Bumerang Budaya Kekeluargaan

Salam sejahtera di bulan lima 2015, Sidang Pembaca!

Budaya kekeluargaan sangatlah lekat pada bangsa Indonesia. Di hati dan angan kita tersimpan segala macam gambaran kebaikan seputar budaya tersebut: keramahan, keakraban, tolong-menolong, gotong royong, tenggang rasa, setia kawan. Semuanya adalah hal bagus yang berfaedah bagi bangsa. Ibarat bumerang, budaya kekeluargaan dapat kita jadikan “senjata” untuk menyasar berbagai tujuan luhur berbangsa dan bernegara.

Namun, ibarat bumerang juga, apabila meleset dari sasaran, budaya kekeluargaan dapat melayang balik dan mencelakakan kita—suatu “efek bumerang.” Efek negatif ini sudah dan masih terjadi di tengah bangsa, tapi mungkin kurang kita sadari, sebab kita cenderung memikirkan hal-hal baik saja dari budaya kekeluargaan. Maka kali ini, dalam lima tulisan, para peladang Komunitas Ubi (Kombi) menyoroti efek bumerang budaya kekeluargaan. Tujuannya adalah supaya itu dapat dicermati dan disikapi dengan tepat demi kemaslahatan bangsa.

Victor Samuel melihat sikap tak profesional yang menjulur dari budaya kekeluargaan. Karena rasa kekeluargaan, kinerja bisa melemah, kekeliruan/kelalaian kerja diabaikan, inovasi tersumbat, dan hubungan antar sejawat kerja—ironisnya—malah merenggang. Ini sangat bisa menghambat langkah kita untuk menjadi bangsa profesional yang tangguh dan berdaya saing tinggi di era global.

Ericko Sinuhaji melihat pengesampingan hukum yang menjalar dari budaya kekeluargaan. Karena fitur kekeluargaan yang pendamai dan pemaklum, hukum bisa disisihkan atau ditepiskan. Ini sangat bisa membanting kesadaran hukum bangsa ke tingkat rendah dan melumpuhkan daya hukum dalam membereskan berbagai persoalan negara.

Bunga Siagian melihat tindak tak berdisiplin yang tumbuh dari budaya kekeluargaan. Karena ciri keakraban dan kebersamaan dari kekeluargaan, tata tertib dan peraturan bisa dilanggar atau diinjak-injak. Ini sangat bisa membentuk kehidupan yang tak tertib, mengilhamkan ketidakpatuhan massal, dan menjauhkan kedamaian dari bangsa dan negara.

Efraim Sitinjak melihat praktik nepotisme yang berakar dari budaya kekeluargaan. Karena berkeluarga atau berkerabat dengan pejabat, orang bisa meraih kemudahan dan kedudukan strategis, meski mungkin ia tidak cakap atau layak. Ini sangat bisa menggembosi mutu pelayanan publik dan pembangunan serta menggoyahkan kepercayaan masyarakat kepada para abdi negara.

S.P. Tumanggor melihat “penguburan” individu yang bersumber dari budaya kekeluargaan. Karena tuntutan seragam dan selaras dalam kekeluargaan, keunikan dan prakarsa individu bisa tak tergali atau tak terkembangkan. Ini sangat bisa mematahkan karya orisinal dan inisiatif di segala bidang yang seharusnya membahanbakari kemajuan bangsa.

Segala efek bumerang budaya kekeluargaan harus kita kritisi dan tanggulangi. Dalam pada itu, aspek-aspek positif budaya kekeluargaan harus terus kita pegang dan praktikkan. Hanya dengan begitulah budaya kekeluargaan akan menopang tegak bangsa kita, bukan menjungkalkannya, di perlintasan zaman dan di percaturan bangsa-bangsa.

Selamat ber-Ubi.

Penjenang Kombi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *