Oleh Viona Wijaya
Salim bukan hanya diplomat ulung, melainkan juga diplomat Indonesia yang pertama. Dia merintis jalan bagi Indonesia dalam hubungan maupun kegiatan-kegiatan dengan dunia internasional.
Solichin Salam1
Situasi di tanah air saat itu genting. Meski proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI) sudah dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda masih saja menganggap Indonesia sebagai wilayah kekuasaannya. Membonceng kedatangan Sekutu kemari, Belanda mencoba menancapkan kembali kekuasaannya dengan kekerasan.
Untuk mempertahankan kemerdekaan, Indonesia butuh dukungan internasional. Tetapi republik yang baru lahir ini ibarat pemain baru yang belum dikenal. Di lain pihak, Belanda ibarat pemain lama dengan kawan-kawan lama yang berpengaruh, yaitu kekuatan-kekuatan raksasa dunia yang tergabung dalam Sekutu. Bagaimana Indonesia bisa memperoleh dukungan internasional itu?
Jawabannya, antara lain, terletak pada pria Minangkabau berperawakan kecil dan berjiwa merdeka yang bernama Agus Salim. Ulama-cendekiawan yang menguasai sembilan bahasa ini memimpin lawatan diplomatis bagi RI ke negara-negara Asia Barat. Itu terbukti sebagai langkah strategis yang mujarab!
Pada tanggal 10 Juni 1947, lawatan diplomatis Salim menjadi pukulan besar terhadap Belanda. Mesir menandatangani perjanjian persahabatan dengan Indonesia di bidang sosial ekonomi. Kejadian itu meneguhkan negara-negara Asia Barat lain untuk tidak tinggal diam. Secara berturut-turut Libanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, Yaman pun mengakui kedaulatan Indonesia.2
Pengakuan tersebut membuka lebar pintu-pintu diplomasi penting bagi Indonesia: kesempatan berbicara di persidangan PBB dan perundingan-perundingan damai dengan Belanda. Di jalan diplomasi yang dirintis Agus Salim, utusan-utusan Indonesia tampil cakap dan prima sehingga dunia pun mulai melihat Indonesia sebagai negara yang berdaulat, bukan lagi wilayah kekuasaan Belanda.
Dengan sepak terjangnya, Agus Salim mempertontonkan kepada kita bahwa jiwa merdeka adalah jiwa yang berpikir dan bertindak strategis. Tak terhalangi apa pun, jiwa merdeka leluasa melihat kebutuhan mendesak dan kendala bagi kebutuhan itu. Tak terkungkung apa pun, jiwa merdeka leluasa pula memikirkan dan berani melaksanakan siasat untuk mengatasi kendala itu.
Melawat dan merangkul bangsa-bangsa Asia Barat jelas merupakan langkah strategis, mengingat Indonesia punya kedekatan dengan negara-negara Asia Barat dalam hal agama (mayoritas beragama Islam) dan sejarah (mayoritas sama-sama dijajah bangsa Barat). Kedudukan dan kecakapan Salim (ulama Islam yang menguasai banyak bahasa) jelas pula amat cocok bagi pekerjaan itu.3 Maka mengucurlah keran dukungan internasional dan makin kokohlah kemerdekaan bangsa Indonesia berkat kinerja jiwa merdeka ini.
Di masa kini, hubungan antara Indonesia dan negara-negara lain telah terbangun mantap. Hubungan internasional ini perlu dirawat dan dikelola baik-baik agar dapat membawa manfaat bagi bangsa Indonesia. Untuk itu dibutuhkan duta-duta bangsa berjiwa merdeka yang mampu berpikir dan bertindak strategis seperti Agus Salim di masa lampau.
Tugas penting ini tak hanya menjadi beban para diplomat tetapi juga setiap kita yang berkesempatan membawa nama Indonesia di ajang internasional, misalnya dalam program pertukaran pelajar, pergelaran budaya, konferensi ilmiah internasional, pertandingan olahraga, dsb.
Kesempatan berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain harus kita manfaatkan untuk kemaslahatan bangsa. Sebagai diplomat, kita dapat merancang dan memperjuangkan kerja sama strategis di berbagai bidang. Sebagai ilmuwan Indonesia di konferensi ilmiah internasional, kita dapat menyumbangkan ide-ide baik yang selaras dengan kebutuhan bangsa dan dunia.
Sebagai mahasiswa yang menuntut ilmu di luar negeri, kita dapat membangun jaringan, menimba ilmu sebanyak-banyaknya—itu semua modal besar untuk membangun Indonesia di masa mendatang. Sebagai seniman dan atlet, kita bisa mempererat persahabatan antar negara lewat aksi-aksi kebudayaan dan olahraga. Demikianlah berbagai interaksi dengan bangsa-bangsa lain menjadi lahan strategis untuk menggalang hal-hal baik bagi bangsa kita sendiri.
Semoga di ulang tahun ke-69 Indonesia tercinta, teladan Agus Salim dapat menyalakan kembali jiwa merdeka dalam diri bangsa Indonesia. Bangkitlah duta-duta bangsa berjiwa merdeka—diplomat, mahasiswa, ilmuwan, seniman, atlet, dll.—yang berpikir dan bertindak strategis di ajang internasional! Harumkanlah nama bangsa dan tuailah manfaat bagi negeri tercinta!
.
Viona Wijaya adalah seorang calon pegawai negeri sipil yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Perkataan Solichin Salam, penulis biografi Agus Salim yang berjudul Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional, dikutip dari “Dia Sang Perintis Jalan” dalam Tempo edisi 12-18 Agustus 2013, hal. 41
2 Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 23 Maret 1947. Kunjungan diplomatik RI yang dipimpin Agus Salim tiga bulan kemudian bertujuan mengokohkan hubungan RI-Mesir. Pada saat itu, duta besar Belanda di Mesir berusaha menggagalkan perjanjian persahabatan kedua negara, namun tidak berhasil. Lihat Bonnie Triyana. “Mesir dan Kemerdekaan Indonesia” dalam situs Historia. <http://historia.co.id/artikel/modern/720/20/Majalah-Historia/Mesir_dan_Kemerdekaan_Indonesia>.
3 Agus Salim memang terkenal mahir berbicara, berpidato, dan menulis. Ketika menjabat sebagai menteri luar negeri RI pada tahun 1947, ia membuat terpukau tokoh-tokoh India melalui pidatonya. Tak heran ia sukses meraih dukungan negara-negara Asia Barat. Lihat Iswara N. Raditya. “Diplomasi Agus Salim: Dari Minang Merangkul Dunia” dalam blog Iswara N. Raditya. <http://dejavaraditya.wordpress.com/2009/11/18/diplomasi-agus-salim-dari-minang-merangkul-dunia>.