Oleh Sahat Sinurat
Beberapa tahun lalu, saya terlibat dalam program pengembangan masyarakat di Pulau Sumba, NTT. Di sana saya sempat menginap di sebuah tempat istirahat di tepi pantai dan bertemu dengan seorang Peringgi/Barat asal Eropa yang melancong sendirian. Ia sudah berada di Sumba selama sebulan. Ia menceritakan kepada saya bagaimana libur musim panasnya sering dihabiskan di berbagai daerah eksotis di Asia, bagaimana ia senang menjelajahi tempat-tempat baru dan rela menghabiskan banyak uang untuk itu.
Pelancong seperti dia tidaklah langka. Kita tahu bahwa orang Barat dari Eropa, Amerika, dan Australia sering mengunjungi berbagai tempat menarik di dunia—termasuk di negeri kita. Saya sendiri sangat ingin melancong seperti mereka, keliling dunia atau paling tidak keliling Indonesia. Namun, keinginan itu sering terbentur kendala seperti jadwal kerja yang padat dan minimnya dana. Kondisi tak enak ini lazim dialami orang Indonesia.
Sungguh enak jadi orang Peringgi! Langkah mereka tidak dibatasi tembok negara. Mereka bisa menjelajah dunia sebagai pekerja kelas atas, peneliti, atau pelancong. Mereka bisa menikmati segala tempat terindah dan terbaik di dunia.
Sejak dulu hingga kini orang Barat berani mendatangi daerah baru dan menjelajahinya sepuas hati (bahkan—di masa lalu—menjajahnya). Pengetahuan dan pengalaman perjalanan mereka menjadi acuan bagi bangsa-bangsa. Jejak langkah mereka dicatat dan dikenang masyarakat dunia. Nama mereka diabadikan sebagai nama tempat-tempat yang jauh dari negara asal mereka.
Sejarah memberi tahu kita bahwa negara Kolombia dinamai menurut “penemu” Benua Amerika asal Italia, Cristoforo Colombo.1 Kota Livingstonia di negara Malawi dinamai menurut David Livingstone, misionaris asal Skotlandia.2 Piramida Carstensz, puncak pegunungan Jayawijaya di Papua, dinamai menurut Jan Carstenszoon, penjelajah asal Belanda yang mendakinya di abad ke-17.3
Kita pun mudah melihat di masa kini bagaimana turis-turis Peringgi lebih sering menikmati tempat-tempat menawan di Indonesia daripada kita, orang Indonesia sendiri. Mereka menghambur ke pulau/kepulauan seperti Bali, Lombok, Mentawai, Raja Ampat, dll. Terkadang dari merekalah kita jadi mengetahui tempat-tempat indah tertentu di negeri sendiri. Mereka bisa sampai mendirikan dan mengelola resor atau wahana wisata di tempat-tempat itu!
Tentunya baik dan berguna jika kita juga bisa menikmati keenakan menjelajah dunia seperti orang Barat. Untuk itu kita bisa belajar dua hal penting dari mereka.
Pertama, orang Peringgi diuntungkan oleh peran dan kinerja pemerintah mereka yang berhasil memakmurkan rakyatnya. Kehidupan yang makmur-sejahtera membuat mereka punya cukup uang untuk bepergian ke mana-mana. Pemerintah mereka juga berhasil menggelar pendidikan bermutu yang membentuk mereka sedemikian rupa sehingga memiliki rasa ingin tahu yang besar dan hasrat untuk menjawabnya.
Pemerintah Indonesia memang sudah meningkatkan anggaran pendidikan dan membuat belasan paket ekonomi yang mempermudah usaha masyarakat. Namun, korupsi aparat pemerintahan masih sangat mengganggu upaya-upaya demi kesejahteraan itu. Padahal masyarakat yang sejahtera akan memakmurkan negara. Devisa negara pasti bertambah jika masyarakat sering mengeluarkan dana untuk menjelajah dunia.
Kedua, orang Peringgi umumnya memiliki etos kerja yang baik. Mereka tahu mengelola waktu untuk menuntaskan pekerjaan mereka sehingga punya waktu luang untuk menjelajahi dunia. Kebanyakan mereka juga perencana yang baik. Mereka merencanakan waktu libur sejak jauh hari sehingga dapat menyiapkan dana untuk perjalanan mereka.
Orang Indonesia sebenarnya memiliki karakter pekerja keras. Sayangnya, kebanyakan kita belum memiliki kecakapan yang berimbang dalam hal pengetahuan, keahlian, dan sikap. Alhasil banyak dari kita hanya bisa mengumpulkan pendapatan untuk hidup sehari-hari. Jika karakter pekerja keras disertai kecakapan, kita bisa unggul dan berdaya saing besar. Kita pun dapat menjelajah dunia, bahkan sembari bekerja.
Kalau upaya menyejahterakan dan mencakapkan masyarakat berjalan baik, saya kira beberapa tahun mendatang kita bisa saja mendapati resor-resor wisata di luar negeri yang didirikan dan dikelola oleh orang Indonesia. Mungkin juga kita akan berbangga mendengar nama-nama Indonesia diabadikan di tempat-tempat tertentu yang baru ditemukan. Dan anak cucu kita dari masa ke masa selalu tahu lantaran mengalami sendiri: sungguh enak menjelajah dunia!
.
Sahat adalah seorang pegiat pendidikan yang tinggal di DKI Jakarta
.
Catatan
1 William Paul McGreevey. “Colombia” dalam situs Encyclopaedia Britannica. <http://www.britannica.com/place/Colombia>. Cristoforo Colombo lebih kita kenal dengan nama versi Inggrisnya, Christopher Columbus.
2 “Discover Livingstonia” dalam situs Lukwe. <http://www.lukwe.com/livingstonia.htm>.
3 “Puncak Jaya or Carstensz Pyramid” dalam situs Carstenz Expedition. <http://www.carstensz-expedition.com/Carstensz_pyramid.html>.