Jangan Sederhanakan Penebusan

Oleh Viona Wijaya

Natal adalah tentang kasih. Itulah pesan yang biasa kita tangkap dari lagu-lagu Natal yang memashurkan lahirnya Kristus di dunia sebagai perwujudan kasih Allah. Sebuah lagu yang dulu kerap saya nyanyikan di gereja mencakup kata-kata “Natal saatnya ‘tuk saling mengasihi.” Maka masa Natal sering digunakan untuk menyatakan kasih kepada keluarga, sahabat, atau sesama—masa yang amat manis untuk dinikmati.

Tapi Natal sebenarnya bukan melulu tentang kasih. Natal adalah juga tentang penebusan, dan karenanya tentang keadilan ilahi. Kristus lahir di dunia untuk berkorban bagi umat manusia sehingga “di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa menurut kekayaan kasih karunia-Nya” (Ef. 1:7).

Penebusan, tujuan kelahiran Kristus di dunia, sering tersederhanakan dalam pikiran umat Kristen sebagai tindakan kasih Allah belaka. Padahal penebusan tidak se-“sederhana” itu. Penebusan terjadi melalui penumpahan darah Yesus (sungguh bukan kejadian yang manis atau indah), dan dalam peristiwa ini tersirat keadilan ilahi yang menumpahkan murka Allah atas dosa.

Sifat mahaadil membuat Allah tidak toleran terhadap dosa dan mesti mengganjar dosa dengan “upah” maut. Kita tentu ingat bagaimana Allah menyapu bumi dengan air bah karena “kejahatan manusia besar di bumi” (Kej. 6:5). Allah bahkan pernah begitu murka kepada bangsa Israel yang  memberontak sehingga Ia berkata kepada Musa, “Pergilah dari tengah-tengah umat ini supaya Kuhancurkan mereka dalam sekejap mata!” (Bil. 16:17).

Allah Yang Mahaadil tidak pernah ragu mengganjar dosa dengan hukuman yang setimpal.

Sayangnya, kita kerap gagal memahami hal ini karena terlalu terbuai oleh ajaran kasih hasil penyederhanaan Natal dan penebusan. Lupa akan sifat mahaadil Allah, banyak orang jadi tidak menyukai gagasan tentang dosa dan hukuman ilahi. Perilaku berdosa pun ditolerir. Secara silap banyak orang Kristen berpikir bahwa tidak ada lagi hukuman atas dosa karena Allah sudah menyatakan kasih karunia-Nya1 dengan menebus kita. Bertamengkan penebusan yang disederhanakan, mereka lalai menjaga diri dari dosa dan hidup sesuka hati.

Ya, kita memang bisa juga menyederhanakan penebusan sehingga identik dengan keadilan Allah belaka—dan inilah yang membuat sebagian orang Kristen cenderung senang menghakimi melulu. Namun, dalam pengamatan saya, umat Kristen lebih sering terjebak menyederhanakan penebusan sehingga identik dengan kasih Allah belaka.

Kita seharusnya memandang penebusan sebagai karya kompleks di mana penumpahan “darah-Nya” (Kristus), yang mewakili keadilan Allah, bersanding selaras dengan “kekayaan kasih karunia” Allah. Kita tidak dapat hanya mengambil sisi “kekayaan kasih karunia” tetapi membuang sisi penumpahan “darah,” karena keduanya tak terpisahkan.

Penyederhanaan penebusan mengacaukan pengenalan sejati akan Allah. Akibatnya, banyak orang jadi menggugat Allah yang kaya kasih karunia kala melihat realitas derita dan celaka di bumi. Dan banyak pula orang yang jadi mendukung perilaku berdosa atas nama kasih. Mereka lupa bahwa Allah mahaadil dan bahwa keadilan-Nya menuntut hukuman atas dosa. Mereka lupa bahwa derita dan celaka hadir di bumi akibat kejatuhan manusia dalam dosa.

Tanpa pemahaman yang tepat tentang keadilan Allah, umat Kristen menjadi laskar pembela kasih (belaka), yang tak ada bedanya dengan para pengusung ideologi humanisme sekuler. Umat Kristen juga jadi tak bergigi ketika berhadapan dengan isu-isu kontroversial seputar hukum dan keadilan, seperti hukuman mati dan perang, karena tertawan pola pikir serba kasih. Kalau sudah begitu, sumbangsih sikap dan pemikiran apa yang dapat diberikan umat Kristen kepada dunia?

Saya pikir sudah saatnya kita berhenti mengesampingkan keadilan Allah. Di masa Natal ini, alangkah baiknya jika kita dapat merayakan kelahiran Kristus dengan cara pandang baru: Ia bukan lahir semata-mata karena kasih tetapi juga karena keadilan Allah dan murka Allah yang membayangi manusia berdosa.

Jangan sederhanakan penebusan. Kristus lahir, mati, dan bangkit supaya kita mengenal kasih dan keadilan Allah.

.

Viona Wijaya adalah seorang calon pegawai negeri sipil yang bermukim di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Istilah “kasih karunia” dalam ajaran Kristen menunjuk kepada pemberian (karunia) yang kita terima karena kemurahan (kasih sayang) Allah semata, bukan karena kepantasan atau usaha kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *