Oleh Rudy Tjandra
Ketika itu matahari hampir bangun di hari Minggu. Seorang pria muda berlari sekencang rusa menuju taman milik seorang pembesar. Pikirannya buncah, tak percaya akan kabar yang disampaikan orang kepadanya. Setibanya di sana, ia tertegun menatap makam di taman itu. Benar! Batu besar penutupnya sudah tergeser dan jenazah gurunya, yang wafat hari Jumat kemarin, tak ada lagi di dalamnya!
Pria muda itu tak kuasa membendung air mata. Namun, selagi matanya basah, sebuah perkataan gurunya terngiang di pikirannya: “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” Seketika itu juga sang pria muda mengerti maksud Sang Guru.1
Seperti sang pria muda, kita pun seharusnya mengerti maksud perkataan Sang Guru, yang tak lain dari Kristus, Junjungan kita.2 Perkataan itu mengungkap kebenaran agung tentang Paskah sebagai saat kebangkitan-Nya dari kematian. Kebangkitan ini menjadi jaminan bahwa kelak kita akan dibangkitkan pula dari kematian.
Perlu kita cermati bahwa kata “rombak”3 yang dipakai Kristus bukan mengacu kepada pembongkaran bangunan Bait Allah, melainkan kepada “pembongkaran,” yakni pembunuhan, tubuh-Nya (yang Ia kiaskan sebagai Bait Allah). Demikian pula, kata-kata “mendirikannya kembali” tidak merujuk kepada pembangunan kembali Bait Allah, melainkan kepada “pembangunan kembali,” yakni kebangkitan, tubuh-Nya dari kematian.
Analogi “rombak” dan “dirikan kembali” dalam peristiwa Paskah dapat didaratkan secara selaras dalam hidup dan peran orang Kristen di tengah masyarakat. Sebagai pengikut Kristus, kita harus merombak “manusia lama” yang senang mengikuti hawa nafsu (serakah, cabul, bengis, egois) hingga mendatangkan murka Allah. Bila tidak dirombak, sifat-sifat buruk “manusia lama” itu akan membuat banyak pihak merugi: diri kita sendiri, kerabat kita, bangsa kita, sesama kita.
Di atas reruntuhan “manusia lama” itu kita harus mendirikan kembali suatu “manusia baru” yang terus membaharui cara pikir dan cara tindak sesuai dengan ilham ilahi. Sebagai kebalikan dari “manusia lama,” “manusia baru” ini tahu menguasai diri, berbelas kasih, dan tidak mementingkan diri sehingga dapat memberi manfaat besar bagi masyarakat.
Sifat-sifat “manusia baru” sangat kena-mengena dengan soal “kalangan sendiri.” Sebagai orang-orang yang ditempatkan Tuhan dalam suatu konteks masyarakat majemuk, umat Kristen Indonesia tidak bisa hanya memikirkan kepentingan “kalangan sendiri.” Pola pikir macam itu harus dirombak dan di atas puing-puingnya kita harus mendirikan kembali suatu pola pikir kristiani yang mengejar pula kepentingan bersama, yang memajukan kesejahteraan umum, sesuai dengan sabda Kristus tentang mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.
Untuk mengejar kepentingan bersama, umat Kristen tidak boleh menempatkan diri sebagai penonton pasif atas hal-hal yang terjadi di tengah masyarakat. Kepasifan macam itu harus dirombak dan di atas kehancurannya kita harus mendirikan kembali suatu keaktifan berpikir dan bertindak yang tidak tinggal diam di hadapan permasalahan bangsa di beragam ranah: sosial, politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, seni-budaya, dsb. Dengan keaktifan ini kita menghidupi makna Paskah seraya menyalurkan daya kebangkitan kepada dunia.
Demikianlah Paskah menatang ide besar tentang “rombak” dan “dirikan kembali” yang berfaedah besar bagi pribadi dan masyarakat. Di muka tantangan dan permasalahan zaman, mari, hai umat Kristus, acukan diri terus kepada ide “rombak” dan “dirikan kembali”!
.
Rudy adalah seorang karyawan swasta yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Lihat Yohanes 2:19.
2 Penafsir-penafsir Alkitab berpendapat bahwa kemungkinan besar pria muda itu ialah Rasul Yohanes.
3 Strong’s Hebrew and Greek Dictionaries menerangkan arti luo sebagai berikut: “berpisah, membunuh membinasakan, menghancurkan, melepaskan, meluluh-lantahkan.” [Inggris: “break (up), destroy, dissolve, (un-)loose, melt, put off.”]. Strong’s Hebrew and Greek Dictionaries. E-Sword 6.0.0 © 2000-2002, Rick Meyers.