Bangsa Pelit Apresiasi

Oleh Viona Wijaya

Suatu kali saya pernah mendampingi murid-murid SMA (SMA tempat saya mengajar) mengunjungi Museum Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah. Baru kali itu saya menjejakkan kaki di Museum Indonesia. Meski penerangannya tak terlalu baik, saya langsung terpukau oleh keindahan budaya Indonesia yang tertata rapi di situ.

Di bagian perwayangan, saya melihat dua orang turis asing serius mendengarkan penjelasan dari seorang Indonesia. Kedua turis itu beberapa kali mengangguk dengan mulut membentuk huruf O. Diam-diam saya merasa bangga karena yakin bahwa mereka tengah mengagumi semarak budaya bangsa Indonesia. 

Reaksi kedua turis itu membuat saya penasaran akan reaksi murid-murid saya. Sekeluarnya dari museum, saya menanyakan kesan para murid. Alangkah terkejutnya saya ketika banyak di antara mereka berkata, “Begitulah, Bu, biasa saja,” dengan wajah tampak bosan.

Wah, mengapa bisa begitu?

Diakui atau tidak, reaksi demikian mudah diantisipasi dari orang Indonesia: pelit apresiasi, khususnya terhadap karya bangsa sendiri. Bicara soal “karya bangsa,” saya tidak hanya merujuk kepada karya budaya bangsa, tapi juga banyak hal lain seperti ide, perjuangan, dan prestasi putra-putri bangsa.

Apresiasi dapat berwujud lisan (komentar, pujian) ataupun non-lisan (perhatian, materi). Pelit apresiasi adalah sikap ketika kita malas, enggan, atau bahkan (jangan-jangan) tak mampu mengungkapkan apresiasi terhadap karya-karya baik yang pantas dihargai.

Tengoklah sikap sebagian besar orang Indonesia. Kita lebih cepat dan tangkas menanggapi keburukan dibanding prestasi yang diraih putra-putri bangsa, bukan? Tayangan TV yang mengumbar kejelekan negeri lebih diminati dibanding tayangan yang mengangkat kisah-kisah inspiratif anak bangsa, bukan?

Kita cenderung merasa “biasa saja” (ya, seperti banyak murid saya tadi) melihat kiprah baik sesama orang Indonesia. Lebih gawat lagi, tak sedikit di antara kita yang lebih suka berkomentar sinis, “Itu kebetulan, hoki,” dalam menanggapi keberhasilan orang Indonesia. Pelit apresiasi sudah sedemikian akut!

Sikap pelit apresiasi menciptakan iklim yang tidak baik bagi perkembangan bangsa. Mereka yang sedang berkarya bagi kemajuan Indonesia jadi lesu berkarya karena merasa kurang dihargai. Di sisi lain, mereka yang ingin berkarya tak mendapat dorongan untuk berbuat sesuatu bagi tanah air. Apresiasi, meski terlihat sederhana, penting sekali untuk menyemangati insan-insan yang telah, tengah, dan hendak berkarya (baik) agar dapat terus menghasilkan karya-karya (baik).

Sistem pendidikan kita menjadi salah satu pembentuk sikap pelit apresiasi. Di sekolah, tak tersedia cukup ruang untuk mengembangkan budaya saling mengapresiasi, baik antara guru–murid maupun murid–murid. Metode belajar yang cenderung bersifat satu arah menjadikan murid pasif. Metode ini juga menyulitkan guru untuk mengapresiasi murid secara personal. Lain ceritanya apabila kegiatan belajar bersifat dua arah.

Di kelas, ketika dihadapkan kepada suatu karya (tulisan, ide, budaya, dsb.), para murid dapat diajak untuk belajar memberinya apresiasi, bukan sekadar menerimanya sebagai pengetahuan. Guru kemudian dapat mengapresiasi langsung pendapat para murid. Pola seperti ini masih jarang kita temukan di sekolah-sekolah Indonesia.

Walhasil, apresiasi alpa hadir dalam hidup anak-anak Indonesia. Keberhasilan mereka pada umumnya disikapi dengan “biasa saja.” Tapi kegagalan dan kesalahan mereka sering kali mengundang omelan, cemooh, atau cercaan yang tak sedikit. Tanggapan yang demikian terekam dalam diri mereka. Kelak, saat mereka dewasa, mereka meneruskan hal serupa: pelit apresiasi.

