Jembatan Itu Adalah Sastra

Oleh Stevanus Gunawan

Sastra mampu menjembatani dua budaya atau dua tradisi yang berbeda. Bahkan ketika budaya atau tradisi itu punya titik-titik kontras, sastra mampu membangun jembatan dialog di antara keduanya. Hal ini tampak dalam karya-karya dua sastrawan Jepang Kristen dari abad lalu, Shusaku Endo (1923-1996) dan Ayako Miura (1922-1999).

Kedua sastrawan itu berkarya di masa Perang Dunia II, yang memaksa Jepang dan Barat bergesekan. Budaya Barat, kita tahu, sangat berbeda dengan budaya Timur ala Jepang. Barat yang sangat menomorsatukan kebebasan dan suka mempertanyakan segala hal bertolak belakang dengan Jepang yang sangat memegang erat adat istiadat tanpa mempertanyakannya. Selain itu, budaya Barat sangat dipengaruhi agama Kristen sedangkan budaya Jepang sangat dipengaruhi agama Shinto.

Bisa kita bayangkan bahwa gesekan budaya pun terjadi dalam diri Endo yang Katolik dan Miura yang Protestan. Keduanya adalah orang Jepang, tumbuh besar dalam tradisi Jepang, tetapi menganut iman Kristen, yang disiarkan dari Barat.

Menyikapi gesekan budaya itu, Endo dan Miura mengangkat pena untuk membangun jembatan antara Jepang dan Barat. Melalui karya sastra, mereka membuat Jepang “berdialog” dengan Barat. Ini, bagi mereka, adalah wujud tanggung jawab sebagai orang Jepang Kristen di tengah masyarakat Jepang. Tak heran Endo menulis dalam Sukyandaru (“Skandal,” 1986), “Seseorang yang memegang pena harus bertanggung jawab kepada masyarakat.”1

Endo mempertemukan Barat dan Jepang dalam banyak karya sastranya. Dalam Anata Orokana Obakasan (“Orang Bodoh yang Mengherankan,” 1959) ia berkisah tentang seorang Perancis naif yang mengunjungi Jepang pascaperang.2 Dalam Chinmoku (“Keheningan,” 1966), ia bercerita tentang seorang imam asal Portugal yang menyangkali imannya di bawah tekanan pemerintah Jepang di abad ke-17.3 Dalam Samurai (1980) ia bertutur tentang misi kediplomatan seorang bangsawan Jepang ke Meksiko dan Spanyol pada abad ke-17.4

Sementara itu, karya-karya sastra Miura sering menyajikan potret masyarakat Jepang yang berhadapan dengan budaya Barat atau kekristenan. Dalam Shiokari Toge (“Jalur Shiokari,” 1968), ia mengisahkan kehidupan seorang karyawan kereta api yang tumbuh di antara tradisi Jepang dan ajaran Kristen.5 Dalam Michi Ariki (“Jalan Ariki,” 1969), ia menyajikan cerita hidupnya sendiri selaku orang Jepang yang menjadi Kristen.6 Dalam Hosokawa Garasha Fujin (“Nyonya Hosokawa Gracia,” 1975), ia menuturkan pergulatan seorang putri keluarga samurai ternama dalam menghadapi perlakuan tidak adil terhadap wanita Jepang di abad ke-16 dan penghiburan yang ditemukan sang putri dalam agama Kristen.7

Kekristenan memang sangat mempengaruhi dan mewarnai karya-karya Miura dan Endo. Tema-tema alkitabiah dominan dalam karya-karya Miura. Endo disebut sebagai novelis yang karya-karyanya didominasi oleh satu tema, yaitu iman Kristen. Bahwa karya sastra mereka menjadi jembatan antarbudaya pun sesungguhnya mengungkapkan ide kristiani tentang Allah yang menyambut orang dari segala budaya.

Dalam konteks Indonesia, kita juga butuh sastrawan Kristen yang karya-karya sastranya mampu membuat identitas Kristen berdialog dengan identitas suku dan bangsa. Karya-karya semacam ini akan menjadi jembatan kepada hal-hal besar seperti kemajuan masyarakat dan persatuan bangsa. Endo dan Miura telah menunjukkan bahwa sastra—dan sebetulnya jenis tulisan lain juga: berita, opini, kajian ilmiah—memang dapat mempertemukan keberbedaan yang sering kali “tabu” untuk didiskusikan secara langsung.

Untuk itu Gereja (umat Kristen) Indonesia harus memberdayakan orang-orang Kristen yang berbakat sastra. Mereka harus disemangati dan didukung untuk menggubah karya-karya sastra jembatan. Ini dapat menjadi salah satu hal penting yang mewakili kehadiran dan peran serta Gereja di tengah masyarakat. Dijiwai nilai-nilai kristiani, karya-karya para sastrawan/penulis Kristen dapat turut menyumbangkan pencerahan kepada masyarakat.

Miura pernah menulis, “Setelah Anda mengetahui terang maka Anda mengenali kegelapan. Anda tidak dapat mengetahui kegelapan ketika Anda berada di tengah-tengahnya.”8 Sastra yang baik dan bermanfaat adalah jembatan dari rupa-rupa kegelapan kepada terang.

.

Stevanus adalah seorang karyawan bagian hukum di Rumah Sakit Swasta yang tinggal di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Shusaku Endo. Scandal: A Novel/terjemahan Inggris oleh Van C. Gessel. New York: Dodd, Mead & Company, 1988, hal. 190.

Kris Kosaka. “Shusaku Endo’s ‘Wonderful Fool’ is an incisive commentary on the materialism and spiritual emptiness of 1950s Japan” dalam situs The Japan Times. <http://www.japantimes.co.jp/culture/2015/06/20/books/book-reviews/shusaku-endos-wonderful-fool-incisive-commentary-materialism-spiritual-emptiness-1950s-japan/#.VzKrfNJ97cs>.

3 Daniel McInerny. “The Sinister Theology of Endo’s Silence” dalam situs The Catholic Thing. <https://www.thecatholicthing.org/2014/07/14/the-sinister-theology-of-endos-silence/>.

4  John Walters. ”Book Review: The Samurai by Shusaku Endo” dalam situs John Walters Writer. <https://johnwalterswriter.com/2015/06/27/book-review-the-samurai-by-shusaku-endo/>.

5 Mary Anketell, “Shiokari Pass (Miura Ayako, 1968)” dalam situs Japan Christian Link. <http://www.jclglobal.org/bookshop/shiokaritoge/miura-ayako/>.

6 Mary Anketell, “Michi Ariki (Miura Ayako 1970)” dalam situs Japan Christian Link. <http://www.jclglobal.org/bookshop/michi-ariki/miura-ayako/>.

7 Lihat “Book Review by Carmen Sterba: Lady Gracia” dalam situs Asian Culture Enthusiast. <https://japanesehistoryenthusiast.wordpress.com/tag/lady-gracia/>.

8 Ayako Miura. “My Life and Times” dalam jurnal Jidai to Watashi volume 14 edisi 05.1986, sebagaimana dimuat dalam situs Kamui Mintara. <http://kamuimintara.net/detail.php?rskey=14198605t02>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *