalaikan ideal itu. Inilah kekhilafan besar Gereja Indonesia.

Banyak orang Kristen yang mengaku menjunjung Alkitab malah “lancang” menciutkan misi Kristen menjadi misi dakwah/penginjilan semata. Misi sosial, yang berkaitan erat dengan isu-isu berbangsa-bernegara seperti menegakkan keadilan, menanggulangi kemiskinan, dan mengupayakan perdamaian, malah ditelantarkan. Tampaknya mereka lupa bahwa injil yang disiarkan Kristus adalah “Injil Kerajaan Allah,” yakni berita kesukaan tentang daulat Allah atas berbagai bidang kehidupan di dunia.

Cara pandang baru, di lain pihak, pasti memberi sumbangan bagi kemajuan bangsa. Cara pandang ini akan mendorong umat Kristen untuk giat beribadah sekaligus giat menjalankan peran masing-masing di tengah bangsa. Umat Kristen akan disemangati untuk terjun ke berbagai bidang kehidupan dan memajukannya demi kemuliaan Allah sebagai pengejawantahan iman Kristennya.

Selain itu, cara pandang baru akan mendesak gereja-gereja keluar dari cangkang denominasi dan belenggu  pemikiran meluaskan denominasinya belaka. Gereja dicerahi untuk ramah-terbuka terhadap lingkungan sekitar dan rela memakai sumber daya besar yang dimilikinya untuk misi sosial yang berfaedah bagi semua orang.

Dengan begitu, misi Kristen kembali kepada khitahnya, yakni tidak bicara melulu soal keselamatan jiwa, tetapi juga soal belas kasih. Kita ingat bahwa dalam karya-Nya di dunia, Yesus tidak hanya melayani jiwa, tetapi juga fisik manusia: memberi makan orang lapar dan menyembuhkan orang sakit. Maka misi Kristen pun tidak boleh melalaikan atau meremehkan upaya perbaikan kualitas jasmaniah hidup manusia.

Saur Marlina Manurung—biasa dikenal sebagai Butet Manurung—memberi kita contoh bagus tentang bagaimana insan Kristen bisa berbakti kepada bangsa. Wanita muda yang hebat ini bersedia masuk ke hutan pedalaman Jambi dan menjadi guru bagi anak-anak suku yang masih tertinggal. Ia membuat sekolah alam, mengajari mereka baca-tulis-hitung, dan membukakan jalan kemajuan bagi mereka. Sungguh indah jika ada lebih banyak orang Kristen seperti dia!

Ya, sejatinya umat Kristen tidak boleh jadi penonton dinamika keindonesiaan saja. Kita adalah orang Indonesia yang beriman Kristen, bukan orang Kristen yang “kebetulan” berada di Indonesia! Kita, kalau memodifikasi perkataan Uskup Soegijapranata, adalah “100% Kristen dan 100% Indonesia.” Kekristenan kita harus berpadu selaras, tidak pernah boleh terpisah, dengan keindonesiaan kita.

.

Julianto adalah seorang staf lembaga pelayanan mahasiswa yang tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat.

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *