Sambil Berjoget, Balon Tak Jatuh

Oleh Bill Hayden

Di tengah sorak penonton terdengarlah suara seorang anggota panitia, “Yang tak berjoget dianggap kalah!” Sambil menjaga balon di antara kening kami agar tak jatuh, saya dan teman saya berusaha berjoget seiring irama lagu. Tapi joget kami agak kacau. Belum dua menit, balon kami jatuh, dan ternyata kamilah yang tercepat kalah dalam lomba joget balon itu. Penonton pun menertawakan kami dalam kemeriahan perayaan 17 Agustus di lingkungan rumah masa kecil saya dulu di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar).

Joget balon adalah lomba yang tergolong sederhana—walau bukan berarti mudah. Para pelomba harus mampu bekerja sama dengan berjoget secara berpasangan sembari mempertahankan agar balon di antara kening (atau perut atau punggung) mereka tidak jatuh. Mereka juga harus membangun pengertian/kekompakan, setidaknya untuk memastikan gerak joget mereka tidak membuat balon mereka jatuh. Jelas ini menghasilkan suasana meriah, lucu, dan menghibur.

Saya kira ada ide yang sangat penting dan relevan dengan kemerdekaan Indonesia di balik kesederhanaan lomba joget balon. Balon, sebagai sesuatu yang berharga (karena menentukan kalah-menang lomba), dapat kita pandang melambangkan tanah air dan bangsa merdeka. Gerak joget melambangkan gerak kerja sama dan membangun pengertian dalam mempertahankan dan/atau mengisi kemerdekaan. Lomba itu sendiri melambangkan persaingan dengan bangsa-bangsa lain sebagai wujud mengisi kemerdekaan.

Semua itu menonjol dalam perjuangan para pendahulu kita demi kemerdekaan Indonesia. Sebagai contoh, para pejuang di Kalbar membentuk PPRI (Panitia Penyongsong Republik Indonesia) pada tahun 1945 untuk menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan RI ke seluruh wilayah Kalbar. Mereka juga menentang NICA (organisasi bentukan Belanda untuk memulihkan kekuasaannya di Indonesia) yang mengajak Kalbar keluar dari RI.1 Dalam hal ini, mereka menunjukkan kerja sama dan membangun pengertian (“berjoget”) dengan para pejuang di seluruh pelosok tanah air untuk mempertahankan kemerdekaan (“balon”) di tengah persaingan kuasa (“lomba”) dengan Belanda.

Tentu hal itu tidak selalu mudah bagi bangsa Indonesia yang berbeda suku, agama dan daerah. Sama tidak mudahnya dengan berjoget sambil menjaga balon agar tidak jatuh! Tetapi ternyata kita berhasil melakukannya. Ternyata kesatuan dan kekompakan berhasil kita jalin. Tak dapat tidak, kinerja yang sama harus kita tunjukkan pula dalam mengisi kemerdekaan.

Untuk mengisi kemerdekaan, saya percaya kita perlu memiliki semangat bersaing yang memotivasi kita membuat karya-karya bermutu tinggi dan berkelas dunia. Semangat bersaing itulah yang sebetulnya harus kita serap sebagai hikmah dari lomba 17 Agustus seperti joget balon dan sejenisnya: tarik tambang, memasukkan pensil ke dalam botol secara beregu,2 memindahkan karet gelang dengan memakai sedotan, dsb.

Semangat bersaing kita bukanlah untuk saling menjatuhkan, melainkan untuk saling membantu dalam mengasah kemampuan yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa. Dengannya kita dapat membenahi etos kerja dan keprofesionalan kita di berbagai bidang kehidupan di tanah air. Itulah wujud bekerja sama dan membangun pengertian untuk menjaga Indonesia di masa kini.

Alhasil, di tingkat nasional, kita akan cakap mengelola SDA dan SDM sehingga menjadi bangsa yang mandiri dan mapan dalam hal pangan, energi, pengentasan kemiskinan, penegakan keadilan dan hukum, ketahanan budaya, dsb. Di tingkat internasional, kita akan sanggup berkiprah besar dengan daya saing tinggi lantaran kemandirian dan kemapanan itu.

“Yang tak berjoget dianggap kalah.” Bagi saya, kalimat ini berarti bahwa tanpa gerak “joget” nyata dalam bekerja sama dan membangun pengertian di antara sesama anak bangsa, kita sudah bisa dianggap gagal, kalah, dalam menjaga “balon” kemerdekaan yang berharga, peninggalan para pendahulu kita. Jadi, dalam perayaan 17 Agustus yang meriah oleh lomba-lomba ini, mari kita pastikan agar sambil berjoget, balon tak jatuh.

.

Bill Hayden adalah seorang pegawai kontrak dinas pemerintah yang bermukim di Sintang, Kalimantan Barat.

.

Catatan

1 Heri Hidayat Makmun. “Perjuangan PPRI Kalimantan Barat Melawan Sekutu dan Belanda” dalam situs Suara Indonesia. <http://suaraindonesiakini.blogspot.co.id/2013/11/perjuangan-ppri-kalimantan-barat_10.html>.

2 Pensil itu berada di tengah empat atau lima utas tali yang diikatkan ke pinggang empat atau lima anggota regu.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *