Oleh Viona Wijaya
Medannya terletak di dekat Desa Taniwel, Pulau Seram, Maluku. Matahari belum naik terlalu tinggi ketika saya “menonton” mobil-mobil mengantre untuk menyeberangi kali yang aliran airnya lumayan deras. Satu demi satu mobil maju dan mencebur, persis seperti mobil-mobil di program petualangan alam liar di televisi. Mengapa pula mobil-mobil itu sampai harus beralih peran menjadi kapal feri?
Alasannya adalah karena jembatan kali telah rubuh. Ini terjadi lantaran hutan di gunung dibuka menjadi kebun kelapa sawit. Hilangnya hutan yang biasa menampung air hujan mengakibatkan debit air ke kali meningkat drastis lalu melanda jembatan sampai rubuh. Pembukaan kebun kelapa sawit yang diharap akan menyejahterakan masyarakat ternyata malah jadi kerugian.
Kisah serupa tak langka kita dengar hari-hari ini dari daerah-daerah lain di Indonesia: pengelolaan alam yang tidak tepat guna atau tanpa pemikiran panjang bukannya mendatangkan untung, malah “buntung.” Demi laba berjangka pendek, alam dieksploitasi dengan cara-cara yang tidak arif. Begitu banyak persoalan timbul karenanya: pencemaran lingkungan, kebakaran hutan, banjir, longsor, dll.
Kelestarian alam sudah barang tentu sangat penting demi kelanjutan hidup bangsa pemilik alam itu. Untuk menyongsong hari-hari di depan, bangsa kita memerlukan sumber daya alam yang terjaga. Generasi kita harus memastikan bahwa warisan kita bagi generasi berikutnya bukanlah alam yang rusak! Kalau tidak, alih-alih sibuk memajukan bangsa, generasi berikut harus sibuk mengurusi masalah kerusakan alam.
Karenanya, saat ini kita butuh etos baru dalam mengelola alam. Nah, menemukan etos baru ini sebetulnya tidak sulit karena segudang kearifan turun-temurun suku-suku di Indonesia sudah tersedia untuk diterjemahkan ke dalam konteks moderen.
Adat nataki, misalnya, memandu masyarakat Dayak untuk bertindak arif sewaktu membuka hutan menjadi ladang. Mula-mula mereka merobohkan pohon, belukar, dan ilalang di sekeliling lahan yang akan dibuka. Wilayah robohan ini, yang berkisar antara 3-5 meter, akan menjadi batas api saat lahan dibakar. Selanjutnya, pohon, belukar, dan ilalang yang sudah roboh disapu ke dalam lahan yang hendak dibakar. Dengan demikian, api lahan bakaran ditahan oleh wilayah robohan sehingga tidak meluas ke daerah lain. 1
Contoh lain, adat sasi menuntun masyarakat Maluku mengelola sumber daya alam di darat dan laut secara bijak. Sasi melarang mereka mengambil hasil alam pada lokasi-lokasi tertentu yang diberi tanda sasi (tede sasi). Larangan ini memastikan kualitas alam tetap terjaga dan hasil alam hanya diambil pada waktu yang tepat. Sasi mengekang nafsu manusia untuk mengeksploitasi alam secara berlebihan sambil mengajarkan tentang pemanfaatan sumber daya alam dalam jangka panjang.2
Saya kira terjemahan konteks moderen untuk kearifan lama seperti nataki adalah bahwa kita harus mengelola alam dengan rencana penunjang yang matang. Rencana ini mencakup pemikiran mendalam tentang teknik/teknologi tepat guna, dampak baik dan buruk, penanggulangan dampak buruk, dll. Sebagai contoh, Djohan Riduan Hasan berhasil menyulap lahan bekas tambang timah di Bangka menjadi Bangka Botanical Garden (BBG).3 Rencana-rencana penunjang kreatif serupa itulah yang mestinya disiapkan sejak awal oleh para pengelola alam.
Sementara itu, sasi dapat kita terjemahkan ke dalam aturan-aturan hukum moderen yang memastikan kelestarian alam dan tindakan tegas terhadap perusakan alam. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan dapat dikenai “sasi” berupa denda dan larangan memanfaatkan alam sampai alam tersebut pulih.
Selain nataki dan sasi tentu masih banyak kearifan turun-temurun lain yang dapat kita terjemahkan ke masa kini. Asalkan kita cerdas dan sigap untuk melakukannya, semua itu akan tak ternilai harganya sebagai panduan pengelolaan alam Indonesia di segala lintasan masa.
Ya, etos baru yang penting kita usung hari ini dalam mengelola alam adalah etos lama yang telah diakrabi suku-suku kita (tapi yang telah sangat kita lalaikan): berpemikiran jangka panjang dengan dikawal berbagai rencana penunjang dan aturan hukum yang tepat dan tegas. Jika etos baru ini berhasil dimasyarakatkan, saya yakin tidak ada lagi yang perlu menonton mobil beralih peran jadi kapal feri seperti di Desa Taniwel.
.
Viona Wijaya adalah seorang calon pegawai negeri sipil yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 “Kearifan Lokal yang Tersingkir” dalam situs Anti Corruption Clearing House. <http://acch.kpk.go.id/kearifan-lokal-yang-tersingkir>.
2 Billy Soplanit. “Sumber Ide: Sasi” dalam situs Institut Leimena. <http://www.leimena.org/id/page/v/806/sasi>.
3 Lihat Antono Purnomo. “Mengubah Lahan Tambang Menjadi Lahan Hijau” dalam situs Reader’s Digest Indonesia. <http://www.readersdigest.co.id/sobat/sobat.inspiratif/mengubah.lahan.tambang.jadi.lahan.hijau/008/001/61>.
miris memang melihat kenyataan bhwa (kebanyakan) lahan perkebunan sawit yg ada justru menimbulkan cekcok antara masyrakat setempat dan pengelola lahan. bahkan smpai terjadi pertumpahan drah. untunglah di mentawai lahan sawit tidak jadi dibuka–karena sempat ada rncna pemkab terdahulu utk begitu.
tulisan yg bagus viona. utk pertma kalinya jga aku mendgr istilah sasi dan nataki ini,hehehe 😀
Halo Paul! Wah, ternyata Mentawai pun tak luput dari (usulan) pembukaan perkebunan sawit ya. Memang kejadian-kejadian seperti ini tak terhindarkan lagi, karenanya harus dipikirkan bersama-sama langkah paling arif untuk menyikapinya di mana alam bisa dikelola tapi masyarakat juga tidak dirugikan.
Nah, aku malah terpikir kira-kira di Mentawai ada kearifan lokal apa ya? 🙂 Mungkin Paul yang lain kali tugas menuliskannya heheeh 🙂 Salam, Ul!