Oleh Viona Wijaya
Dengan dada bergemuruh, nafas memburu, para perempuan itu memacu kaki sampai terasa mau lepas. Lebih cepat, lebih cepat lagi! Kabar yang baru mereka terima membuat hati mereka seperti mau pecah karena sukacita yang meluap-luap.
“Guru bangkit! Guru bangkit!” seru Maria Magdalena ketika pintu rumah tempat para murid Yesus berkumpul dibukakan. Di sampingnya, Yohana dan Maria ibu Yakobus mengiyakan pernyataannya.
Murid-murid mengerutkan dahi, memicingkan mata. Petrus bangkit berdiri, air mukanya heran. “Tenang dulu,” katanya. “Apa yang terjadi?”
Mengabaikan nafasnya yang masih terengah-engah, Maria berbicara dengan setengah berseru, “Kami pergi membawa rempah-rempah ke kubur Yesus, tapi saat kami di sana, batu penutup kubur sudah terguling dan kubur itu kosong!”
“Bukan hanya itu,” timpal Yohana dengan mata berbinar, “kami berjumpa dengan malaikat! Ia berkata, ‘Yesus sudah bangkit.’”
Para murid tak terkesan. Perempuan-perempuan ini gila, pikir mereka. Yesus disalibkan dua hari lalu. Mereka melihat kubur-Nya ditutup batu besar. Yesus bangkit? Omong kosong!
Pada masa itu kesaksian perempuan memang dianggap tak bernilai.1 Budaya patriarkal sangat kuat, dan itu dapat kita lihat dari reaksi para murid. Lukas mencatat, “Bagi mereka [para murid lelaki] perkataan-perkataan itu seakan-akan omong kosong dan mereka tidak percaya kepada perempuan-perempuan itu.”2
Reaksi para murid lelaki yang bak menyiram air ke atas kobaran api itu tentu sudah diantisipasi Allah. Jadi, Ia memercayakan kabar terdahsyat sepanjang masa itu pertama-tama kepada perempuan. Mengapa demikian?
Agaknya jawaban untuk pertanyaan itu berpulang kepada “kekuatan” karakter perempuan: peka, lembut hati, kesediaan menyerahkan diri secara total.3 Karakter ini umumnya membuat mereka cepat menerima rencana Allah yang tampak tidak masuk akal sekalipun. Berbeda halnya dengan karakter lelaki, yang umumnya menilai segala sesuatu berdasarkan nalar.
Dengan demikian, peristiwa Paskah melukiskan bagaimana kaum perempuan bukan pemain figuran dalam penggenapan rencana-rencana Allah. Mereka, sama seperti kaum lelaki, adalah pemain utama!
Dalam sejarah peradaban manusia, kita telah menyaksikan berbagai tatanan sosial yang menempatkan perempuan sebagai kaum yang tak masuk hitungan. Pandangan demikian tercermin dalam berbagai hukum tak tertulis, misalnya: tugas perempuan adalah mengurus suami dan anak, perempuan tak pantas jadi pemimpin, tempat kerja perempuan adalah dapur, dsb.
Dalam beberapa kelompok masyarakat, kita juga menemukan penghargaan yang sangat minim terhadap perempuan. Perempuan menjadi korban kekerasan, pelecehan seksual, tak mendapat cukup perlindungan dari masyarakat maupun pemerintah.
Reaksi kaum perempuan terhadap tatanan sosial yang tak “ramah” kepadanya secara garis besar ada dua jenis. Di negara-negara yang masih sangat kuat budaya patriarkinya, banyak perempuan akhirnya mengandaskan mimpi-mimpi mereka untuk bersekolah, berkarir lebih tinggi, atau berkarya lebih banyak.
Di negara-negara yang menjunjung kebebasan, perempuan mengambil tindakan sebaliknya. Mereka larut dalam usaha-usaha pembuktian bahwa mereka tak kalah dari lelaki, bahkan menolak tindak pembedaan dari lelaki dalam bentuk apa pun (meski untuk kebaikan kaum perempuan sendiri).
Kedua jenis reaksi tersebut jelas keliru. Perempuan dan lelaki memiliki keunikan masing-masing dan sama-sama dipakai untuk menggenapi rencana-rencana Allah. Keduanya harus saling bekerja sama bukan sibuk memperdebatkan atau membuktikan siapa yang kedudukannya lebih tinggi.
Setiap perempuan harus mencari tahu hal berharga, hal besar, apa yang Tuhan percayakan untuk dikerjakannya. Mungkin orang akan mencibir mimpi-mimpi kita hanya karena kita perempuan. Mungkin mereka akan bereaksi dingin atau dengan kasar memperingatkan kita akan hukum-hukum tak tertulis tentang perempuan, meminta kita untuk “tahu diri.” Tapi ingatlah kisah Paskah. Pada akhirnya Yesus sendiri membuktikan bahwa apa yang disampaikan para perempuan bukanlah omong kosong.
Tuhan yang memercayakan rencana-Nya untuk kita kerjakan, Dialah yang akan membantu dan membela kita. Paskah memberi kita, kaum perempuan, keberanian untuk bangkit mengerjakan panggilan Allah di tengah masyarakat dan dunia.
Dengan mengingat kasih karunia yang ditunjukkan Allah kepada perempuan, mari kita bangkit menjadi perempuan-perempuan tangguh yang berani ikut serta mengerjakan hal-hal baik bagi Gereja dan bangsa. Selamat Paskah dan selamat bangkit, perempuan Indonesia!
.
Viona Wijaya adalah seorang guru yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Samuel Thambusamy. “Women—Earliest Witnesses of Jesus’s Ressurrection” dalam situs South Asian Connection.<http://www.southasianconnection.com/articles/395/1/Women—Earliest-Witnesses-of-Jesus-Resurrection/Page1.html>.
2 Lukas 24:11.
3 Satu ulasan yang baik tentang hal itu ditulis oleh Beth Grant. “A Woman of Strength: Biblical and Cultural Perspectives” dalam situs Assemblies of God USA. <http://ag.org/wim/resources/articles/ministry/min0309_grant2001wim.cfm>.