Oleh Paul Sagajinpoula
Saat bermain petak umpet bersama teman-teman masa kecil di Sikabaluan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, saya pernah bersembunyi di atas pohon kersen. Saya tak menduga ternyata ada kawanan kerengga yang bersarang di situ. Karena merasa terusik, mereka pun keluar bergerombol dari sarang untuk menyerbu saya. Dikeroyok begitu, saya terpaksa mengaku kalah dan turun dari pohon dengan badan terasa pedih akibat gigitan mereka.
Kerengga—semut merah berukuran besar—memang dikenal suka keroyokan. Mereka tak segan beramai-ramai menyerang orang yang berani mendekati sarang mereka. Sarang ini pun mereka bangun secara keroyokan alias dengan bekerja sama. Mereka bergotong royong menganyam beberapa helai daun sehingga membentuk sarang seperti bola dan aman untuk mereka tinggali.1 Sungguh contoh kebersamaan yang apik!
Sebelum menjadi dewasa, kerengga hanyalah larva tak berdaya yang menetas dari telur induknya. Namun, setelah mengalami proses perubahan bentuk atau metamorfosis, larva kerengga yang mirip butiran nasi itu berubah menjadi pupa (kepompong) dan akhirnya menjadi kerengga dewasa yang berkaki enam, berantena, dan memiliki sepasang capit di mulutnya.2 Metamorfosis mengubah larva kerengga yang tadinya lemah menjadi kerengga dewasa yang kuat.
Mirip dengan kerengga, saya mendapati bahwa menurut Alkitab, manusia dapat mengalami metamorfosis secara batiniah. Dari “bentuk” batiniah lama yang lemah terhadap dosa, manusia bisa beralih kepada “bentuk” batiniah baru yang kuat terhadap dosa (meski bukan berarti tidak bisa berdosa lagi). Bentuk lama dan bentuk baru itu diibaratkan Alkitab, antara lain, sebagai adonan roti. “Buanglah ragi yang lama itu,” tulis Rasul Paulus, “supaya kamu menjadi adonan yang baru” (1 Kor. 5:7).
“Ragi yang lama” yang dimaksud Paulus adalah sifat manusia lama yang menyukai keburukan dan kejahatan, sedang “adonan yang baru” adalah manusia baru yang menghasilkan kemurnian dan kebenaran (1 Kor. 5:8). Setelah menjadi adonan yang baru, bukan berarti ragi yang lama hilang total dari diri manusia. Itu tetap ada sebagai ancaman laten, namun kuasanya bisa dikalahkan (“dibuang” manakala muncul) oleh manusia adonan baru.
Metamorfosis batiniah manusia sangat erat berkaitan dengan peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus Kristus (Jumat Agung dan Paskah). Kristus mati agar manusia bisa bebas dari “ragi yang lama,” yaitu dosa, dan bangkit agar manusia bisa hidup sebagai “adonan yang baru.” Karena itu, manusia yang ingin mengalami metamorfosis batiniah harus menaruh iman kepada Kristus.
Manusia dengan ragi lama sukar berdampak baik kepada dunia. Tabiatnya mencenderungkannya kepada keburukan dan kejahatan: iri hati, egois, suka mengadu domba, mencuri, merusak lingkungan, dsb. Seperti larva kerengga, ia lemah, tak berdaya karena dibelenggu oleh keberdosaannya. Ia sulit melakukan perbuatan baik.
Sebaliknya, manusia adonan baru sangat berpotensi untuk berdampak baik kepada dunia. Tabiatnya mencenderungkannya kepada kemurnian dan kebenaran: jujur, luhur akhlak, senang menolong, mampu menguasai diri, tidak gila hormat, cinta damai, dsb. Seperti kerengga dewasa, ia kuat, berdaya dalam menolak godaan dosa. Ia suka melakukan perbuatan baik.
Manusia-manusia adonan baru dibutuhkan oleh dunia. Layaknya kerengga dewasa, mereka bisa “keroyokan” membangun sarang-sarang kebaikan di tengah masyarakat. Mereka bisa memasuki segala bidang kehidupan lalu bekerja sama atau turut serta membangun/memperkuat hal-hal yang baik di situ: sistem peradilan yang baik, tata cara politik yang baik, kurikulum pendidikan yang baik, manajemen perusahaan yang baik, dsb.
Selain membangun/memperkuat, mereka juga siap pasang badan dan bisa “keroyokan” untuk mempertahankan sarang-sarang kebaikan. Mereka akan “menyerang” ketika sistem peradilan terusik oleh suap, tata cara politik diganggu dengan lobi-lobi kotor dan curang, kurikulum pendidikan menyulitkan pencerdasan siswa, manajemen perusahaan tidak menyejahterakan karyawan, dsb. Mereka berusaha berjuang di sisi kebaikan di dunia.
Selepas masa kecil, saya belum pernah memanjat pohon kersen lagi. Namun kenangan diserbu kawanan kerengga di pohon kersen dulu tetap membekas jelas dalam ingatan. Kini, sambil terus berjaga-jaga terhadap “ragi yang lama,” saya justru ingin meniru para kerengga dalam hal membangun sarang kebaikan dan pasang badan untuk mempertahankannya.
Catatan
1 Douglas H. Chadwick. “Sisterhood of Weavers” dalam situs National Geographic. <http://ngm.nationalgeographic.com/2011/05/weaver-ants/chadwick-text>.
2 “Weaver Ant” dalam situs Antark. <http://antark.net/ant-species/weaver-ant-oecophylla-smaragdina/>.