Kondisi semacam ini tentu tak dapat dibiarkan. Pola pendidikan di sekolah perlu diubah. Harus dibuka ruang diskusi dua arah untuk meluweskan murid mengkritisi sesuatu dan menyatakan apresiasi. Kemampuan menilai karya baik atau buruk juga harus dikembangkan agar murid mengerti hal seperti apa yang perlu mendapat apresiasi.

Jika kita hendak melihat makin banyak karya baik mewarnai negeri, mental pelit apresiasi harus cepat disingkirkan. Selama ini, di tengah kondisi pelit apresiasi pun mutiara-mutiara bangsa tetap saja bermunculan. Bayangkan apabila kita tak lagi pelit apresiasi. Tentu lebih banyak mutiara yang muncul sehingga lebih besar kemajuan yang dapat dicapai bangsa kita.

Ayo, kawan, jangan mau jadi bangsa pelit apresiasi!

.

Viona Wijaya adalah seorang guru yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

4 thoughts on “Bangsa Pelit Apresiasi

  1. Samsu

    Wah, menarik sekali! Ternyata kondisi kurang apresiasi ini dimulai dari bangku sekolah kita. Semoga lebih banyak lagi guru-guru seperti Anda yang memberi teladan cara mengapresiasi kepada murid-muridnya. Saya bantu dengan menjadi yang pertama yah : mengapresiasi tulisan dengan berkomentar 🙂

    Reply
  2. morentalisa

    Dear Ona, tulisan yang cukup menggelitik. Manusia memang pada umumnya sulit mengapresiasi hal-hal baik di sekitarnya. Untuk apresiasi budaya/kultur/adat, saya kira ini bukan tantangan orang Indonesia saja, namun tantangan semua manusia modern yang harus berkompetisi dengan benturan-benturan kebudayaan yang terbuka akibat globalisasi.

    Terkait tulisanmu ini: Tengoklah sikap sebagian besar orang Indonesia. Kita lebih cepat dan tangkas menanggapi keburukan dibanding prestasi yang diraih putra-putri bangsa, bukan? Tayangan TV yang mengumbar kejelekan negeri lebih diminati dibanding tayangan yang mengangkat kisah-kisah inspiratif anak bangsa, bukan? === > Ah masa? Coba lihat betapa acara apresiasi alam, juga kisah inspiratif cukup menjamur di beberapa media seperti transTV, Kompas TV, dll. Lahirnya akun twitter seperti GoodNewsFromIndonesia juga menandakkan bahwa budaya apresiasi ini tidak lantas mati. Mungkin perlu disajikan data yang lebih akurat untuk menajamkan pendapat ini: karena jangan2 ini pendapat subjektif penulis :p Saya pribadi sih justru kurang tertarik dengan berita-berita buruk di Indonesia dan lebih tertarik dengan cerita2 penemuan ataupun cerita gembira dari negeri ini.

    Yah mungkin harus seimbang kali ya, antara budaya apresiasi dan juga budaya kritik. Karena kalau Ona bilang bahwa anak Indonesia kurang diberi budaya apresiasi, menurut saya budaya kritik terarah justru sangat minim. Coba, anak-anak kan sulit tuh mengkritik gurunya secara terbuka 😀

    Reply
  3. viona wijaya

    Halo Kak Moren, terimakasih untuk komentarnya. Tulisan ini memang ditujukan untuk mengkritisi secara khusus sikap “pelit apresiasi” – yang secara faktual memang terjadi. Jadi sama sekali tak bermaksud menafikkan sama sekali usaha-usaha yang sudah dibuat segelintir orang untuk menumbuhkan budaya apresiasi, seperti yang kak Moren terangkan. Terbatas oleh ruang menulis (600 kt saja) dan tema yang diangkat bulan ini, jadilah tulisanku hanya bisa membahas hal-hal yang ada dalam tulisan 🙂

    Memang ruang berkomentar seperti ini sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk memperkaya ide dalam tulisan, seperti yang kak moren lakukan. Dan ini, contoh yang sangat baik bagi sidang pembaca (Kombi)!

    Nah, soal hal kedua, aku setuju bahwa kemampuan mengkritisi juga harus dikembangkan. Keduanya penting: apresiasi, dan kritik (terarah/tajam). Tapi, bagaimana mungkin mereka bisa sampai ke tingkat mengkritik secara terarah jika untuk bicara di dalam kelas saja enggan karena takut salah 🙁 *pengalaman pribadi*. Apresiasi dari guru penting sekali untuk mendorong kemampuan-kemampuan lain dalam diri anak berkembang. Sepakat, bahwa apresiasi bukan titik akhir, dia justru keran pembuka untuk berkembangnya kemampuan2 lain.

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *