Oleh Viona Wijaya
“Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu telah tenar namanya sebagai bangsa bahari yang dengan gagah berani biasa mengarungi samudera-samudera besar dalam perahu-perahu layar mereka. Dan di mana saja mereka itu menetap, di sana mereka menanamkan kebudayaannya (bahasanya, adat istiadatnya, kerajinan tangannya, dan sebagainya) …”1
Petikan di atas menunjukkan bahwa kisah kepiawaian dan keberanian leluhur orang Indonesia dalam mengarungi lautan dan menaklukkan samudera bukan isapan jempol belaka. Salah satu bukti pencapaian orang Nusantara itu, yang menjulang dalam sejarah umat manusia, ada di Madagaskar.
Pulau Madagaskar terletak di Samudera Hindia, di sebelah tenggara benua Afrika. Inilah pulau keempat terbesar di dunia. Meski letaknya sangat dekat dengan Afrika, penelitian para ahli mengungkapkan hasil yang menarik: jejak jelas orang Nusantara sebagai pembentuk populasi Madagaskar.
Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh penemuan perahu cadik, alat-alat besi, instrumen musik seperti gambang, serta tradisi budidaya padi, pisang, ubi jalar, dan talas di Madagaskar.2 Secara linguistik pun bahasa penduduk Madagaskar dekat dengan bahasa Maanyan yang dipakai di wilayah pedalaman Kalimantan.3
Penelitian terkini yang dilakukan oleh Murray Cox, ahli biologi molekuler dari Universitas Massey, Selandia Baru, menunjukkan bahwa 22% dari 266 perempuan Madagaskar yang berasal dari tiga etnik berbeda mempunyai varian “motif Polinesia.”4 Bahkan pada satu kelompok etnis Madagaskar, penelitian menunjukkan bahwa satu dari dua perempuan memiliki tanda genetik “orang Indonesia.”5
Jarak antara Indonesia dan Madagaskar terbentang sekitar 8.000 kilometer! Kedatangan pertama leluhur bangsa Indonesia ke Madagaskar diperkirakan terjadi sebelum abad ke-6, sedangkan gelombang akhir kedatangan mereka diperkirakan terjadi sekitar pertengahan abad ke-16.
Yang lebih hebat lagi, para perantau Nusantara itu bukan hanya datang dan menetap di Madagaskar, melainkan juga mendirikan Kerajaan Merina. Pada tahun 1500-an saat bangsa Portugis pertama kali menjejakkan kaki di Pulau Madagaskar, mereka menemukan orang-orang yang “mirip orang Jawa” dan menduga orang-orang tersebut sudah menetap di sana sejak lama.
Rupanya ada suatu masa di mana orang Nusantara mengukir pencapaian besar lebih dulu dari orang Barat! Inilah bukti bahwa di masa lalu leluhur kita tidak kekurangan kecerdasan dan keahlian untuk berkarya. Tak berlebihan jika S. Tasrif menyanjung leluhur bangsa Indonesia sebagai “bangsa yang telah berada pada suatu tingkat peradaban yang tinggi,” karena perjalanan mengarungi samudera untuk mencapai Madagaskar jelas memerlukan pengetahuan, persiapan, dan keberanian tingkat tinggi.6
Benarlah bunyi lirik lagu tentang mereka: “menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa”!7 Samudera dengan ombaknya yang bergolak takluk di bawah kecerdasan dan keberanian mereka. Madagaskar, tanah nun jauh di sana, mereka datangi dan duduki. Sungguh pencapaian yang luar biasa!
Kiranya kemampuan menaklukkan samudera itu menurun pula pada kita. Di masa kini bukan hanya samudera sungguhan yang harus kita taklukkan, tetapi juga “samudera” kehidupan berbangsa. Manusia Indonesia harus mampu mengemudikan kapal cadik keindonesiaan di tengah gelombang masalah yang menerpa bangsa serta berani menjelajahi lautan peluang kemajuan dan kemashuran yang terbentang luas bagi bangsa.
O berdirilah dalam takzim menyaksikan pencapaian dan kejayaan leluhur bangsa kita. Tetapi kemudian bertanyalah kepada diri sendiri mengapa kini kita malah tampil sebagai bangsa yang kekurangan pencapaian dan keberanian.
Di bidang kebaharian, misalnya, pengelolaan laut kita terbengkalai sehingga kapal-kapal asing mudah menyusup dan mencuri ikan di sana-sini. Pulau-pulau kita diklaim oleh negara lain bahkan dijajakan dengan bebas di dunia maya. Sementara itu pembangunan nasional belum juga me-“nasional,” belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Bagi beberapa daerah, “kejayaan” masih merupakan mimpi belaka.
Jika Madagaskar yang luar biasa jauh bisa dicapai leluhur kita sebelum abad ke-6, masakan pengelolaan maritim yang baik dan pembangunan nasional yang merata tidak bisa kita capai di abad ke-21? Tentu bisa, asalkan kecerdasan, keberanian, dan kegigihan yang dimiliki para leluhur kembali kita hidupkan di masa kini.
Ayo pasang layar dan kumpulkan awak kapal! Kita arungi “samudera” dan taklukkan gelombang-gelombangnya sampai ke “Madagaskar”!
.
Viona Wijaya adalah seorang karyawan swasta yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 S.Tasrif. Pasang Surut Kerajaan Merina: Sejarah Sebuah Negara yang Didirikan oleh Perantau-perantau Indonesia di Madagaskar. Jakarta: Balai Buku Media, 1966, hal. 35.
2 ”Perempuan Indonesia, Nenek Moyang Penduduk Madagaskar” dalam situs Yahoo News. <http://id.berita.yahoo.com/wanita-indonesia-nenek-moyang-penduduk-madagaskar-050207371.html >.
3 Bahasa Maanyan adalah bahasa yang dituturkan suku Dayak Maanyan di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, dan di sebagian Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Lihat “Bahasa Maanyan” dalam situs Wikipedia. <https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Maanyan >.
4 Motif Polinesia adalah karakter genetik kecil yang biasa ditemukan di antara orang-orang Polinesia, Asia Tenggara (artinya, termasuk Indonesia), dan Madagaskar. Karakter genetik ini diturunkan dari ibu pada anak perempuannya tanpa mengalami perubahan. Ditemukannya karakter genetik ini pada orang Madagaskar masa kini menunjukkan bahwa leluhur orang Madagaskar serumpun dengan orang Nusantara/Indonesia dan menjadi bukti kehadiran orang Nusantara di Madagaskar. Lihat “The Polynesian Migration to Madagaskar, Africa” dalam situs Our Pacific Ocean. <http://www.ourpacificocean.com/africa/index.htm >.
5 ”Perempuan Indonesia, Nenek Moyang Penduduk Madagaskar” dalam situs Yahoo News.
6 S.Tasrif, hal. 42.
7 Kutipan dari lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut.”