Cita-cita dan Cinta ala Jawa-Suriname

Oleh Victor Sihombing

Aku arep dadi presiden Republik Suriname,” ujar Sapoen, pria berdarah Banyumas, Jawa Tengah. Kita mungkin mengernyitkan kening mendengarnya. Mengapa ada orang Jawa yang mau jadi presiden di negara Amerika Selatan nan jauh dari Tanah Jawa? Tapi begitulah cita-cita Sapoen, generasi ketiga orang Jawa yang terdiaspora ke Suriname.

Diaspora, menyebarnya bagian kecil suatu bangsa dari tanah asalnya, tampaknya selalu bisa menghadirkan kisah-kisah hebat. Kisah diaspora Jawa-Suriname salah satunya. Kehidupan yang berjalan sulit ternyata mampu menghasilkan generasi yang membawa sejahtera, bak kupu-kupu lahir dari kepompong. Kemapanan orang Jawa di Suriname masa kini adalah bukti nyata dari kekuatan cita-cita tentang masa depan dan cinta yang kuat akan masa lalu.

Kisah mereka dimulai saat pemerintah Hindia-Belanda memerlukan tambahan pekerja kasar di Suriname, negeri jajahan mereka di Amerika Selatan. Pada tahun 1890 dikirimlah 94 pekerja asal Pulau Jawa, yang waktu itu dikuasai Belanda pula. Karena urusan ini dinilai berhasil, rombongan lain pun didatangkan dari Jawa. Hingga tahun 1939 ada lebih dari 30.000 orang Jawa yang pergi ke Suriname untuk menjadi pekerja kasar. Sehabis masa kontrak, hanya sekitar 11.000 pekerja yang memilih pulang ke Jawa. Sisanya tinggal dan beranak cucu di Suriname sehingga etnis Jawa menjadi etnis terbesar keempat di sana.

Walau hanya menjadi pekerja perkebunan, mereka mencita-citakan masa depan yang lebih baik. Cita-cita ini diwariskan dari generasi ke generasi. Kini sosok pekerja kasar tidak lagi menjadi gambaran umum dari orang Jawa-Suriname. Mereka telah memasuki beragam profesi di tengah masyarakat Suriname: guru, dokter, polisi, pengusaha, politisi, dll. Mereka malah menjadi salah satu pendorong majunya negara Suriname. Kisah mereka menegaskan kepada kita bahwa ketika kehidupan menjadi sulit, cita-cita dapat menggerakkan kita untuk maju.

Menariknya, hidup terpisah ribuan kilometer dari Tanah Jawa tidak membuat kecintaan kepada kejawaan mereka hilang begitu saja. Ibarat seorang pria yang terus mengingat wajah wanita pujaannya karena terpisah jauh, demikianlah orang Jawa-Suriname berusaha melestarikan budaya leluhur mereka. Di Suriname, siaran televisi dan radio bercorak Jawa mengudara selama 24 jam. Tayangan ludruk, wayang kulit, atau berita dengan bahasa Jawa bisa dinikmati secara nasional di sana.

Kita, orang Nusantara yang tidak terdiaspora ke negeri lain, patut belajar dari cita-cita dan cinta ala saudara-saudara seleluhur kita di Amerika Selatan itu.

Sebagaimana cita-cita mereka memajukan Suriname, tanah tumpah darah mereka sekarang, demikian juga cita-cita kita harus memajukan Indonesia. Hari ini Indonesia memang mengalami banyak masalah: ketimpangan pembangunan, korupsi, kemiskinan. Tapi kita tak pernah boleh pesimis akan masa depannya.

Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sebagaimana digariskan di dalam Pembukaan UUD 1945, selalu menjadi cita-cita kita. Cita-cita ini memandu kita untuk giat berkarya lewat pekerjaan. Bukan dengan kerja biasa, tapi dengan kerja keraslah cita-cita bisa diwujudkan di hari esok.

Dan sebagaimana cinta orang Jawa-Suriname kepada budaya Jawa menyemarakkan negeri Suriname, demikian juga cinta kita kepada budaya suku-suku kita harus menyemarakkan negeri Indonesia. Bukankah kita mewarisi budaya suku-suku yang kaya di Nusantara? Beragam tarian, alat musik, karya sastra, dan keunikan lainnya patutlah kita lestarikan.

Generasi baru harus terus diperkenalkan—secara kreatif dan inovatif—kepada budaya suku-suku Nusantara. Kekreatifan kita diuji saat budaya asing menyerbu masuk sebagai budaya yang lebih populer. Keinovatifan kita dijajal saat zaman menuntut penyesuaian atau pengemasan budaya secara lebih apik, menarik, bahkan canggih.

Pada akhirnya, cita-cita dan cinta kita kepada Indonesia akan memampukan kita mewariskan Indonesia yang lebih baik kepada generasi mendatang. Kesulitan di masa kini tak kuasa membelokkan arah cita-cita kita. Waktu yang berlalu tak sanggup menghapuskan cinta kita kepada jatidiri Nusantara. Cita-cita dan cinta akan mendampingi kita dalam menggubah kisah baru mengenai Indonesia. Itu kisah hebat tentunya—ala kisah diaspora orang Jawa di Suriname.

.

Victor Sihombing adalah seorang karyawan di bidang konstruksi fasilitas industri yang tinggal di Depok, Jawa Barat.

.

Catatan

“Pengakuan Calon Presiden Suriname yang Keturunan Banyumas” dalam situs Liputan 6. <http://news.liputan6.com/read/2172471/pengakuan-calon-presiden-suriname-yang-keturunan-banyumas>.

“The Day of Wong Jawa, Orang Jawa Suriname di Persimpangan Jalan” dalam situs Jawa Pos. <http://www2.jawapos.com/baca/artikel/21396/The-Day-of-Wong-Jawa-Orang-Jawa-Suriname-di-Persimpangan-Jalan>.

“Keturunan ‘Wong Jowo’ di Suriname Jadi Dokter hingga Capres” dalam situs Liputan 6. <http://news.liputan6.com/read/2194776/keturunan-wong-jawa-di-suriname-jadi-dokter-hingga-capres>.

“Jual Sepeda Onthel untuk Biayai TV dan Radio Jawa” dalam situs Radar Banyumas. <http://www.radarbanyumas.co.id/jual-sepeda-onthel-untuk-biayai-tv-dan-radio-jawa/>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *