Mendayung Maju Sampan Indonesia

Oleh Paul Sagajinpoula

Kau lek kam, bak niknik kam masilugai enda undui!” (“Ayo terus, dayung kuat-kuat sampan itu.”) Begitulah seruan saya dan penonton lain dari pinggir sungai untuk menyemangati regu-regu lomba dayung sampan di Sungai Muara Sikabaluan, Kepulauan Mentawai. Sewaktu kecil, saya sering menyaksikan lomba itu dalam perayaan 17 Agustus di kampung kami tercinta, Sikabaluan. (Sekarang, entah mengapa, lomba itu tidak digelar lagi. Patut disayangkan!)

Lomba dayung sampan biasa diikuti oleh lima regu atau lebih yang masing-masing terdiri dari dua atau tiga orang. Regu-regu ini mendayung sampan kecil yang kedua ujungnya lancip dan beradu cepat untuk maju menerobos garis akhir. Saya melihat jelas kegigihan, kebulatan tekad, dan semangat pantang menyerah pada setiap anggota regu yang bersaing ketat itu.

Saya pikir semua itu mencerminkan sikap para pejuang bangsa kita di masa lampau, baik dalam meraih maupun mempertahankan kemerdekaan. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, kita tahu bahwa penjajah Belanda mencoba menduduki Indonesia kembali. Akibatnya, banyak perang hebat terjadi, seperti Perang Surabaya (Oktober-November 1945) dan Perang Yogyakarta (Maret 1949). Para pejuang kita bertarung dengan gigih, bulat tekad, dan pantang menyerah dalam perang-perang itu.

Jadi, lomba dayung sampan sangat menangkap roh perjuangan yang dulu dikobarkan oleh para pahlawan bangsa. Tak jarang sampan suatu regu terbalik di tengah lomba karena anggota-anggota regu kehilangan keseimbangan atau tidak mendayung menurut aba-aba pemimpin regu. Namun, saya tak pernah melihat mereka yang tercebur ke sungai itu berhenti berlomba. Mereka kembali menaiki sampan, kembali mendayung maju sekuat tenaga sampai berhasil melewati garis akhir. Mereka melakukan semua itu bahkan meskipun mereka tidak berpeluang lagi memenangkan perlombaan.

Mereka memberitahu kami, para penonton, apa arti gigih, bulat tekad, dan pantang menyerah.

Lomba-lomba lain yang biasa digelar dalam perayaan 17 Agustus sering memperlihatkan ketiga hal itu pula. Beberapa di antaranya bisa saya sebutkan: balap karung, memasukkan belut ke dalam botol, dan balap bakiak. Setiap kita yang pernah mengikuti atau menyaksikan lomba-lomba itu tahu betul bahwa kemenangan dalam persaingan sangat ditentukan oleh kegigihan, kebulatan tekad, serta semangat pantang menyerah. Jadi, setiap 17 Agustus kita diingatkan terus dan terus kepada mutu karakter yang penting untuk membentuk  mental bersaing bangsa.

Sayangnya, pengingatan berulang itu tampaknya belum berhasil memenuhi tujuannya. Mutu karakter bangsa kita, khususnya dalam hal mental bersaing, masih tergolong rendah hingga hari ini. Dalam banyak aspek, kita masih (terus) kalah dari bangsa-bangsa lain. Fakta-faktanya tidak sulit ditemukan.

Kita kalah gigih dalam persaingan di bidang ekonomi. Menurut laporan International Institute for Management Development (IMD), di tahun 2016 ini daya saing ekonomi kita turun dari peringkat 42 ke 48. Tidak memadainya kualitas infrastruktur menjadi salah satu penyebab utama.1 Jika kita ingin melihat perekonomian kita maju pesat seperti sampan juara, tiada jalan selain gigih memperbaiki infrastruktur negeri.

Kita pun kalah bulat tekad dalam persaingan di bidang ketahanan. Alat utama sistem persenjataan (alutsista) kita belum juga memadai sampai sekarang. Padahal kita butuh alutsista canggih untuk mempertahankan wilayah Nusantara yang luas dan menambah daya tawar diplomasi kita.2 Jika kita ingin melihat ketahanan kita maju mantap di “sungai” dunia, tiada jalan selain berbulat tekad untuk mencanggihkan alutsista.

Dan kita kalah pantang menyerah dalam persaingan di bidang ketenagakerjaan. Tak heran kita tidak siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ini terlihat dari rendahnya kemampuan berbahasa Inggris3 dan tingkat pendidikan kita secara umum.4 Jika kita ingin melihat ketenagakerjaan kita maju berkembang, tiada jalan selain mengobarkan semangat pantang menyerah ala pendayung sampan Muara Sikabaluan dalam bergiat serta menguasai pengetahuan dan keterampilan.

Di tahun ke-71 kemerdekaan RI ini, semoga kita makin gigih, bulat tekad, dan pantang menyerah untuk mendayung maju sampan Indonesia dalam perlombaan seru di sungai dunia.

.

Paul Sagajinpoula adalah seorang anggota staf rumah produksi yang bermukim di Cikarang, Jawa Barat.

.

Catatan

1 “Peringkat Daya Saing Ekonomi Indonesia Melorot” dalam situs Republika. <http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/06/02/o853s7382-peringkat-daya-saing-ekonomi-indonesia-melorot>.

2 Julkifli Marbun. “Tingkatkan Daya Tawar Diplomasi, Jokowi Diminta Perkuat Alutsista” dalam situs Republika. <http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/10/30/ne9m4j-tingkatkan-daya-tawar-diplomasi-jokowi-diminta-perkuat-alutsista>.

3 Rizki Washarti. “Apakah Pekerja Indonesia Siap Hadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN?” dalam situs BBC Indonesia. <http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151230_indonesia_mea_pekerja>.

4 Abdul Rozak. “Pendidikan Rendah, Pekerja Indonesia Tidak Siap Hadapi MEA” dalam situs Gatra. <http://www.gatra.com/nusantara-1/jabodetabek-1/123114-pendidikan-rendah,-pekerja-indonesia-tidak-siap-hadapi-mea.html>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *