Margalah: Bersaing Cerdik dan Gesit

Oleh Rina Saragih

“Hotma! Hotma! Hotma!” Saya dan penonton lain menyoraki pemain bertubuh ramping itu waktu ia mencoba mengelabui pemain lawan yang menghadangnya. Hotma bergerak dengan cerdik dan gesit. Garis demi garis dapat dilewatinya tanpa tertangkap lawan sampai ia berhasil kembali ke garis pangkal. Saat itu Hotma dipercaya menjadi kapten timnya dalam lomba margalah, permainan tradisional suku Batak, yang diselenggarakan dalam perayaan 17 Agustus di kota kami, Pamatang Raya di Sumatera Utara.

Margalah adalah permainan tim (terdiri dari empat orang atau lebih) yang para pemainnya harus berlari melewati garis-garis yang dijaga oleh para pemain tim lawan. Mereka harus berhasil berlari dari garis pangkal ke garis ujung dan kembali lagi ke garis pangkal tanpa tertangkap/tersentuh oleh pemain lawan. Jika tertangkap/tersentuh, maka tim lawan yang akan mendapat giliran berlari.1 Jelaslah bahwa pemain harus berjuang keras mengecoh lawan. Adanya hadangan memaksa pemain berpikir cerdik dan bergerak gesit untuk meraih tujuan.

Saya melihat kaitan kuat antara lomba margalah dengan perjuangan para pahlawan bangsa di masa lampau. Mereka pun harus bergerak gesit sambil berpikir cerdik dalam mengatasi hadangan penjajah, Belanda ataupun Jepang, untuk mencapai tujuan kemerdekaan. Ketangkasan dan kecerdikan menyusun mental bersaing mereka terhadap “tim” lawan.

Kita ingat, misalnya, bagaimana Pangeran Diponegoro secara cerdik mengatur strategi perang gerilya yang merepotkan Belanda. Dia dan para pengikutnya berpencar dan berpindah-pindah lalu dengan gesit menyerang saat musuh lengah. Kita juga ingat bagaimana Bung Karno dan rekan-rekannya secara cerdik masuk PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat). Dengan gesit mereka memanfaatkan organisasi bentukan penjajah Jepang itu untuk melatih semangat dan mental rakyat demi kemerdekaan Indonesia.

Sepak terjang mereka mengajari kita bahwa meskipun ada hadangan untuk meraih tujuan luhur, kita harus cerdik dan gesit dalam melihat dan memanfaatkan setiap peluang. Setiap hadangan, seperti pemain lawan dalam margalah, bisa menjebak kita dengan seolah-olah memberi celah. Tak bisa tidak kita harus cerdik menyiasatinya dan gesit melaluinya.

Namun, hadangan jangan semata-mata dipandang sebagai penyusah hidup. Kita sangat dapat memanfaatkannya sebagai penempa mental bersaing. Ketika kita “terpaksa” berpikir cerdik dan bergerak gesit untuk mengatasi hadangan, mental bersaing kita pun dipertinggi. Ini pada gilirannya akan meningkatkan daya saing bangsa di dunia.

Selain margalah, banyak lomba beregu lain dalam perayaan 17 Agustus—sepak bola, sepak takraw, polo air, dll.—yang juga mengajari kita untuk berpikir cerdik dan bergerak gesit. Demi memenangkan persaingan, setiap pemain tim dituntut mengembangkan keduanya baik secara perorangan maupun berkelompok. Ini juga memberi pelajaran tentang bertanggung jawab atas peran sendiri sambil bekerja sama dengan baik dalam satu tim. Jika setiap pemain berbuat demikian, terciptalah tim dengan daya saing yang hebat.

Saya pikir lomba-lomba 17 Agustus mengingatkan kita bahwa ada lomba-lomba demi kemaslahatan bangsa yang terus berlangsung di tingkat dunia dan di berbagai bidang kehidupan. Tetapi betapa sering kita tidak menunjukkan mental bersaing atau daya saing dalam semua lomba skala besar itu.

Sebagai bangsa yang berminat baca paling rendah se-Asia Tenggara,2 jelas kita kalah bersaing dalam hal kecendekiaan. Sebagai bangsa yang menduduki peringkat ke-88 dalam indeks persepsi korupsi,3 jelas kita kalah bersaing dalam hal kejujuran. Kapan kita akan berpikir cerdik dan bergerak gesit untuk menang bersaing dalam hal-hal itu—dan dalam banyak hal lain lagi?

Kita semua, anak-anak Indonesia, ibarat pemain margalah yang harus bersaing di percaturan internasional demi kesejahteraan bangsa. Kita harus berpikir cerdik untuk melewati segala hadangan. Kita harus bergerak gesit untuk menghindari segala jebakan. Di usia ke-71 tahun kemerdekaan RI ini biarlah kita tinggalkan segala kelembaman dan kelambanan. Biarlah kita bersaing cerdik dan gesit di dunia demi keharuman nama bangsa.

.

Rina Saragih adalah seorang pegawai negeri sipil yang bermukim di Pamatang Raya, Sumatera Utara.

.

Catatan

1 Permainan ini dikenal pula di daerah-daerah lain di Nusantara dengan nama, misalnya, cak bur di Riau, galah asin di Jakarta, dan gobak sodor di Yogyakarta.

2 “Menumbuhkan Minat Baca Masyarakat” dalam situs Republika. <http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/05/26/noyj6v-menumbuhkan-minat-baca-masyarakat>.

3 “Daftar Peringkat Korupsi Dunia” dalam situs Tempo. <https://www.tempo.co/read/news/2016/01/27/063739957/ini-daftar-peringkat-korupsi-dunia-indonesia-urutan-berapa>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *