Salam sejahtera di bulan tiga 2013, Sidang Pembaca!
Pergi ke tempat jauh sering membuat orang rindu rumah, dan pergi ke negeri asing sering membuat orang rindu tanah air. Saridjah Niung (1908-1933), yang lebih tersohor sebagai Ibu Sud, memotret dan mengabadikan kerinduan itu dalam lagu beken “Tanah Airku.” Bait pertamanya berbunyi, antara lain, “Tanah airku tidak kulupakan/‘Kan terkenang selama hidupku/Biarpun saya pergi jauh/Tidak ‘kan hilang dari kalbu,” dan bait keduanya berbunyi, antara lain, “Walaupun banyak neg’ri kujalani/Yang masyhur permai dikata orang/Tetapi kampung dan rumahku/Di sanalah kurasa senang.”
Sungguh syahdu ungkapan kerinduan di kejauhan itu—dan juga khusyuk, istimewa, ajaib. Begitu khusyuk dan ajaib sehingga Komunitas Ubi, lewat lima peladang, mengkhususkan waktu di bulan ini untuk bertutur mengenainya dalam lima tulisan bernas: satu berdasarkan pengamatan dari dalam negeri dan empat berdasarkan pengalaman dari luar negeri. Tujuannya adalah untuk mengipasi bara kasih anak bangsa, di dalam dan di luar negeri, terhadap tanah air tercinta.
Kerinduan kepada tanah air di negeri asing, dalam pembahasaan S.P. Tumanggor, adalah kerinduan “magis.” Ia menelaahnya sebagai wujud tanggapan batin manusia terhadap tindakan Sang Pencipta yang membagi-bagi wilayah bangsa-bangsa di masa silam. Ia juga mengargumenkannya sebagai suatu modal potensial yang harus diolah demi salam di tanah air.
Viona Wijaya terpukau dan merasa nyaman oleh segala tertib-teratur yang dialaminya di negeri Belanda. Namun, di hadapan semua itu ia justru jadi rindu tanah air dan segala kesemerawutannya. Ia bukan rindu kesemerawutan itu bertahan, melainkan rindu untuk ambil bagian dalam mengatasinya sehingga rakyat Indonesia bisa mengenyam rupa-rupa kebaikan seperti rakyat Belanda.
Buah-buahan tropis tanah air tiada taranya bagi pengecapan Samsu Sempena. Ia merindukannya di negeri Jepang—selagi menikmati peralihan musim gugur ke musim dingin, berbagai makanan khas, dan bermacam “buah” kemajuan bangsa Jepang. Seiring rindu itu, ia pun merindukan “buah-buah” kemajuan Indonesia di berbagai ranah kehidupan.
Victor Samuel menggubah sepucuk surat dari negeri Swedia untuk segolongan insan di tanah air yang dirindukannya secara khusus: para pekerja sektor informal. Di kedinginan Eropa ia mendapati hatinya sangat menghangat terhadap mereka—dan jasa-layanan khas mereka yang sulit ditemukannya di sana. Tak ragu ia menyanjung mereka sebagai pemberi “kemewahan” bagi masyarakat Indonesia.
Menjenguk negeri Sri Lanka, dengan segala potensi dan permasalahannya, melayangkan angan Sahat Sinurat kepada kondisi negeri sendiri. Perbandingan, semangat, dan kerinduan dituturkannya dalam wujud secarik catatan kecil untuk teman setanah air. Dari hal-hal ini ia berharap bisa dituliskan suatu “catatan besar” tentang Indonesia yang jaya dan makmur.
Hari lepas hari, selagi jarak antar wilayah dan benua diperpendek oleh kecanggihan zaman, anak Indonesia makin banyak melanglang ke negeri-negeri asing. Bagi beberapa orang, pelanglangan itu mungkin malah jadi mengaburkan makna atau keistimewaan tanah tumpah darah di hati. Namun, bagi para patriot, ke negeri manapun mereka melanglang tembang sukma mereka tetaplah “tanah airku tidak kulupakan … biarpun saya pergi jauh, tidak ‘kan hilang dari kalbu.”
Selamat ber-Ubi.
Penjenang Kombi