Oleh Viona Wijaya
Siang itu Jakarta panas terik. Saya, yang baru pindah ke ibukota, berjalan menyusuri sebuah jalan kecil untuk mencari tempat kos. Seorang ibu di dekat mulut jalan dengan murah hati memberi saya petunjuk. “Adik berjalan lurus saja. Nanti ada dua gereja: di kiri gereja X, di kanan gereja Y. Dari sana belok ke kanan, lurus terus sampai bertemu gereja Z. Tak jauh dari sana ada tempat kos yang bagus.”
Nasihat sang ibu saya turuti dan ternyata saya menjumpai bukan hanya tiga, tetapi lima gereja—dengan denominasi yang berbeda-beda. Saya tercengang juga. Di lingkungan kecil yang bisa dikelilingi secara relatif cepat dengan berjalan kaki saja berdiri lima gedung gereja!
Hal serupa dapat kita jumpai pula di banyak kota besar lain di Indonesia: suatu lingkungan kecamatan, kelurahan, bahkan mungkin rukun warga “disesaki” gereja dari beragam denominasi. Kondisi sesak oleh gereja-gereja ini jelas berkaitan dengan kurangnya semangat “Kristen doang”1 di kalangan umat Kristen Indonesia.
Semangat Kristen doang yang saya maksud adalah semangat atau sikap hati yang menekankan identitas sebagai pengikut Kristus di atas identitas sebagai pengikut denominasi tertentu. Meski kita dibesarkan dalam lingkungan suatu denominasi, semangat Kristen doang membuat kita tidak fanatik terhadap denominasi. Sebaliknya, kita dapat memandang orang Kristen dari latar denominasi lain sebagai sesama pengikut Kristus,2 sesama rekan untuk mengerjakan kehendak Allah di dunia.
Kurangnya semangat Kristen doang memiliki banyak dampak negatif, salah satunya adalah ego denominasi. Ini berperan besar dalam menciptakan kondisi sesak oleh gereja-gereja yang saya ungkapkan di atas. Suatu gereja denominasi tertentu dapat merasa kurang afdal jika tidak “buka cabang” di suatu daerah, meskipun di situ sudah terdapat (cukup) banyak gereja. Alhasil gereja bukan dibuka karena kebutuhan warga setempat tetapi karena ego denominasi: “Supaya denominasi kita ada di sana!”
Ego ini mendatangkan beberapa kerugian. Pertama, gereja jadi memandang gereja (denominasi) lain sebagai pesaing, bukan rekan kerja. Rebutan jemaat tak dapat dielakkan. Alih-alih merintis jemaat baru, kerap kali terjadi “pencurian domba” yang hanya memindahkan jemaat dari satu gereja ke gereja lain. Lantas program-program gereja pun jadi difokuskan pada cara-cara memikat jemaat gereja lain atau membetahkan jemaat yang ada, bukan pada memberitakan firman yang murni atau memperlengkapi jemaat untuk berkarya baik di dunia.
Kedua, gereja jadi gagal memenuhi panggilannya untuk menjadi berkat bagi lingkungannya karena habis energi untuk mengurus persaingan dengan gereja lain. Betapa menyedihkan jika masyarakat di suatu daerah yang sesak oleh gereja-gereja tetap berkutat dengan kemiskinan, kesehatan yang buruk, dan kebodohan! Apalah arti kehadiran gereja-gereja di situ?
Ketiga, hasrat “buka cabang” demi kejayaan denominasi bisa berbenturan dengan peraturan negara—lalu membuat umat Kristen mengeluh soal kebebasan beragama. Tetapi sebetulnya tak aneh jika pemerintah tidak memberi izin pendirian gereja di suatu wilayah yang sudah sesak oleh gereja-gereja.3 Saya pikir dalam kasus ini isunya bukanlah tentang kebebasan beragama, tetapi tentang ego denominasi yang perlu dikritisi karena menyumbangkan keruwetan dalam hidup bermasyarakat.
Ego denominasi jelas perlu ditanggulangi dengan semangat Kristen doang. Meski berbeda denominasi, bukankah pada hakikatnya setiap orang Kristen harus mengikut Kristus saja? Dan bukankah elok jika sesama pengikut Kristus hidup rukun seturut seruan Mazmur 133:1: “Sungguh alangkah baiknya dan indahnya apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun”?
Sungguh alangkah baiknya jika kita tidak buta oleh ego denominasi, mau menyingkirkan tikai dan perpecahan untuk hidup dalam kerukunan. Sungguh alangkah indahnya jika kerukunan kita lantas menghasilkan rupa-rupa perbuatan baik yang memberkati masyarakat, sebab “ke sanalah”—ke tengah-tengah umat yang rukun—“TUHAN memerintahkan berkat” (Mzm. 133:3).
Betapa saya memimpikan kota dan daerah di tanah air tidak lagi sesak oleh gereja-gereja akibat ego denominasi tetapi sesak oleh kasih dan perbuatan baik umat Kristen!
.
Viona Wijaya adalah seorang calon pegawai negeri sipil yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Ide Kristen doang dicetuskan dan dibahas secara khusus oleh Sam Tumanggor dalam buku Di Bumi Seperti di Surga #1 (Bandung: satu-satu, 2015), secara khusus dalam bab 13. Rangkaian bab 12 hingga bab 14 buku ini membahas mengenai ide kesatuan tubuh Kristus.
2 Dalam tulisan ini, “sesama pengikut Kristus” yang saya maksud adalah setiap orang yang sama-sama meyakini Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat serta mengimani bahwa Alkitab seutuhnya diilhamkan Allah.
3 Jika syarat jumlah pengguna rumah ibadah memang tidak terpenuhi. Di sini bahasan saya tidak mencakup kasus-kasus tidak diberikannya izin membangun rumah ibadah meskipun seluruh persyaratan sudah dipenuhi.