Menelisik Mimbar Doktrinal

Oleh Viona Wijaya

Pernahkah Anda hadir di gereja yang khotbah mimbarnya cenderung bersifat doktrinal? Pengkhotbah di mimbar-mimbar ini biasanya fasih mengupas doktrin-doktrin Alkitab dengan memberi berbagai ilustrasi serta mengutip ayat demi ayat dan pendapat-pendapat para teolog. Alhasil khotbah-khotbah yang disampaikan tampak kuat, terstruktur, dan meyakinkan secara teologis.

Saya akan menyebut mimbar seperti itu “mimbar doktrinal.” Mari kita menelisiknya.

Mimbar doktrinal getol menyuarakan doktrin-doktrin kekristenan. Tema-tema bahasan mimbar ini lazimnya berkisar pada hubungan manusia Kristen dengan Tuhan, yakni sisi vertikal kekristenan. Sisi horizontal hanya sesekali saja dibahas. Pembahasan tema-tema itu umumnya bersifat abstrak dan teoritis karena gereja dengan mimbar doktrinal berpandangan bahwa doktrin yang benar akan serta-merta menghasilkan tindakan yang benar.

Menurut saya, pandangan itu agak keliru karena pengetahuan saja tak bisa menjamin laku seseorang. Dalam Matius 23:1-36 Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi karena pengetahuan dan tingkah laku mereka bak panggang jauh dari api. Mereka sangat menguasai seluk-beluk Taurat tapi rupanya tidak menerapkan pengetahuan mereka dalam hidup sehari-hari.

Itulah bahaya yang juga mengintai mimbar doktrinal! Mimbar doktrinal berpotensi mencetak “ahli-ahli Taurat,” yakni orang Kristen yang tahu banyak tapi jarang berpraktik. Mereka bisa jadi handal menghafal ayat dan pendapat ahli Kitab Suci (yang tiap minggu mereka dengar dari mimbar) tapi gagap menerapkannya. Semua pengetahuan itu menumpuk di kepala tapi urung tersalur ke organ-organ tubuh lain untuk diolah menjadi karya nyata.

Di sini saya memetik sebuah prinsip penting: tahu doktrin yang benar tidak serta-merta membuat seseorang berlaku benar. Karenanya, mimbar gereja tak boleh berpuas mengkhotbahkan doktrin saja tapi harus pula mencerahi jemaat untuk mengamalkannya dalam karya.

Kalau ada orang Kristen yang tidak mengamalkan suatu doktrin kristiani, alasannya bisa macam-macam. Mungkin saja dia malas, degil, atau munafik (seperti para ahli Taurat dan orang Farisi yang dikecam Yesus). Alasan-alasan seperti ini ada di luar jangkauan mimbar karena berpulang kepada hati masing-masing orang.

Tapi mungkin juga orang Kristen gagal mengamalkan doktrin kristiani lantaran tak mengerti bagaimana mengejawantahkan doktrin itu dalam karya nyata. Maka mimbar perlu membantu agar pengetahuan di kepalanya dapat menjelma jadi kiprah-kiprah yang memuliakan Allah dan berguna bagi sesama.

Dalam Alkitab, Yesus mencontohkan bantuan macam itu. Ia tak sekadar mengkhotbahkan dokrin/teori tapi menunjukkan karya dan aksi nyata yang dapat dilakukan para pendengar khotbah-Nya—khususnya jika doktrin/teori tersebut berkaitan dengan hubungan antar-manusia.

Sebagai contoh, selain mengkhotbahkan soal mengasihi sesama manusia,1 Yesus meneladankan atau menyebutkan contoh penerapan doktrin tersebut: memberi makan kepada orang yang lapar, memberi minum kepada orang yang haus, memberi tumpangan kepada orang asing, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, dst.2 Ini tentu memudahkan orang untuk mempraktikkan “kasihilah sesamamu manusia.”

Sebagai contoh lain, Yesus tidak berhenti pada doktrin “hormati ayahmu dan ibumu” yang bersifat abstrak. Ia  juga menerangkan tindak nyata yang tidak bersesuaian dengan doktrin tersebut, yakni melalaikan tanggung jawab memelihara hidup orang tua dengan dalih relijius.3

Teladan Yesus perlu diterapkan para pengkhotbah Kristen di mimbar. Khotbah tentang garam dan terang dunia, misalnya, harus disertai penjelasan tentang seperti apa tindak nyata menggarami dan menerangi bidang-bidang hidup manusia yang luas—politik, ekonomi, sosial, budaya, dsb.

Pengkhotbah dapat memaparkan bagaimana orang Kristen harus memberi rasa lewat karya-karya yang sebaik mungkin (bermutu tinggi, bermanfaat besar, dsb.). Pengkhotbah juga dapat memaparkan “busuk” dan “gelap” apa saja yang tidak boleh disentuh dan malah harus diperangi orang Kristen (korupsi, kecurangan, dsb.) di bidang-bidang yang digarapnya.

Anda tentu setuju bahwa mimbar adalah kekuatan gereja. Melalui mimbar, kebenaran disuarakan, jemaat dibangun dan diperlengkapi untuk melakukan pekerjaan baik. Karenanya, mimbar gereja-gereja Indonesia harus tetap menyuarakan doktrin alkitabiah sambil menguraikan berbagai terapannya dalam konteks Indonesia dan kekinian.

Bangsa dan dunia menanti karya nyata kita yang memuliakan Tuhan dan bermanfaat bagi sesama. Jadi, sungguh sayang bukan jika suara mimbar hanya tinggal dalam kepala saja?

.

Viona Wijaya adalah seorang calon pegawai negeri sipil yang bermukim di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Lihat Matius  22:37-39.

2 Lihat Matius 25:35-40.

3 Lihat Matius 15:4-5.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *