Oleh Viona Wijaya
Purnama adalah fase bulan yang paling memikat. Saking indahnya, orang tak pernah bosan menikmati dan menyelami keindahan penampakan bulan di fase itu.
Seperti bulan purnama, kekristenan yang purna juga pasti sangat mempesona. Purna di sini artinya tidak sebagian-sebagian, tidak timpang dalam memberi penekanan—urusan vertikal (hubungan dengan Tuhan) saja atau urusan horizontal (hubungan dengan sesama) saja—dan juga tidak dangkal.
Kekristenan yang purna adalah ideal yang seharusnya dikejar dan diwujudkan umat Kristen. Komunitas Ubi (Kombi) sadar akan hal ini sehingga bergerak dengan dijiwai ideal itu. Tulisan-tulisan Kombi menyampaikan pesan bahwa orang Kristen harus tanggap terhadap dimensi vertikal dan horizontal hidupnya secara berimbang.
Kombi memang lahir di tengah iklim kekristenan yang secara umum tidak mementingkan kepurnaan kekristenan. Sadar atau tidak, umat Kristen sudah terbiasa membiarkan ketimpangan atau kedangkalan dalam kekristenan.
Richard Kyle, seorang cendekiawan Kristen AS, mengamati hal itu pada kaum Injili,1 yang dikenal taat dan teguh menjunjung Alkitab. Ia menyebutkan bahwa ciri umum kaum Injili adalah dangkal secara intelektual2 dan puas dengan teologi yang umum-umum saja.3 Selain kaum Injili, ada juga golongan Kristen “ekstrim” seperti kaum fundamentalis dan kaum liberalis.4 Semua ini contoh kekristenan tak purna yang gejalanya dapat ditemukan di Indonesia.5
Kombi sadar bahwa keadaan kekristenan yang seperti itu tidaklah baik atau ideal. Maka dengan bersenjatakan tulisan, Kombi pun berikhtiar turut membawa perubahan. Ikhtiar tersebut terlihat dari topik-topik tulisan Kombi yang kebanyakan langka dikaji umat Kristen, meski sesungguhnya sangat penting: senioritas, kemerdekaan bangsa dalam berbagai bidang, pertelevisian, budaya apresiasi, dll.
Semua itu sering luput dibahas dalam khotbah ataupun pembinaan rohani orang Kristen karena dirasa “kurang penting” atau “kurang rohani.” Tapi Kombi juga senang mengangkat topik-topik “sangat Kristen” seperti Natal atau Paskah, yang tetap diolah dengan sudut pandang baru. Jadi, jelas bahwa Kombi menolak terjebak dalam pola pikir kekristenan tak purna yang sekadar menekankan perkara “horizontal” atau “vertikal” saja.
Ikhtiar ini tidaklah mudah. Setiap peladang (penulis) Kombi diarahkan untuk menggarap tulisannya secara tidak timpang atau dangkal. Setiap tulisan haruslah menggaungkan semboyan Kombi, “Untuk Tuhan dan Bangsa”—semboyan yang dijiwai oleh ide kekristenan yang purna.
Demi menghasilkan tulisan bagus, kami mesti melakukan riset menurut kebutuhan topik yang digarap, misalnya dengan menggali Alkitab dan data-data aktual. Beberapa topik yang lebih rumit, seperti “kebebasan beragama,” membuat peladang inti mesti berdiskusi dulu untuk menentukan hal-hal unik, penting, dan tidak klise yang akan dibahas.
Topik-topik yang diangkat Kombi benar-benar menuntut kami berani berpikir lebih dalam secara mandiri. Selain harus memastikan keselarasan ide-ide dengan cara pandang kristiani, kami juga harus memahami permasalahan, bahkan ide-ide yang tengah berkembang di dunia.
Proses yang dikisahkan di atas menunjukkan bahwa tulisan-tulisan Kombi merupakan suatu aksi di tengah minimnya kajian-kajian umat Kristen tentang beragam aspek kehidupan di tengah masyarakat dan bangsa. Setiap tulisan adalah aksi yang menyerukan umat Kristen untuk tanggap terhadap dimensi vertikal maupun horizontal dari hidupnya.
Lewat tulisan-tulisan Kombi dan proses pengerjaannya, kami berharap pembaca mendapat pemahaman, dorongan, dan kekuatan untuk menanggalkan kekristenan yang tak purna, yakni yang timpang atau dangkal. Jika ini dilakukan, umat Kristen pasti dapat berdampak lebih positif lagi bagi bangsa, bahkan dunia.
Di ulang tahun kedua ini kami sadar bahwa Kombi masih jauh dari kesempurnaan. Karenanya kami terus mengarahkan mata kepada Allah agar Ia terus mengaruniakan hikmat dan kekuatan, serta mempertajam kami dalam mengerjakan panggilan-Nya. Jalan ini tak populer, pun tak mudah, tapi kami tahu ini dikenan hati-Nya.
Mudah-mudahan ikhtiar Kombi bisa memicu aksi-aksi lain yang juga dijiwai ideal kekristenan yang purna. Keindahan ideal ini, yang bak bulan purnama, pastilah dapat mengundang banyak pembaca mengalami hidup yang bermanfaat besar bagi Tuhan dan bangsa.
Selamat ulang tahun kedua, Komunitas Ubi. Teruslah menulis, teruslah berkarya, teruslah mengungkapkan kekristenan yang purna!
.
Viona Wijaya adalah seorang guru yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Kaum Injili (Ing.: evangelicals) adalah segolongan orang Kristen dalam gerakan yang mendunia dan memiliki empat ciri utama: penekanan pada pertobatan dan lahir baru, pengakuan terhadap otoritas Alkitab, penekanan pada pengajaran tentang pengampunan dosa oleh pengorbanan Yesus di kayu salib, dan aktivitas pekabaran injil. Lihat “Evangelicalism” dalam situs Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Evangelicalism >.
2 Richard Kyle. Evangelicalism: An Americanized Christianity. New Brunswick, New Jersey: Transaction Publishers, 2006, hal. 4. “… orang Injili telah menyesuaikan iman mereka dengan budaya populer, termasuk kecenderungan-kecenderungannya untuk bersifat sangat pribadi, menekankan pengalaman, dangkal secara intelektual, dan berorientasi kepada pertumbuhan.”
3 Richard Kyle, hal. 143. “… orang Amerika cenderung beragama tanpa memiliki teologi yang menyeluruh atau kerangka-kerja sejarah. … Banyak orang puas dengan evangelikalisme yang umum-umum saja.”
4 Kaum fundamentalis cenderung menekankan sisi vertikal kekristenan, sedangkan kaum liberalis justru sering mengesampingkan prinsip-prinsip kebenaran yang dipercaya umat Kristen dalam kegiatannya di sisi horizontal. Dua pola kekristenan ini menunjukkan ketimpangan, dan karenanya tak purna.
5 Dalam hal pengajaran, tata cara ibadah, strategi pergerakan, dsb. kekristenan Indonesia banyak sekali meniru kekristenan AS. Tindakan ini (yang tak jarang dilakukan secara membabi buta) menyebabkan kelemahan/kekurangan dalam praktik kekristenan AS ditiru pula dalam kekristenan Indonesia.