Oleh Daniel Siahaan
“Banyak di antara kita ingin tetap tertidur. Para pendeta turut mempertahankan gaya hidup terlelap ini dengan khotbah yang menghindari teguran dan suara kenabian.”1
Demikianlah komentar Mark Labberton, rohaniwan Amerika Serikat, tentang Gereja/umat Kristen (“kita”) dalam bukunya, The Dangerous Act of Worship. Gereja jadi tertidur, paparnya lebih lanjut, akibat “khotbah yang hanya terkait pada hidup pribadi jemaat tanpa memberikan tantangan Alkitabiah tentang hidup bermasyarakat.”2
Hal yang dikomentari Labberton itu mudah diamati pula di negeri kita. Banyak gereja tampak “tertidur”—lelap dalam penekanan tentang kesalehan pribadi melulu sehingga abai terhadap kesalehan sosial. Tak heran “suara kenabian” terhindar dari hidup bergereja!
Suara kenabian adalah seruan yang menuntut perilaku adil dan benar di tengah masyarakat. Suara ini dulu sering digaungkan oleh nabi-nabi Israel karena mereka merasa susah, bahkan marah, ketika melihat kezaliman dan kejahatan terjadi di negeri. Rasa susah dan amarah ini timbul karena mereka mengenal hal-hal baik dan benar yang diamanatkan Allah. Jadi, suara kenabian yang sejati lahir dari pergaulan karib dengan Allah. Contoh gamblangnya dapat kita lihat dalam doa Nabi Habakuk.
“Berapa lama lagi, TUHAN,” keluh Habakuk, “aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: ‘Penindasan!’ tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi. Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik” (Hab. 1:2-4).
Nabi Habakuk hidup di Kerajaan Yehuda sekitar abad ke-7 SM. Ia mengeluh kepada Allah karena ia jenuh melihat angkara berjaya di tengah masyarakat Yehuda: penindasan, kejahatan, kelaliman, aniaya, kekerasan, perbantahan, pertikaian, hukum kehilangan kekuatan, tidak ada keadilan, orang fasik mengepung orang benar. Semua itu menyusahkan hatinya.
Menanggapi susah hati Habakuk, Allah menyatakan bahwa Ia akan mendatangkan bangsa Kasdim/Babel untuk menaklukkan bangsa Yehuda—suatu bentuk hukuman ilahi (Hab. 1:5-11). Ketika bangsa Kasdim datang, mereka bertindak sangat kejam kepada bangsa Yehuda. Ini pun membuat Habakuk bersusah hati sehingga ia, berdasarkan petunjuk Allah, melontarkan suara kenabian terhadap mereka (Hab. 1:12-2:20).
Ya, susah hati Habakuk membuahkan suara kenabian. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa suara kenabian sejatinya lahir dari rasa susah ketika melihat kefasikan di tengah masyarakat—rasa susah yang merindukan perubahan baik. Jadi, jika suatu gereja sadar akan perannya sebagai penyampai suara kenabian, gereja itu harus memiliki perhatian besar terhadap hidup bermasyarakat, bukan cuma terhadap hidup pribadi jemaat belaka.
Mirip dengan jaman Habakuk, masyarakat di sekitar kita juga digoyang angkara: tawuran dan demonstrasi menunjukkan kekerasan dan perbantahan; pengadilan yang bisa diatur dengan uang menandakan hukum kehilangan kekuatannya; orang jujur yang dipersulit karirnya membuktikan bahwa orang fasik mengepung orang benar. Semua itu mestinya menjadi sumber susah hati Gereja.
Sebagaimana dalam kasus Nabi Habakuk, susah hati Gereja oleh keadaan buruk masyarakat haruslah muncul sebagai akibat pengenalan akan Allah dan petunjuk-petunjuk-Nya. Jadi, suara kenabian tidak mungkin terlepas dari hubungan baik dengan Allah dan pemahaman akan hal-hal baik yang diamanatkan-Nya.
Kita rindu umat Kristen tidak ada lagi yang “tertidur” seperti kata Labberton di atas. Untuk itu suara kenabian harus digaungkan gereja-gereja. Dan kita maklum bahwa hal ini harus diawali dengan susah hati atas angkara di negeri.
.
Daniel adalah seorang mahasiswa jurusan teknik mesin yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Mark Labberton. Bahaya Ibadah Sejati. Surabaya: Literatur Perkantas Jawa Timur, 2011, hal. 24. Buku aslinya berjudul The Dangerous Act of Worship dan diterbitkan oleh InterVarsity Press.
2 Mark Labberton, hal. 24.