Sabar dan Tidak Mendominasi dalam Mengajar

Oleh Yunicha Pagiling

Jurusan yang saya ambil di universitas bukanlah jurusan pendidikan, namun saya jatuh cinta kepada dunia pendidikan. Sejak semester pertama kuliah S-1 sampai sekarang, setelah menjadi alumnus beberapa tahun, saya mengajar kelas privat di kota tempat tinggal saya, Makassar. Dari pengalaman mengajar ini, saya belajar tentang bagaimana seharusnya guru mengajar.

Suatu kali, saya memberikan latihan soal matematika kepada murid kelas privat saya yang berusia sebelas tahun. Setelah setengah jalan mengerjakan soal, dia bertanya kepada saya karena tidak mengerti. Saya pun mengajarinya sampai soal itu selesai, lalu memberikan latihan soal lagi. Namun, cara saya mengajar rupanya menggoyahkan kepercayaan dirinya. Ketika saya menanyakan apakah dia sudah selesai dengan latihan soalnya, dia menjawab, “Sudah selesai, tapi sepertinya salah.” Saya terkesiap mendengar nada suaranya yang mengandung ketakutan.

Peristiwa itu membuat saya mengevaluasi cara saya mengajar. Rupanya, dalam mengajar, saya cenderung tidak sabar dan mendominasi. Ketika mendapati kesalahan yang kecil sekalipun, saya akan segera mengoreksinya—sayangnya, dengan nada suara tinggi. Saya sering mengatakan “salah,” “tidak boleh begini,” “harus begini,” dsb. Bahkan jika siswa mengerjakan soal menggunakan proses yang sedikit berbeda dengan apa yang saya ajarkan, saya akan langsung mengoreksinya di tengah jalan. Biasanya ada saja siswa yang bersikukuh menggunakan caranya sendiri, namun sebagian besar akan mengikuti petunjuk saya.

Saya pun berpikir: Apakah ada banyak guru yang seperti saya? Jika ya, tentu hal ini sangat disayangkan. Cara mengajar yang tidak sabar dan mendominasi bisa menggoyahkan kepercayaan diri siswa sehingga menghambat kemajuannya di kelas. Guru seharusnya punya suatu tingkat kesabaran yang memadai dalam menangani siswa dan tidak mendominasi tapi memandirikannya. Untuk itu, beberapa hal perlu diupayakan oleh guru dan juga pihak-pihak yang terlibat dalam bidang pendidikan.

Kesabaran bisa dikembangkan lewat empati dan kerendahan hati. Lewat empati, guru dapat memahami perbedaan daya tangkap siswa sehingga dapat bersabar dan memakai pendekatan yang tepat dalam mengajar siswa yang “lamban.” Lewat kerendahan hati, guru tidak akan gusar, malah akan memberi semangat, kepada siswa yang “jeli” dalam, misalnya, melihat langkah yang lebih mudah untuk menyelesaikan soal.

Pelatihan kecerdasan emosional bisa menolong guru mengerti dirinya sendiri dan orang lain, khususnya siswa. Dengan pelatihan ini guru bisa mengenali menanggulangi sikap tidak sabar dan/atau suka mendominanasi yang mungkin dimilikinya. Pemerintah sebaiknya menyelanggarakan pelatihan kecerdasan emosional untuk guru sampai di pelosok-pelosok, bukan hanya di kota-kota saja.

Kesejahteraan guru, terutama guru honorer, perlu diperhatikan secara serius oleh pemerintah dan pihak sekolah. Apresiasi yang tepat—salah satunya dalam bentuk gaji yang memadai—akan membuat guru merasa dihargai dan sangat bisa meningkatkan kinerjanya dalam mengajar. Sebaliknya, jika ia merasa terabaikan dan beban hidup menghimpit pula, bisa saja ketidakpuasan dan kesusahannya terungkap dalam ketidaksabaran dan dominasi terhadap siswa.

Dan sudah saatnya pemerintah dan pihak sekolah memikirkan perlunya konselor bagi guru. Selama ini kita hanya mendengar tentang konselor bagi murid yang bermasalah. Siapa yang akan menangani guru yang “bermasalah” karena tekanan hidup dan beban pekerjaan sehari-hari? Ini pun akan mencegah “masalah” guru terlampiaskan kepada siswa dalam bentuk ketidaksabaran dan dominasi.

Guru memegang peranan yang sangat penting dalam pendidikan dan pencerdasan bangsa. Sebab itu, sebagai satu bangsa, kita harus memastikan mereka mengajar dengan sabar dan tidak mendominasi demi menghasilkan generasi yang pintar, bijaksana, dan mandiri. Saya percaya bahwa generasi seperti itu, yang kepercayaan dirinya sama sekali tidak goyah, akan memberikan sumbangsih besar bagi bangsa dan dunia.

.

Yunicha adalah seorang guru privat yang tinggal di Makassar.

.

One thought on “Sabar dan Tidak Mendominasi dalam Mengajar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *