Temukan “Panggung”mu, Mahasiswa Kristen!

Oleh Viona Wijaya

Suasana kala itu sangat panas. Telinga saya mendengar pembicara ketiga dari tim lawan berkata-kata dengan begitu berapi-api. Tangan saya terus mencatat, sementara otak saya sibuk merangkai argumen-argumen pamungkas. Jantung saya berdebar kencang sebab waktu bicara lawan semakin menipis. Diam-diam saya panjatkan doa kepada Tuhan menjelang waktu saya beraksi.

Teng! Waktu bicara lawan habis. Hadirin bertepuk tangan riuh rendah. Saya adalah pembicara terakhir dalam ronde final tersebut, penentu apakah tim kami sanggup bertahan dari serangan lawan. Bagi saya sendiri, lawan yang kuat malah menambah semangat. Saya akan menyanggah dan menyerang argumennya habis-habisan—dan ini terasa sangat mengasyikkan!

Itulah “panggung” seru tempat saya pernah beraksi kala kuliah: kompetisi debat hukum antar universitas setanah air. Saat itu, saya yang baru menginjak semester lima didaulat untuk mewakili universitas tampil di sana. Tanpa dinyana, rupanya di sanalah saya belajar menjadi mahasiswa Kristen yang sesungguhnya. Kisahnya tak kalah seru.

Sebagai mahasiswa fakultas hukum, mulanya saya tergolong jenis mahasiswa “kupu-kupu,” yakni “kuliah-pulang kuliah-pulang,” yang mementingkan belajar sebaik-baiknya lalu lulus cepat dan mendapat pekerjaan baik. Sebagai mahasiswa Kristen, saya pikir cukuplah saya terlibat dalam kegiatan-kegiatan Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) saja.

Karenanya, didaulat jadi delegasi kampus untuk kompetisi debat itu membuat saya cukup terkejut. Awalnya saya ragu. Saya tak percaya diri dan takut tak bisa melebur dengan tim, di mana hanya saya dan seorang senior yang beriman Kristen. Saya hanya aktif di PMK sehingga tak kenal dekat dengan delapan kawan non-Kristen dalam tim. Meski demikian, akhirnya saya putuskan untuk melawan keraguan dan mencoba menggeluti dunia debat mahasiswa.

Jadwal harian saya sebagai mahasiswa pun berubah drastis. Selain mengikuti kelas-kelas normal, saya harus menyiapkan diri untuk kompetisi. Saya diwajibkan dosen membaca buku-buku untuk menggali pengertian terhadap suatu persoalan. Setiap hari banyak sekali buku yang harus saya lahap—dan jelas saya tidak bisa menolaknya!

Sewaktu melatih kami, para dosen tak segan mencecar kami dengan pertanyaan-pertanyaan tajam. Dalam mengkritik pun mereka tak tanggung-tanggung. Di situlah saya belajar berani berpikir mandiri dan mempertanggungjawabkan pemikiran secara ilmiah.

Saya pun mulai menjadi penghuni setia kampus. Dari pagi hingga malam, manakala tidak ada kelas normal, saya dan kawan-kawan tim berkumpul, menyusun argumentasi, berdiskusi dan berdebat. Waktu berjam-jam kami habiskan bersama—dan saya tak menyangka kegiatan ini ternyata sangat seru dan menyenangkan!

Ketakutan saya sebelumnya tak terjadi. Saya mampu melebur bahkan bersahabat dengan kawan-kawan non-Kristen. Perbedaan agama tak jadi kendala bagi kami untuk bertukar pikiran mengenai berbagai soal. Hingga saat ini, mereka tetap menjadi rekan diskusi yang mengasyikkan.

Rasanya tak berlebihan jika saya katakan bahwa saya belajar menjadi mahasiswa Kristen yang sesungguhnya dari “panggung” kompetisi debat. Saya sadar bahwa mahasiswa Kristen tak cukup hanya “mashur” di PMK, tetapi juga harus “mashur” di luar PMK—mashur karena dikenal sebagai mahasiswa yang cakap di bidang keilmuannya—dan menggarami dunia kemahasiswaan dengan teladan integritas dan pemikiran-pemikiran yang bernas. Inilah aksi nyata menjadi “garam dunia” dalam konteks kemahasiswaan.

Alangkah indahnya jika lebih banyak lagi mahasiswa Kristen yang berkiprah seperti itu! Karenanya, mahasiswa Kristen harus bermutu tinggi: tak hanya mantap secara rohani, tetapi juga mantap secara keilmuan. Ia mesti gemar membaca, berwawasan luas, mampu berpikir logis-mandiri, dan luwes berelasi dengan kawan-kawan non-Kristen sebagai sesama generasi muda penerus bangsa. PMK wajib mendorong dan membantu anggota-anggotanya untuk mengejar mutu tinggi ini.

Selanjutnya, mahasiswa Kristen hendaknya mencari “panggung” untuk beraksi, untuk mengasah dan mengunjukkan bakat dan kemampuannya sebagai mahasiswa. Saya menemukannya dalam komunitas debat kampus, tapi orang lain mungkin menemukannya dalam komunitas atau hal lain. Di situlah mahasiswa Kristen dapat mengembangkan diri sekaligus menjadi berkat.

Jangan biarkan gelar “mahasiswa Kristen” menjadi gelar hampa! Temukan “panggung”mu, wahai mahasiswa Kristen, lalu muliakanlah Allah di situ dengan aksi gemilangmu!

.

Viona Wijaya adalah seorang calon pegawai negeri sipil yang bermukim di DKI Jakarta.

.

3 thoughts on “Temukan “Panggung”mu, Mahasiswa Kristen!

  1. Martin PS

    Setiap orang sudah mendapatkan “panggung”nya masing-masing sesuai dengan talentanya. Mari kita gunakan talenta kita untuk hal yang bermanfaat bagi Tuhan dan sesama.
    Terima kasih Kak Ona atas cerita pengalamannya. Semangat selalu dalam perjuangan di “panggung” kita masing-masing. 😀

    Reply
  2. viona wijaya

    Ada orang yang sudah mendapatkan, ada juga yang mungkin bahkan belum sadar bahwa ada “panggung” yang Tuhan sediakan baginya selama menjadi mahasiswa 🙂 Bersyukur kalau ternyata kamu sudah menemukan “panggung”mu, Tin! tul, terus gunakan talenta untuk Tuhan dan sesama. Tularkan kesadaran dan semangat ini pada kawan-kawan yang lain ya! Semangat untukmu juga, Tin!

    Reply
  3. laurentiusmark93

    Lah ane… PMK Kagak…
    Tapi iya seh…
    Menurut saya memang “Panggungnya” Orang Kristen emang di luar sono…
    Bukan ngedakom di gedung atau PMK…
    Entah kenapa tapi emang udah harusnya begitu…

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *