Oleh Christina Hutabarat
Di selatan Kepulauan Nusantara terdapat kepulauan kecil yang terpencil di perairan lega Samudera Indonesia. Kepulauan seluas 14,2 km2 itu berjarak kurang lebih 1.000 km dari Pulau Jawa dan dinamai Kepulauan Kelapa (Ing.: Cocos Islands) lantaran ditumbuhi banyak pohon kelapa.1 Meski merupakan bagian dari Negara Australia, penduduk Kepulauan Kelapa banyak yang berasal dari Nusantara.
Ya, ke kepulauan terpencil itu orang Nusantara telah berdiaspora—telah meninggalkan negeri kelahiran lalu hidup membentuk komunitas di negeri lain. Mereka, saudara-saudara seleluhur kita, datang dengan membawa rasa Nusantara yang hingga kini masih kentara di sana. Mereka dikenal di dunia dengan sebutan “Melayu Kelapa” (Ing.: Cocos Malay)2 dan menyusun tiga perempat dari total sekitar 600 jiwa penghuni Kepulauan Kelapa.3
Walaupun disebut “Melayu,” banyak dari mereka sebetulnya berasal dari berbagai pulau/daerah di Nusantara: Sumatra, Jawa, Sulawesi, Madura, Sumbawa, Timor, Bali, dll.4 Mereka menjadi “Melayu” karena itulah nama umum yang dahulu biasa dikenakan orang Eropa kepada orang-orang berkulit sawo matang dan karena mereka telah melebur dalam budaya Melayu. Diduga orang-orang Melayu yang pertama kali menginjakkan kaki di Kepulauan Kelapa adalah para gundik dan budak yang dibawa Alexander Hare, pedagang asal Inggris, pada tahun 1826.5
Tahun 1831 Hare hengkang dari Kepulauan Kelapa karena bertikai dengan John Clunies-Ross, kapten kapal asal Skotlandia. Clunies-Ross, yang kemudian menguasai Kepulauan Kelapa di bawah ratu Inggris, mendatangkan banyak pekerja Melayu. Ia bahkan mengirim pekerja-pekerja Melayu ke Pulau Natal (Ing.: Christmas Island), 975 km di sebelah timur Kepulauan Kelapa, sehingga di sana pun terdapat komunitas Melayu meski tidak sebesar di Kepulauan Kelapa. Sejak tahun 1978 Kepulauan Kelapa menjadi wilayah Negara Australia, yang membelinya dari keluarga Clunies-Ross.6
Menariknya, meskipun telah lama berdiaspora ke Kepulauan Kelapa, orang Melayu Kelapa tetap mempertahankan rasa Nusantara dalam kehidupan sehari-hari. Rasa Nusantara ini kentara dalam tutur kata, seni budaya, dan kebiasaan-kebiasaan hidup mereka. Dalam percakapan, mereka masih terus menggunakan Bahasa Melayu, meski bahasa nasional Australia adalah bahasa Inggris.7 Sinetron-sinetron (berbahasa) Indonesia bahkan laku sebagai tontonan masyarakat Melayu Kelapa.8
Seni budaya ala Nusantara tetap mereka pelihara, misalnya seni ukir, seni bela diri silat, seni tari. Salah satu acara yang sangat menonjolkan seni budaya ala Nusantara adalah pernikahan. Dalam acara itu tari lenggok ditarikan, kompang (rebana) dan gendang ditabuh, masakan bersantan dan kue-kue disajikan. Kedua mempelai tentu saja tampil bahagia dalam pakaian khas Melayu—setelah dua pekan sebelumnya menjalani acara pelamaran yang diwarnai seni pantun.9
Kebiasaan-kebiasaan hidup mereka mencerminkan nilai-nilai kesantunan Nusantara. Tangan kanan dipandang sebagai “tangan sopan” untuk makan, memberi/menerima sesuatu, atau berjabat tangan. Sebagai umat Islam, mereka menjaga agar pergaulan lawan jenis tidak hanyut dalam pola pergaulan bebas ala Barat. Mereka menetapkan adab berbusana yang sopan. Orang-orang yang datang berkunjung harus mengenakan pakaian yang menutup bagian pundak hingga lutut.10
Semua itu, penjunjungan tradisi dan adab kesantunan, adalah hal-hal besar yang masih mudah didapati di tempat manapun di Nusantara. Rasa Nusantara itu, yang telah dibawa ke Kepulauan Kelapa, menjadi cerminan berharga bagi kita yang tetap tinggal di Nusantara.
Kita pun harus merawat bahasa dan seni budaya khas Indonesia. Kita harus memikirkan cara-cara paling praktis dan relevan untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah, bahasa nasional, dan seni budaya suku-suku Indonesia dari gerusan bahasa internasional dan budaya global. Selain itu, kita juga harus memelihara adab kesantunan di Indonesia. Pengaruh budaya luar yang baik-elegan kita terima sebagai pemerkaya adab, tetapi yang buruk-vulgar kita tampik supaya tidak merusak kesantunan.
Diaspora Melayu Kelapa telah memantapkan diri sebagai anak negeri Kepulauan Kelapa. Mereka membangun kehidupan, menyasar kemajuan, tanpa melupakan hal-hal baik yang mereka warisi dari Nusantara. Kita pun tidak akan berbuat kurang. Dari generasi ke generasi, kita akan memastikan sedapnya rasa Nusantara senantiasa tercicip oleh dunia di Indonesia, kepulauan tercinta kita.
.
Christina adalah seorang mahasiswa pascasarjana jurusan biologi yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Kepulauan Kelapa disebut juga Kepulauan Keeling, menurut nama William Keeling, pelaut Inggris yang dipercaya sebagai orang Eropa pertama yang melihat kepulauan itu di tahun 1609. Lihat “Cocos Island, Pulau ‘Muslim’ Milik Australia (1)” dalam situs Republika. <http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/06/27/m6a6li-cocos-island-pulau-muslim-milik-australia-1>.
2 “Melayu Cocos” dalam situs Australian Government. <http://www.environment.gov.au/topics/national-parks/pulu-keeling-national-park/history/cocos-keeling-islands-history>.
3 “Cocos (Keeling) Islands” dalam situs Central Intelligence Agency. <https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ck.html>.
4 “Cocos (Keeling) Island” dalam situs New World Encyclopedia. <http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Cocos_(Keeling)_Islands>; Alistair Welsh. “Cocos Malay Language Since Integration with Australia” dalam Shima: The International Journal of Research into Island Cultures Volume 9 Number 1 2015, hal 55. Dapat dilihat secara daring melalui situs Shima. <http://shimajournal.org/issues/v9n1/f. Welsh Shima v9n1 53-68.pdf>.
5 Alistair Welsh, hal. 53
6 Alistair Welsh, hal. 54
7 Alistair Welsh, hal. 55
8 Lihat “Kepulauan Cocos (Keeling)” dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia. <https://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Cocos_(Keeling)>.
9 Haryanie binti Sanida. “Adat Perkahwinan Cocos” dalam situs DocSlide. <http://documents.tips/documents/adat-perkahwinan-cocosdoc.html>.
10 “Cocos Island, Pulau ‘Muslim’ Milik Australia (3-habis)” dalam situs Republika. <http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam%20mancanegara/12/06/27/m6a9hn-cocos-island-pulau-muslim-milik-australia-3habis>.
Mantap Tin..
Udah kasih ke kak Fa?
Tapi prosesnya jangan kasih tau ya.
#pesan dari bang Sam..
hahahahhaaa….
makasih sudah membaca tulisanku uncok
udah aku buat di Fb sih, tapi ga tau apa ka Fa udah baca atau belum
hehehhehehe
Sebuah komunitas yang menginspirasi, mereka hidup tanpa terpengaruh oleh zaman. Kak Tina ditunggu tulisan kakak selanjutnya 😀
makasih Apri buat waktunya untuk membaca tulisan Kombi
iya Pri, nantikan tulisan yang pastinya mantap yah
tulisan yang akan selalu menginspirasi banyak pembaca,
tanggal 17 setiap bulan nya yah 😀