Masih Diperlukankah Partai Politik Kristen?

Oleh Ericko Sinuhaji

“Apa kekhasan partai politik Kristen kalau ia hanya menjual kekristenan untuk mencari massa [dan] setelah itu mereka ditinggal karena partai politik itu diam membisu saat mereka menghadapi persoalan?”1

Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Pastor Benny Susetyo dalam seminar tentang peran umat Kristen di ranah politik menjelang Pemilu 2009. Seminar yang dihadiri ratusan umat Kristen, para petinggi gereja, serta perwakilan LSM dan partai politik (parpol) itu mempertanyakan kembali makna keberadaan parpol Kristen, karena perilakunya—meski mengusung embel-embel “Kristen”—ternyata tak berbeda dengan parpol lainnya. Tidak tampak “kekhasan partai politik Kristen” itu!

Jangankan memperjuangkan kepentingan umum, parpol Kristen justru terjerat berbagai permasalahan. Korupsi dan perpecahan internal merundungnya sehingga tidak heran jika semakin hari parpol Kristen semakin ditinggal oleh massa pendukungnya.2 Alhasil dalam daftar peserta Pemilu 2014 tidak ada lagi tercantum nama parpol Kristen.Hal ini tak pelak menggiring kita kepada pertanyaan: Masih diperlukankah parpol Kristen di Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bisa mempertimbangkan hal-hal berikut.

Pertama, identitas “Kristen” parpol Kristen berpotensi disalahartikan oleh saudara-saudara sebangsa yang menganut agama lain—khususnya agama mayoritas. Akan mudah timbul kecurigaan bahwa parpol Kristen hanya atau cenderung memperjuangkan kepentingan golongan sendiri. Akibatnya, parpol Kristen sulit mendapat dukungan luas untuk berjuang di pentas nasional. Dengan hanya mengandalkan dukungan terbatas dari umat Kristen—dukungan yang juga tidak bulat—tak heran parpol Kristen tersingkir dari Pemilu 2014.

Kedua, bukan rahasia lagi bahwa sebagian masyarakat Indonesia masih mementingkan ikatan sektarian. Dalam kondisi demikian, mudah sekali parpol Kristen “hanya menjual kekristenan untuk mencari massa,” seperti disinyalir Pastor Benny. Padahal umat Kristen seharusnya ditempa menjadi dewasa dalam berpolitik—salah satu caranya adalah dengan dilatih untuk mendukung partai atau calon wakil rakyat tertentu berdasarkan pertimbangan idealisme keindonesiaan, kejujuran, dan perjuangan nyata untuk kepentingan umum, bukan berdasarkan alasan-alasan sektarian.

Ketiga, umat Kristen diajari Kristus untuk “cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.”3 Dalam hal peran di ranah politik, “tulus” berarti umat Kristen harus menjalankan peran sertanya demi kemaslahatan bersama, bukan kemashalatan golongan sendiri. “Cerdik” berarti umat Kristen harus lihai dalam menggalang kekuatan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama itu dengan komponen-komponen bangsa lainnya. Jika parpol Kristen, sebagaimana adanya selama ini, hanya mengandalkan dukungan umat Kristen yang notabene minoritas di Indonesia (dan yang, seperti sudah disebutkan, dukungannya pun tidak bulat), tentu kekuatannya tidak seberapa untuk berbicara di pentas nasional dan memberikan sumbangan berarti demi kemaslahatan bersama.

Keempat, sesungguh-sungguhnya umat Kristen dapat tetap berperan serta dalam dunia politik tanpa harus berkendaraan parpol Kristen. Ambil contoh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang “sukses” berkarya di panggung politik nasional. Sekalipun bergabung dengan parpol umum, ia dapat tetap mengamalkan kecerdikan dan ketulusan kristiani demi kepentingan bersama.

Terakhir, lewat dunia politik umat Kristen diperhadapkan kepada isu-isu dunia nyata yang perlu disikapi dengan wawasan atau kajian kristiani mendalam, bukan yang “ala kadarnya”—contohnya isu pengguguran kandungan, pelacuran, hukuman mati, dsb. Parpol Kristen akan sangat kewalahan kalau menyikapi isu-isu macam itu dengan “menjual kekristenan” belaka dalam pikiran naif, ”Asalkan mengusung agama (yang melibatkan klaim kebenaran), masalah akan selesai!” Belum lagi kalau ada awak parpol yang tersandung skandal moral atau korupsi! Semua itu akan menjadi bumerang bagi umat Kristen dan kekristenan sendiri.

Menimbang kelima hal di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa parpol Kristen tidak diperlukan di Indonesia—setidaknya untuk saat ini. Umat Kristen lebih baik menilik kebutuhan bangsa Indonesia yang sesungguhnya daripada sibuk memperjuangkan kehadiran parpol khas Kristen. Sebagaimana ditegaskan Pastor Benny, “Saudara umat Kristen jangan terlalu memikirkan mengenai partai politik, tetapi bersama membangun komunitas basis insani yang pro kepada petani, nelayan, dan kaum buruh.”4

Ya, umat Kristen wajib terus berperan serta di dunia politik tapi tidak wajib membentuk partai politik.

.

Ericko adalah seorang alumnus jurusan hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 “Partai-partai Politik Kristen Dipertanyakan” dalam situs Mirifica. <http://www.mirifica.net/printPage.php?aid=4844>. Kata dalam tanda kurung siku ditambahkan oleh penulis.

2 Ambil contoh Partai Damai Sejahtera (PDS), parpol Kristen yang jadi peserta Pemilu tahun 2004 dan 2009 tapi gagal lolos sebagai peserta Pemilu 2014. Dilaporkan bahwa “[k]onflik internal yang kerap melanda partai ini, belum lagi banyaknya berita sumbang tentang sejumlah kadernya yang berperilaku tak terpuji dan sering menyimpangkan dana partai, membuat para simpatisan PDS seiring waktu berpaling ke lain partai. Alhasil, perolehan suara PDS pada Pemilu 2009 lalu melorot signifikan sehingga tak berhasil mencapai ambang batas untuk bisa mendudukkan anggotanya di DPR.” Lihat “Pemilu 2014 Tanpa Partai Kristen” dalam situs Tabloid Reformata. <http://reformata.com/news/view/7049/pemilu-2014-tanpa-partai-kristen>.

3 Lihat Matius 10:16.

4 “Partai-partai Politik Kristen Dipertanyakan” dalam situs Mirifica.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *