Susastra

Salam sejahtera di bulan enam 2016, Sidang Pembaca!

Sejak lama sekali dunia telah dijadikan lebih semarak oleh untaian kata indah gubahan para sastrawan dari bermacam latar belakang. Sastrawan-sastrawan berlatar belakang Kristen pun tak ketinggalan mengunjukkan karya-karya bermutu bagi umat manusia. Mereka menunjukkan bahwa karya sastra dapat menjadi berkat besar bagi bangsa ataupun dunia dan bahwa kekristenan dapat menjadi sumber ilham besar bagi penciptaan karya sastra yang bagus.

Bulan ini, untuk merayakan ulang tahunnya yang kelima, Komunitas Ubi (Kombi) memilih mengangkat topik susastra—karena masih bersangkut paut dengan tulisan dan karena untaian kata indah pun senantiasa mewarnai tulisan-tulisan Kombi. Sembilan peladang menelaah riwayat empat belas sastrawan Kristen dari berbagai belahan bumi lantas mengulas kinerja mereka dan hikmah di balik kinerja itu dalam tujuh tulisan.

Dari Indonesia, J.E. Tatengkeng dan Y.B. Mangunwijaya telah membawa nilai-nilai kristiani ke dalam kesusastraan umum. Bagi Daniel Siahaan, kiprah mereka menegaskan bahwa karya sastra/tulis umum juga sangat perlu dibuat orang Kristen supaya nilai-nilai baik kekristenan ikut bersumbangsih bagi segala bidang kehidupan.

Dari Jepang, Shusaku Endo dan Ayako Miura telah menjembatani perbedaan budaya lewat kesusastraan. Bagi Stevanus Gunawan, tindakan mereka membuktikan bahwa karya sastra/tulis mampu mempertemukan atau mendialogkan keberbedaan yang sering kali “tabu” untuk didiskusikan secara langsung.

Dari Lebanon, Kahlil Gibran dan Mikhail Naima telah mengelu-elukan cinta kasih melalui kesusastraan. Bagi Bunga Siagian, aksi mereka menyatakan bahwa karya sastra/tulis sanggup mengilhami orang untuk menghayati cinta kasih demi terwujudnya kedamaian di tengah masyarakat dan dunia.

Dari Afrika Selatan, Nontsizi Mgqwetho dan Samuel Mqhayi telah menjadikan kesusastraan sebagai kendaraan untuk rasa cinta tanah air. Bagi S.P. Tumanggor, sepak terjang mereka menandaskan bahwa karya sastra/tulis punya peran penting dan potensial bagi pembangunan dan pengokohan negara dan bangsa.

Dari Inggris, Elizabeth Barett Browning dan J.R.R. Tolkien telah menyalakan pelita bagi masyarakat lewat kesusastraan. Bagi Victor Sihombing, aksi mereka meneladankan bagaimana karya sastra/tulis dapat menjadi penerang dan pencerah di saat masalah—khususnya masalah sosial-budaya—menggelapkan kehidupan.

Dari Rusia, Leo Tolstoy dan Aleksandr Solzhenitsyn telah menyuarakan kebenaran bagi Gereja dan bangsa melalui kesusastraan. Bagi Victor Samuel dan Hotgantina Sinaga, tindakan mereka memperlihatkan bagaimana karya sastra/tulis bisa membuka telinga dunia terhadap kemunafikan dan penindasan.

Dari Amerika Serikat, Phillis Wheatley dan Flannery O’Connor telah menggunakan karya sastra sebagai pendobrak batas sosial dan persepsi. Bagi Paul Sagajinpoula dan Monalisa Malelak, kiprah mereka memperagakan bagaimana karya sastra/tulis dapat membantu masyarakat mendobrak “batas” tidak pantas yang dipatok oleh zaman atau paradigma.

Keempat belas sastrawan Kristen itu, berikut karya-karya mereka, adalah contoh jelas tentang kebaikan kesusastraan bagi masyarakat, bangsa, dunia, dan kekristenan sendiri. Sambil bersyukur kepada Tuhan atas hari ulang tahunnya, Kombi berharap agar umat Kristen Indonesia generasi ini mulai memandang serius nilai strategis karya-karya sastra/tulis sebagai penyalur manfaat bagi umat manusia. Kombi berdoa, Sidang Pembaca, agar untaian kata indah kesusastraan terus memboyong semarak ke berbagai lahan kehidupan.

Selamat ber-Ubi.

Penjenang Kombi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *