Oleh S.P. Tumanggor
Sebagai orang Nasrani, masakan kita tidak peduli kepada Gereja?
“Gereja” di sini bukanlah organisasi atau aliran Nasrani tertentu. Sebaliknya, “Gereja” adalah kumpulan semua orang di segala abad dan tempat yang mengaku beriman kepada Allah melalui Kristus. Nama lainnya, kita tahu, ialah “Tubuh Kristus” (1 Kor. 12:27; Ef. 4:12).
Bagi Gereja ini Kristus mengungkap kepedulian dan kasih tak terperi. Sebait lirik klasik Samuel J. Stone, rohaniwan Inggris abad ke-19, gamblang melukiskannya:
Satu-satunya dasar GerejaAdalah Yesus Kristus, Tuannya
Ia adalah ciptaan-Nya yang baru
Oleh air dan Firman
Dari Surga Ia datang dan mencarinya
Untuk jadi mempelai-Nya yang suci
Dengan darah-Nya sendiri Ia membelinya
Dan demi hidupnya Ia mati.
Kita terperanjat dan berkhidmat di depan leretan kata itu. Betapa Kristus peduli dan mengasihi Gereja! Bersusah-susah Ia turun dari surga untuk mencarinya. Berdarah-darah Ia mati untuk menebusnya. Agunglah kesaksian Alkitab yang menumpu lirik Stone: “Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman” (Ef. 5:22).
Jika Kristus sebegitu peduli kepada Gereja, masakan kita tidak?
Ya, kita peduli, sungguh peduli. Kita peduli untuk mengusahakan agar satu-satunya dasar Gereja tetaplah Yesus Kristus, Tuannya. Kita tak mau membiarkan Tuan kita digeser sosok lain: tokoh Nasrani dalam sejarah, petinggi gereja, pendeta, pembina rohani—seberkuasa dan seberwibawa apa pun!
Kita peduli untuk mengusahakan Gereja tetap menjunjung Firman yang menjadikannya ciptaan baru. Kita tak mau membiarkan Firman ini digangsir paham-paham duniawi, tafsiran sekehendak hati, rupa-rupa teologi, atau pragmatisme manusia.
Kita peduli untuk mengusahakan Gereja tetap elok dan suci di depan Tuannya. Kita tak mau membiarkannya tampil dungu dalam sikap serba picik dan serba bebas atau cemar dalam kompromi-kompromi terlarang.
Kita peduli untuk mengusahakan Gereja tetap ingat kasih Tuannya. Kita tak mau membiarkannya sibuk melayani hingga lupa apa yang perlu atau panik memasarkan diri hingga mengencerkan apa yang hakiki. Kita tak mau membiarkannya terlena di buaian kemakmuran hingga lalai membandarkan kasih Tuannya kepada masyarakat, bangsa, dan dunia.
Karena peduli, kita mau kritis terhadap kiprahnya. Kita mau memupuk hal-hal yang berfaedah baginya dan menyiangi hal-hal yang merugikannya. Itulah yang diteladankan banyak anggota Gereja dari dulu hingga kini, seberapa pun terbatasnya mereka: Wycliff, Luther, Savonarola, Tunggul Wulung, Kanzo, Akinola, dan lain-lain.
Teladan mereka bersumber dari teladan Yesus Kristus sendiri. Ia, Tuan dan Kepala Gereja, menunjukkan bahwa kepedulian tak bisa tidak bersanding dengan kekritisan. Fakta ini jelas dalam sabda-Nya kepada tujuh jemaat (“gereja”), masing-masing di Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia, dan Laodikia (Why. 1-3).
Tak segan-segan dipuji-Nya mereka: “engkau tetap sabar dan menderita oleh karena nama-Ku” (2:3), “Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu—namun engkau kaya” (2:9), “pekerjaanmu yang terakhir lebih banyak dari pada yang pertama” (2:19), “engkau menuruti firman-Ku dan engkau tidak menyangkal nama-Ku” (3:8).
Tak segan-segan pula dikecamnya mereka: “engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula” (2:4), “Aku mempunyai beberapa keberatan terhadap engkau” (2:14), “engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati” (3:1), “engkau tidak dingin dan tidak panas” (3:15).
Pujian dan kecaman Kristus mekar dari kepedulian. Sasarannya bukan untuk membuat besar kepala atau kecil hati tetapi supaya Gereja “kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Ef. 1:4). Ini menandaskan bahwa selama masih di dunia sini Gereja tidaklah kedap kesalahan. Ia tetap butuh penguatan dan koreksi (manakala salah).
Itulah pula yang diupayakan Samuel J. Stone. Sejarah mencatat bahwa ia menggubah liriknya ketika Gereja Inggris digoncang para rohaniwan(!) yang menyerang wibawa Al Kitab. Secara khusus Stone juga prihatin melihat orang mengucap Pengakuan Iman Rasuli tanpa paham maknanya. Jadi, lirik “Satu-satunya Dasar Gereja” (The Church’s One Foundation; aslinya terdiri dari tujuh bait) dibaktikannya untuk menyikapi semua itu.
Stone, seorang anggota Gereja, peduli kepada Gereja. Masakan kita tidak?
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.