Sastra Pelita

Oleh Victor Sihombing

“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Bagi orang Kristen, perkataan suci dari Mazmur 119:105 itu berarti bahwa sabda/firman Tuhan memandu segala tingkah laku kita dalam menjalani kehidupan, bukan hanya hidup pribadi tetapi juga hidup bermasyarakat. Pengertian tersebut tampak kentara dalam karya-karya Elizabeth Barrett Browning (1806-1861) dan John Ronald Reuel (J.R.R.) Tolkien (1892-1973), dua sastrawan Inggris Kristen yang besar.

Keduanya dicerahi dan diilhami oleh “pelita” Alkitab, yang telah mereka akrabi sedari kecil. Alhasil nilai-nilai kristiani mengaliri karya-karya sastra mereka lalu menjadi pencerah dan ilham bagi banyak orang. Dengan demikian, pada gilirannya, karya-karya sastra mereka juga menjadi pelita bagi masyarakat dan mempengaruhi perkembangan sosial-budaya Inggris di masa itu.

Puisi-puisi Elizabeth adalah sastra pelita yang menerangi “kegelapan” kondisi sosial-budaya di Inggris abad ke-19. Sebagai contoh, dalam puisi The Cry of the Children (“Tangisan Anak-anak,” 1842), ia menggambarkan kekejaman sistem pekerja anak.1 Dalam puisi The Runaway Slave at Pilgrim’s Point (“Budak yang Melarikan Diri di Titik Musafir,” 1850), ia memprotes perbudakan dengan melukiskan kepahitan hidup seorang budak wanita.2 Budaya masyarakat yang membatasi peran wanita menjadi salah satu isu yang dikritisinya dalam novel-puisi Aurora Leigh (1856).3

Di mata Elizabeth, diskriminasi seharusnya tidak mendapat tempat di dunia karena semua manusia seharkat di depan Tuhan. Ini menunjukkan bagaimana karya-karya Elizabeth dipengaruhi ajaran Kristen, yang menyatakan bahwa Tuhan “ada di sorga dan Ia tidak memandang muka” (Yak. 6:9). Elizabeth pun pernah berujar, “Kita menginginkan sentuhan tangan Kristus atas kesusasteraan.”4 Baginya, kekristenan bisa menjadi pelita masyarakat lewat karya sastra.

Jika Elizabeth banyak menghasilkan karya sastra pelita tentang dunia nyata, Tolkien melakukan hal yang berbeda. Pujangga dan novelis ini memukau dunia lewat karya-karya fantasinya (walau ia juga banyak menghasilkan karya non-fantasi). Nilai-nilai pencerahan, seperti kebenaran harus dibela atau berpengharapan dalam keadaan sulit, mengemuka dalam karya-karya apiknya: The Hobbit (1937), trilogi The Lord of The Rings (1954-1955), The Children of Hurin (2007), dll. Trilogi The Lord of the Rings bahkan mengungkapkan perhatian Tolkien kepada kelestarian alam (Eropa) pasca-revolusi industri.5

Jadi, walaupun bersifat fantasi, Tolkien memuatkan nilai-nilai pencerahan pada karya-karyanya. Ini tak terlepas dari pemahaman alkitabiahnya tentang makna fantasi atau mitologi dalam hidup manusia. Ia  pernah berujar, “Kita [umat manusia] datang dari Allah dan tak terelakkan bahwa mitos-mitos yang kita buat, walaupun mengandung kekeliruan, akan menyerpihkan pula fragmen dari cahaya sejati, yakni kebenaran abadi yang ada bersama Allah.”6 Baginya, karya sastra fantasi bisa menjadi pelita kebenaran ilahi bagi masyarakat.

Segala fakta itu seharusnya menyadarkan Gereja (umat Kristen) di Indonesia bahwa Alkitab dapat menjadi ilham hebat dan baik untuk perubahan sosial-budaya. Umat Kristen seharusnya tidak menahan “pelita” Alkitab di balik dinding-dinding gereja, tetapi membiarkannya bersinar di tengah masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan menyumbangkan sastrawan Kristen penghasil sastra pelita seperti Elizabeth Barett Browning dan J.R.R. Tolkien.

Gereja dapat membantu lahirnya sastrawan/penulis dari kalangan Kristen dengan menggelorakan kegiatan penulisan di tengah jemaat. Lalu jemaat yang berbakat menulis (sastra ataupun non-sastra) dapat diarahkan dan diberi wawasan untuk menuliskan pencerahan terhadap masalah-masalah “gelap” yang menyelimuti masyarakat. “Pelita” Alkitab tidak seharusnya hanya menjadi sumber ilham untuk tulisan rohani saja!

Dalam The Fellowship of the Ring (1954), Tolkien menceritakan bagaimana cahaya bintang Earendil7 diberikan oleh Galadriel, tokoh bangsa peri, kepada Frodo, tokoh utama cerita, agar dapat menerangi jalannya “di tempat-tempat gelap, ketika semua cahaya lain padam.”8 Sastra pelita pun bisa menjadi seperti cahaya bintang Earendil—penerang bagi masyarakat di saat masalah menggelapkan kehidupan.

Semoga bangkit para sastrawan Kristen penghasil sastra pelita di tanah air tercinta!

.

Victor Sihombing adalah seorang karyawan di bidang konstruksi fasilitas industri yang tinggal di Depok, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Emily Bridget Cummings. “Explication of Elizabeth Barrett Browning’s ‘The Cry of the Children’” dalam laman Robert Fletcher di situs West Chester University. <http://courses.wcupa.edu/fletcher/britlitweb/ecummingsa.htm>.

2 “The Runaway Slave at Pilgrim’s Point” dalam situs The British Library. <http://www.bl.uk/works/the-runaway-slave-at-pilgrims-point>.

3 “Feminism, Aurora Leigh, and the 1800s” dalam situs The Victorian Web. <http://www.victorianweb.org/authors/ebb/61al3.html>.

4 “Elizabeth Barrett Browning” dalam situs The Victorian Web. <http://www.victorianweb.org/authors/ebb/cornhill.html>.

5 “Influences on The Lord of The Rings” dalam situs National Geographic. <http://www.nationalgeographic.com/ngbeyond/rings/influences.html>.

6 Walter Hooper dalam pengantar untuk C.S Lewis. On Stories: And Other Essays on Literature. Orlando, Florida: Harcourt, Inc., 1981, hal. xiv.

7  Bintang Earendil, dalam kisah fantasi Tolkien, adalah bintang yang paling dicintai bangsa peri karena cahayanya lebih terang dari cahaya bintang-bintang lain. Cahayanya bahkan dapat disimpan dalam buli-buli kristal.

8 J.R.R. Tolkien. The Fellowship of the Ring/terjemahan Indonesia oleh Gita Yuliani K. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, hal. 463.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *