Oleh Viona Wijaya
Di bawah sorotan lampu, di panggung megah sebuah acara Paskah interdenominasi berskala nasional, pejabat X berdiri dengan mata terpejam. Di sampingnya, Pendeta Z, seorang pendeta tersohor, mengangkat tangan untuk mendoakannya. Suara sang pendeta membahana, “Perkenanan Tuhan ada padamu untuk memimpin bangsa ini!” Doa ini disambut jemaat dengan penuh semangat sambil menyerukan “amin” dan “haleluya.”
Saya, yang waktu itu didaulat sebagai pembawa acara, tidak ikut bersemangat tapi malah gelisah. Pasalnya pejabat X, yang selama ini menjadi walikota, tidak menunjukkan kinerja yang membanggakan: tata kota semerawut, pelayanan publik carut marut, bahkan kencang beredar kabar bahwa ia terlibat praktik korupsi. Semua itu tidak tersembunyi dari publik, tapi toh Pendeta Z dan hadirin mantap menyatakan perkenanan Tuhan atas pejabat X yang hendak mencalonkan diri untuk jabatan yang lebih tinggi.
Di sini saya merasa mendapati suatu kenaifan pada sebagian orang atau komunitas Kristen. Mereka mudah menilai “baik” seorang pejabat hanya karena pejabat itu mau “memperhatikan” umat Kristen, misalnya dengan hadir di acara kristiani.1 Maka dalam musim pemilihan umum (pemilu), baik tingkat nasional maupun regional, mereka cenderung mengukur layak-tidaknya seorang kandidat hanya berdasarkan “ramah”-tidaknya kandidat itu terhadap kepentingan orang Kristen. Mereka tak terlalu ambil pusing dengan rekam jejak, wawasan, visi, atau mutunya.
Menurut saya, ada dua hal utama yang menyebabkan kenaifan mereka. Pertama, mereka terkungkung dalam mentalitas minoritas yang memandang diri lemah di tengah “lautan mayoritas” di bumi Indonesia. Karena itu pejabat non-Kristen yang menunjukkan sikap “ramah” terhadap umat Kristen pasti akan disambut hangat.
Kedua, mereka tenggelam dalam keapatisan terhadap isu-isu sosial-politik dan tidak biasa berpikir mendalam. Akibatnya, mereka tidak getol memperhatikan berita-berita aktual sehingga kerap tidak mengetahui rekam jejak seorang (calon) pejabat.
Kenaifan membuat orang Kristen memilih secara tak arif—dan ini sangat berbahaya! Di masa pemilu, para kandidat pejabat akan berusaha mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Sungguh buruk jika kita, dalam kenaifan, membantu memenuhi pundi-pundi suara kandidat yang tidak punya rekam jejak baik (tapi yang berhasil mencitrakan dirinya “ramah” kepada umat Kristen) dan memuluskan langkahnya ke kursi kekuasaan.
Prinsip untuk memilih pemimpin secara arif, yakni berdasarkan rekam jejaknya, sebetulnya ada dalam Alkitab. Sebagai contoh, dalam Yeremia 22: 13-17, Allah sendiri menunjukkan bagaimana Ia menilai Yoyakim, raja Yehuda, berdasarkan rekam jejaknya.2 Allah menggunakan beberapa kriteria berikut: Apakah Yoyakim melakukan keadilan dan kebenaran serta memperhatikan orang sengsara dan orang miskin? Apakah Yoyakim tidak gila hartadan sewenang-wenang.3
Semua kriteria itu menegaskan bahwa Allah ingin para pemimpin bangsa mengamalkan kesalehan sosial, bukan sekadar kesalehan ritual. Ia menilai karya-karya nyata mereka bagi kemaslahatan rakyat, bukan sekadar ibadah lahiriah mereka.
Saya kira kriteria-kriteria yang sama dapat kita gunakan sebagai pedoman arif untuk memilih para pemimpin bangsa. Tak dapat tidak kita harus celik terhadap rekam jejak mereka. Perhatikanlah karya-karya apa yang sudah mereka buat bagi masyarakat. Pastikanlah mereka tidak gila uang atau cenderung kepada kekerasan, tapi tulus memperjuangkan kepentingan rakyat. Jadi, mereka yang tersandung kasus korupsi tidak usah kita pilih, begitu pula mereka yang tersangkut kasus-kasus kekerasan. Sebaliknya, kita pilihlah mereka yang berpihak kepada keadilan dan kebenaran.
Sebagai penutup, saya ingin menuturkan sedikit cerita lanjutan tentang pejabat X yang telah kita temui di awal tulisan. Saat ini, pejabat yang mendapat “restu” mantap dari hadirin perayaan Paskah itu tengah menghadapi meja hijau akibat dugaan praktik korupsi. Ia gagal melaju ke jabatan yang lebih tinggi, dan malah kandas di kursi pesakitan hukum.
Kalau sudah begitu, tidakkah doa “perkenanan Tuhan ada padamu” itu jadi tampak naif? Tidakkah segala “amin” dan “haleluya” yang diserukan dengan penuh keyakinan itu jadi tampak tidak arif?
Ah, umat Kristen, mari kita arif, bukan naif, dalam memilih pemimpin.
.
Viona Wijaya adalah seorang calon pegawai negeri sipil yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Secara khusus kalau umat Kristen menjadi umat minoritas di suatu daerah. Ini kasus yang sangat lumrah di Indonesia!
2 Sebagai raja, Yoyakim memang menjadi pemimpin karena keturunan, bukan karena dipilih melalui pemilihan umum. Tapi prinsip menilai rekam jejak dalam bagian Alkitab ini cocok diterapkan pada konteks pemilihan umum.
3 Lihat secara khusus Yeremia 22:17, “Tetapi matamu dan hatimu hanya tertuju pada pengejaran untung, kepada penumpahan darah orang yang tak bersalah, kepada pemerasan dan kepada penganiayaan.”