Kubur Batu Sumba: Megakarya Kepercayaan Diri

Oleh Josia Tambunan

Orang Indonesia masa kini tampaknya mengalami suatu krisis kepercayaan diri dalam berkarya. Kita pada umumnya lebih suka memilih jalan mudah meniru saja hasil karya bangsa lain daripada membuat karya orisinal yang sesuai dengan konteks dan keunikan kita. Akibatnya, kita jadi miskin karya asli mutakhir dan dikenal sebagai bangsa penggemar karya impor.

Padahal orang Nusantara masa lalu, para leluhur kita, sangat percaya diri dalam berkarya! Di Zaman Batu Besar (Megalitikum), ribuan tahun lampau, mereka berprakarsa mencipta karya-karya megah nan indah dari batu. Dengan teknologi yang sudah mereka miliki pada masa itu, mereka menelurkan rupa-rupa megakarya seperti dolmen, menhir, punden berundak, relief, arca, dan kubur batu. Salah satu contohnya yang unik dan menarik adalah kubur batu Sumba.

Terhampar di berbagai penjuru Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, kubur batu Sumba, sebagaimana namanya, sejak dahulu dibuat untuk menguburkan jenazah orang Sumba—khususnya orang-orang Sumba yang terkemuka (raja, bangsawan).1 Di dalam peti batu, jenazah diletakkan dengan sikap duduk meringkuk.2 Butuh waktu lama untuk mengerjakan peti batu itu, dan ini mungkin bisa kita tafsirkan sebagai wujud kepercayaan diri para leluhur dalam bertekun demi menggubah karya penghormatan terakhir bagi orang yang telah meninggal dunia.

Jika kita mengamati kubur-kubur batu Sumba purba, kita akan menemukan berbagai pahatan yang indah. Para peneliti budaya dan arkeolog memberitahu kita bahwa pola-pola hias segala pahatan itu tidak dijumpai dalam kebudayaan batu besar lain. Kubur-kubur batu Nusantara lainnya, misalnya yang terdapat di Toraja dan Nias, atau bahkan di Sabu dan Flores yang lebih dekat dengan Sumba, tidak memiliki hiasan arca dan relief seperti kubur batu Sumba.3 Keunikan ini menunjukkan kekreatifan dan keorisinalan para leluhur di Sumba. Mereka sigap, terampil, dan percaya diri dalam mengembangkan karya yang khas di dunia.

Di atas kubur batu para bangsawan Sumba, kita dapat melihat penji, yakni tugu batu dengan ornamen binatang: ayam, kerbau, buaya, kura-kura, udang, atau lainnya. Ornamen-ornamen ini melambangkan gagasan-gagasan yang dipercayai atau diidealkan masyarakat Sumba kuna. Sebagai contoh, ornamen ayam melambangkan kepemimpinan. Ornamen udang melambangkan kehidupan yang hanya berganti dari dunia fana ini ke alam baka.4 Segala penji itu mengungkapkan kepercayaan diri dalam memegang ideal-ideal dan “menuturkan”nya kepada generasi penerus turun-temurun.

Sebagai megakarya kepercayaan diri, kubur batu Sumba seharusnya mengilhami kita untuk percaya diri pula dalam berkarya di konteks kekinian. Alih-alih menjadi peniru atau pengimpor karya-karya asing belaka, sudah waktunya kita, generasi Nusantara mutakhir, mengangkat kepercayaan diri yang besar untuk membuat rupa-rupa inovasi di berbagai bidang kehidupan: ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dll. Kepercayaan diri haruslah memacu ketekunan, kekreatifan, dan keorisinalan kita dalam pengerjaan dan pengolahan segala inovasi.

Selanjutnya, ideal-ideal baik yang telah kita warisi atau kembangkan harus kita buat “menonjol” dan jelas bagi generasi terkemudian. Sebagai contoh, ideal-ideal dalam semangat gotong royong dan Pancasila, dua hal yang khas Indonesia, mesti kita “tuturkan” turun-temurun—seperti perlambang penji-penji—dengan terus mengkaji dan menuliskannya sesuai dengan perubahan zaman.

Menimbang segala pelajaran bernas dari kubur batu Sumba, masuk akallah jika pelestariannya mesti dikerjakan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah dan bangsa Indonesia. Tujuan besarnya satu: agar generasi demi generasi dapat digugah untuk percaya diri bermegakarya pula di masanya masing-masing.

Jadi, ketika kita, orang Indonesia masa kini, dilanda krisis kepercayaan diri dalam berkarya, kita selalu dapat menengok dan mengambil pelajaran berharga dari megakarya kepercayaan diri para leluhur di masa silam—yang bertahan dari Zaman Batu Besar hingga zaman sekarang.

.

Josia adalah seorang mahasiswa jurusan hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 “Kuburan Megalitik Lambang Kebangsawanan Orang Sumba” dalam situs Tribun News. <http://www.tribunnews.com/regional/2011/02/09/kuburan-megalitik-kebanggaan-orang-sumba>.

2  Sikap ini menyerupai sikap bayi dalam kandungan dan melambangkan kepasrahan kepada Sang Pencipta. Lihat Norbert Ama Ngongu. “Konsep Kehidupan dan Kematian Menurut Agama Merapu,” sebagaimana dimuat oleh Delu Pingge dalam situs Kompasiana. <http://sosbud.kompasiana.com/2014/12/03/konsep-kehidupan-dan-kematian-menurut-agama-marapu-695075.html>.

“Kubur Batu Sumba: Lestarinya Budaya Megalitik Nusantara” dalam situs Wonderful Indonesia <http://www.indonesia.travel/id/destination/718/sumba-menyentuh-tradisi-dari-zaman-batu-dan-keindahan-nan-alami/article/343/kubur-batu-sumba-lestarinya-budaya-megalitik-di-nusantara>.

4 “Kubur Batu Megalitik: Tempat Arwah di Alam Gaib” dalam Ekspedisi Jejak Peradaban NTT: Laporan Jurnalistik KOMPAS. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011, hal. 68.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *