Menjadi Satu

Oleh Ricky Prijaya

Berdua belas saja mereka di ruang atas. Sang Rabi mengucap doa panjang bagi kesebelasan yang tersisa, “… supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh. 17:21). Yohanes dan Yakobus saling pandang. Sedikit malu. Sang Rabi diam sejenak. Ia memandang wajah para murid-Nya satu per satu lalu berkata lebih lanjut, “… supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku” (Yoh. 17:23).

Dua ribu tahun berlalu semenjak Yesus Kristus memanjatkan doa tersebut. Siapa sangka, status “Kristus” tak menjamin doa selalu terkabul. Ambil contoh di Indonesia. Pada kolom agama di KTP, kita tak bisa sekadar mencantumkan “Kristen” tapi harus memilih salah satu dari dua nama golongan/pengelompokan besar Kristen di dunia. Tengok pula gereja-gereja di kota kita masing-masing. Tampaknya banyak yang merasa kurang lengkap jika belum mencantumkan nama alirannya pada pelang nama gereja. Semangat “menjadi satu” dalam kekristenan tampaknya masih sejauh timur dari barat.

Kekhawatiran Yesus mengenai perpecahan di antara para pengikut-Nya bukan tanpa dasar. Semasa hidup-Nya, para murid-Nya sudah meributkan siapa yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Yesus harus memanggil seorang anak kecil sebagai “alat peraga” untuk mengajar para murid tentang kerendahan hati. Yohanes dan Yakobus, ditemani ibu mereka, pernah memohon jatah kursi di sebelah kanan dan kiri Yesus dalam Kerajaan Sorga nanti. Murid-murid lain langsung naik pitam. Yesus pun langsung menolak permohonan mereka dengan halus.

Di kemudian hari, Paulus sedih dan kesal saat mendapati umat Kristen di Korintus menciptakan aliran-aliran. Ada front Paulus. Ada laskar Apolos. Ada barisan Petrus. Di bagian awal suratnya, Paulus segera menegur mereka, “Aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, … supaya kamu erat bersatu” (1 Kor. 1:10). Ia mengingatkan mereka kepada semangat “menjadi satu” yang didambakan Kristus.

Bagaimana dengan pengikut Kristus di zaman ini? Jika dahulu para murid berlomba untuk menjadi “yang terbesar” dalam Kerajaan Sorga, pengikut Kristus di zaman ini berlomba untuk menjadi “yang terbenar” dalam Kerajaan Sorga. Kaum Kalvinis bersitegang dengan kaum Arminian. Penganut baptis selam cekcok dengan penganut baptis percik. Penggemar lagu himne adu mulut dengan penggemar lagu kontemporer. Imbauan “menjadi satu,” kalaupun masih didengungkan, tenggelam oleh hiruk-pikuk pertikaian.

Kekristenan yang diharapkan Yesus identik dengan persatuan sekarang malah identik dengan perpecahan. Ribuan denominasi lahir, bersaing satu sama lain dalam “kebenaran.” Kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi jemaat mula-mula (Kis. 2:41-47) yang menggenapi doa tentang “menjadi satu.” Dengan semangat “Kristen doang,”3 Kristen yang tanpa embel-embel, mereka mudah mengasihi ketimbang menghakimi sesama pengikut Kristus.

Semangat itu patut kita tiru. Memilikinya bukan berarti kita menghilangkan setiap perbedaan di antara kita. Semangat Kristen doang berarti kita memilih untuk mengesampingkan perbedaan paham (dalam hal-hal yang tidak hakiki) dan menggunakan kasih sebagai “mata uang” bersama demi “menjadi satu.” Semangat Kristen doang berarti “saya tetap mengasihi Anda, sesama pengikut Kristus, walau pandangan kita tidak selalu sama.”

Rasul Yohanes, di masa tuanya, mendapat penglihatan hebat yang berkaitan dengan ide Kristen doang. “Aku melihat,” katanya, “…suatu kumpulan besar orang banyak … dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba”(Why 7:9). Berdasarkan kesaksian Yohanes, keragaman yang tetap ada di kekekalan hanyalah bangsa, suku, kaum, dan bahasa—denominasi tidak! Jadi, daripada meributkan sesuatu yang tidak bersifat kekal, lebih indahlah jikalau kita membiasakan diri untuk hidup rukun di bumi ala Kristen doang.

Sesungguhnya jawaban bagi doa Yesus ada di tangan kita. Bukan kebetulan Ia mengucap “supaya menjadi satu” di hadapan para murid-Nya. Harapan dan wejangan melebur jadi satu dalam doa tersebut. Ya, di tengah perpecahan sekalipun, umat Kristen telah memberikan banyak sumbangan positif bagi dunia. Bayangkan sebesar apa dampak baik yang bisa dunia rasakan jika umat Kristen bersepakat untuk “menjadi satu”?

Dengan semangat Kristen doang, mari kita “menjadi satu.”

.

Ricky adalah seorang karyawan swasta yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Istilah “Kristen doang” digagas oleh Sam Tumanggor untuk merujuk kepada semangat bersatu umat Kristen (di dalam hati), bukan untuk menambah aliran baru dalam kekristenan. Lihat Sam Tumanggor. Di Bumi Seperti di Surga #1. Bandung: satu-satu, 2015, hal. 157-167.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *