Oleh Edy Agustinus
Stafku, stafku/ada yang bekerja setengah hati/ada yang bekerja semaunya sendiri/… ada yang pagi-pagi sudah di kedai kopi/… ada yang tak peduli etika kerja/… berbagai tunjangan sudah diterima/mengapa masih malas bekerja/… apakah kalian tidak tahu/atau pura-pura tidak tahu/… di tengah bangsa yang dilanda krisis/… begitukah ungkapan rasa syukur atas/nikmat yang Tuhan “berikan”?1
Namanya Suryatati A. Manan. Perempuan kelahiran Tanjungpinang tahun 1953 ini memulai karir sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada tahun 1978 hingga menjadi walikota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, periode 2003-2013. Ia juga dikenal melalui puisi-puisinya—beberapa di antaranya dibuat berdasarkan pengalamannya sebagai abdi negara. Salah satunya adalah puisi berjudul “Stafku” yang ditulisnya pada tahun 2008 dan yang saya kutip sebagian di atas. Lewat puisi itu ia mengemukakan kegundahan hatinya atas kinerja stafnya, sesama abdi negara.
Kegundahan itu timbul karena ia gusar dan prihatin melihat tingkah polah para abdi negara. Gusar, karena banyak dari mereka bekerja tanpa kesungguhan, sesuka hati, bahkan pada jam kerja tidak berada di tempat, sehingga tampak tidak tahu etika kerja. Prihatin, karena saat negara sedang sakit oleh krisis, para abdinya—yang menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas darinya—malah tidak peduli.
Semua itu tentu merupakan persoalan besar. Bagaimana mungkin negara Indonesia bisa sejahtera jika para abdinya bertingkah polah seperti itu ?Sebagai sesama abdi negara, saya ikut gundah bersama Ibu Suryatati dan berpikir tentang perubahan-perubahan penting yang harus diterapkan pada pola pikir dan lingkungan kerja PNS.
Pola pikir penting diubah karena sangat erat kaitannya dengan perilaku. Sebagai contoh, jika seorang PNS berpikir bahwa abdi negara adalah profesi yang “tanpa bekerja serius pun akan mendapatkan hak,” maka perilakunya akan mencerminkan pola pikir tersebut. Ia cenderung tidak mau repot melaksanakan kewajibannya namun tetap menuntut haknya.
Pola pikir macam itu harus dibenahi dengan penanaman prinsip “hak diterima setelah kewajiban dilakukan”2 melalui teladan atasan dan penataran. Atasan harus terlebih dahulu memegang dan mengamalkan prinsip tersebut sehingga ia dapat mengilhami bawahannya untuk berbuat serupa. Seiring dengan itu, prinsip tersebut perlu ditatarkan kepada para abdi negara agar dapat menyebar luas dan diterapkan secara massal.
Selanjutnya, lingkungan kerja penting diubah karena perilaku dibentuk pula oleh penyesuaian diri terhadap kebiasaan yang lazim didapati di lingkungan kerja. Sebagai contoh, jika banyak abdi negara lama menunjukkan bahwa “minggat dari pos” pada jam kerja adalah hal biasa, maka para abdi negara baru bisa ikut serta—menyesuaikan diri—dengan mereka dalam tindakan indisipliner itu. Ini diperparah pula oleh tidak dijatuhkannya sanksi ketika hal itu dilakukan.
Keadaan macam itu harus dibenahi dengan penegakan aturan secara berani dan konsisten. Ini pun erat kaitannya dengan peran atasan, yang berwenang mengatur lingkungan kerja. Atasan harus tegas dalam menegakkan aturan, tanpa merasa sungkan atau memandang senioritas bawahan pelanggar. Selain itu, setiap PNS harus ditatar tentang prinsip “siapa melakukan apa.” Ini penting untuk memahami dan menjalankan tugas masing-masing dengan baik sehingga iklim kerja yang sehat dapat dibangun di lingkungan kerja.
Suryatati A. Manan adalah contoh abdi negara yang layak ditiru. Ia menghayati peran dan fungsinya sebagai abdi negara dengan berkinerja baik sekaligus merasa gundah terhadap kinerja buruk sesama abdi negara. Saya yakin kegundahan ini, yang juga dirasakan banyak orang Indonesia, dapat disirnakan dengan pembenahan pola pikir dan lingkungan kerja para abdi negara. Biarlah gusar dan prihatin lenyap oleh derap barisan abdi negara yang menjunjung etika kerja dan peduli nasib bangsa!
.
Edy adalah seorang PNS pemerintah provinsi yang tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat.
.
Catatan
1 “Puisi-Puisi Suryatati A. Manan” dalam situs Jendela Sastra. <http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/puisi-puisi-suryatati-a-manan>.
2 Dalam Alkitab, saya mendapati prinsip serupa di 2 Tesalonika 3:10: “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.”