PKn, si Ujung Tombak Nasionalisme

Oleh Viona Wijaya

“Membosankan.” “Tidak penting.” “Tidak menarik.” Begitu jawab murid-murid ketika saya meminta kesan mereka yang sejujur-jujurnya terhadap pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang mereka terima selama ini. Saya hanya bisa mengulum senyum mendengarnya. Pasalnya, kesan yang sama juga terpatri di benak saya kala mengingat pelajaran PKn di masa sekolah.

Kesan itulah yang hendak saya dobrak ketika saya mendapat kesempatan mengajar PKn di sebuah SMA Kristen di Kota Bandung beberapa tahun lalu. Saya meyakini bahwa PKn harusnya dapat menjadi ujung tombak dalam membangun nasionalisme pelajar Indonesia. Lewat pelajaran PKn, murid-murid mestinya bisa diajak mengenal dan mencintai bangsa sehingga kelak dapat menjadi warganegara yang bergairah untuk berkarya bagi Indonesia.

Sayangnya, apa yang terjadi selama ini pada umumnya seperti yang diungkapkan murid-murid saya. Pelajaran PKn, jauh dari ideal yang baru saja saya kemukakan, adalah pelajaran yang dirasa membosankan, tidak penting, dan tidak menarik.

Berdasarkan pengalaman mengajar, saya belajar bahwa setidaknya ada dua hal utama yang menyebabkan pelajaran PKn tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pertama, materi pelajaran terlalu menekankan aspek pengetahuan (kognitif). Sebagai contoh, jika kita membuka buku teks PKn untuk anak SMA, kita akan mendapati halaman-halaman padat-tulisan yang sebagian besar berbicara mengenai teori dan pendapat ahli. Bahkan saya mendapati beberapa materi di buku memiliki bobot materi perguruan tinggi, bukan sekolah menengah.

Akibatnya, pola pengajaran PKn terjebak pada soal menghafal pendapat-pendapat para ahli saja. Persoalan bangsa dan negara jadi tidak terkenali karena pengajaran dibuat terbatas pada masalah definisi dan teori yang tak selalu jelas kena-mengenanya dengan kehidupan sehari-hari. Nasionalisme akhirnya hanya menjadi definisi yang harus dihafalkan untuk kemudian dikeluarkan sebagai jawaban saat ulangan, bukan lagi menjadi penggugah jiwa untuk rela berkorban dan mencintai bangsa lewat karya nyata.

Kedua, PKn tidak seperti pelajaran matematika, fisika, kimia atau ekonomi, geografi, sosiologi, yang mengharuskan murid-murid belajar dengan “dihantui” bayang-bayang ujian nasional atau persyaratan kenaikan kelas. Akibatnya, PKn sering dipandang sebelah mata, baik oleh pihak sekolah, murid, bahkan guru yang bersangkutan! Guru PKn sering kali identik dengan guru-guru tua yang mengajar seadanya, monoton, dan tidak bergairah.

Walhasil, PKn dianggap remeh oleh para murid. Ulangan PKn, misalnya, mereka yakini bisa dilewati asalkan membuat jawaban yang panjang-panjang meski isinya “mengarang bebas.” Sekolah pun tidak merasa perlu repot-repot menggenjot kualitas pelajaran PKn, sementara guru-guru PKn tidak merasa pelajarannya penting dan perlu dikelola dengan sungguh-sungguh. Maka langgenglah PKn sebagai pelajaran yang dirasa membosankan, tidak penting, dan tidak menarik.

Dua masalah ini sebetulnya bisa ditanggulangi asalkan sekolah dan guru menyadari fungsi strategis PKn sebagai ujung tombak untuk membangun rasa cinta tanah air dalam diri siswa-siswi. Dengan pemahaman akan ideal tersebut, kita sangat bisa berinovasi dan berkreasi sehingga pelajaran PKn jadi menarik, penting, dan tidak membosankan!

Saya, misalnya, memodifikasi materi PKn agar menjadi lebih relevan. Murid-murid tetap saya dorong untuk mempelajari teori-teori yang penting tetapi mereka juga harus bisa mengaitkan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, saya memperbanyak kegiatan yang dapat menyentuh sisi perasaan (afektif) para murid.

Sebagai contoh, saat belajar mengenai Pancasila, saya meminta murid-murid mewawancarai masyarakat sekitar untuk mengetahui sejauh mana masyarakat memahami dan menghayati Pancasila. Hasilnya, Pancasila tak lagi menjadi teori tetapi menjadi realitas bagi mereka. Saat belajar mengenai budaya politik, saya meminta murid-murid menyampaikan aspirasi kepada para pejabat negara lewat media sosial. Dan budaya politik pun bukan lagi sekadar hafalan, tetapi menjadi sebuah praktik di dunia nyata!

Kegiatan-kegiatan tersebut membuat mereka sadar diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang kelak memegang peran penting untuk mengentaskan persoalan bangsa. Tak aneh, sebagai akibatnya, murid-murid saya mulai memperhatikan berita, mengirim tulisan ke koran, bahkan bermimpi besar untuk bangsa.

Sungguh, PKn dapat menjadi ujung tombak pembentukan nasionalisme siswa-siswi kita. Ayo para guru PKn, buat kelas kita menarik dan bangkitkan nasionalis-nasionalis sejati yang siap berkarya bagi bangsa!

.

Viona Wijaya adalah seorang calon pegawai negeri sipil yang bermukim di DKI Jakarta.

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *