Oleh Ericko Sinuhaji
Sejak kelahirannya, negara Indonesia telah diniatkan untuk menjadi negara hukum. Ini berarti bahwa hukum menjadi penuntun perilaku warga negara dalam kehidupan bermasyarakat dan jalan keluar mereka saat timbul masalah. Sekalipun demikian, negara Indonesia tetap mengingat budaya kekeluargaan, yang mengakar pada masyarakat Indonesia, sebagai sarana penyelesai masalah.
Dalam Ketetapan MPR No. VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa disebutkan bahwa “[m]asalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya…”1 Ini menunjukkan bahwa budaya kekeluargaan—terungkap oleh “musyawarah”—turut dilibatkan untuk mengisi dan mewarnai kehidupan bernegara di Indonesia.
Pelibatan budaya kekeluargaan secara demikian tentulah merupakan suatu keunikan. Namun, keunikan ini memiliki dua sisi: baik dan buruk. Sisi baiknya tampak ketika budaya kekeluargaan memudahkan pemberesan berbagai sengketa yang terjadi di tengah masyarakat.2 Sisi buruknya tampak ketika budaya kekeluargaan malah memandulkan atau menyalahi hukum. Berikut adalah dua contoh gamblang mengenai sisi buruk tersebut.
Saat berurusan dengan aparat hukum karena nyata-nyata melanggar hukum (melawan peraturan lalu lintas, mengemplang pajak, dsb.), banyak orang sigap “bermusyawarah” dengan aparat hukum untuk menghindari jerat hukum. Budaya kekeluargaan Indonesia yang “pendamai” memberi ruang besar kepada para pelanggar hukum dan aparat hukum untuk menyiasati hukum demi, sialnya, kepentingan pribadi mereka. Sebagai hidangan dalam “musyawarah damai” itu, pelanggar hukum biasa memberi uang atau hal lainnya kepada aparat hukum.
Saat terjadi penyelewengan anggaran pemerintah, tidak jarang pelaku penyelewengan “dimaklumi” saja—tidak dilaporkan kepada pihak berwajib. Budaya kekeluargaan Indonesia yang “pemaklum” dan “pemaaf” memberi tenggang rasa besar kepada pelaku atau memicu rasa segan dan “tak enak” untuk memperkarakannya. Ngerinya, dana hasil penyelewengan anggaran itu bisa dibagi-bagikan pula ke berbagai pihak agar mereka, dalam semangat “kebersamaan,” turut melindungi penyelewengan dari incaran hukum.
Kedua contoh di atas jelas-jelas menunjukkan bahwa budaya kekeluargaan sangat bisa berseberangan dengan hukum. Ketika ini terjadi, setidaknya ada dua dampaknya terhadap kemajuan bangsa.
Pertama, bangsa akan memiliki tingkat kesadaran hukum yang rendah. Jika hukum mudah dikesampingkan oleh cara-cara kekeluargaan yang sebetulnya memandulkan hukum, masyarakat akan memandang sepele hukum, tidak/kurang sadar akan makna pentingnya, bahkan jadi berani membangkang terhadapnya. Dengan sendirinya ini akan membuat bangsa jadi tidak tertib dan teratur sehingga sulit maju.
Kedua, bangsa akan sulit mengandalkan hukum untuk mengatasi berbagai masalah yang menderanya. Jika hukum mudah dikesampingkan oleh cara-cara kekeluargaan yang sebenarnya menyalahi hukum, banyak pelanggar hukum akan berlomba-lomba mengupayakan “perdamaian” untuk berkelit dari hukuman yang patut mereka terima. Akibatnya, pelanggaran hukum tak terselesaikan bahkan bisa berulang lagi sehingga masalah makin melilit bangsa dan merintanginya dari segala kemajuan.
Efek buruk budaya kekeluargaan terhadap hukum tentu harus diatasi. Caranya adalah dengan merombak pola pikir masyarakat dan aparat hukum dalam menyikapi posisi budaya kekeluargaan terhadap hukum.
Masyarakat harus mencamkan bahwa penyelesaian masalah dengan cara-cara kekeluargaan selalu dapat digunakan sepanjang tidak melanggar kaidah hukum yang berlaku. Masyarakat juga harus paham bahwa penyalahgunaan budaya kekeluargaan untuk membereskan perkara hukum akan berdampak buruk kepada bangsa secara umum. Aparat hukum sendiri harus ingat apa maksud-tujuan “negara hukum,” berkomitmen kepada penegakan hukum demi kebaikan seluruh bangsa, dan tegas menolak pendekatan kekeluargaan yang menzalimi hukum.
Dan pola pikir bijaksana tentang posisi budaya kekeluargaan terhadap hukum haruslah ditanamkan pada masyarakat dan aparat hukum lewat penggemblengan di lingkungan keluarga, sekolah, dan lembaga hukum. Suatu etos baru yang menjadikan budaya kekeluargaan sebagai pendukung—bukan perongrong—hukum sungguh layak diperjuangkan.
Ya, budaya kekeluargaan merupakan jati diri dan kekuatan bangsa Indonesia. Sepatutnyalah kekuatan ini tidak/jangan digunakan untuk mengesampingkan hukum, tetapi untuk menyokongnya. Dengan demikian, bangsa Indonesia akan tampil dengan semarak keadilan dan kebenaran di dunia.
.
Ericko adalah seorang alumnus jurusan hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Ketetapan MPR ini bisa diakses di situs Hukum Online. <http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4ffe8dfb92933/nprt/657/tap-mpr-no-vi_mpr_2001-tahun-2001-etika-kehidupan-berbangsa>. Kutipan yang dimuat di sini dapat dilihat di Bab II dalam butir tentang Etika Politik dan Pemerintahan.
2 Misalnya lewat upacara adat untuk mengakhiri perang suku atau sengketa tanah atau lainnya.
Pingback: Bumerang Budaya Kekeluargaan | Komunitas Ubi