Hoegeng: “Kita Tidak Gentar Menghadapi Orang-orang Gede”

Oleh Viona Wijaya

Institusi penegakan hukum di Indonesia, terutama kepolisian, dikenal sebagai tempat praktek KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) bertumbuh subur. Orang kerap mengatakan hidup lurus di institusi semacam ini adalah mustahil. Namun ada seorang polisi yang berani mengatakan tidak pada segala godaan dan berintegritas hingga akhir hidupnya. Dialah Hoegeng Iman Santoso.

Hoegeng bernama asli Iman Santoso. Ia lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921 dan menutup usia di Jakarta pada 14 Juli 2004. Iman Santoso berarti kuat iman, sementara Hoegeng berasal dari kata “bugel” (gemuk), panggilan Hoegeng ketika masih kecil. Panggilan tersebut lama-lama berubah menjadi “Bugeng,” lalu “Hugeng” (ejaan lama: Hoegeng).

Sejak kecil, Hoegeng bercita-cita menjadi polisi. Ayahnya, Sukario Hatmodjo, dan kedua rekan ayahnya, Ating Natadikusumah dan Soeprapto, terkenal sebagai trio penegak hukum yang jujur dan profesional. Ketiga orang inilah yang sangat menginspirasi Hoegeng.

Kejujuran dan ketegasan Hoegeng mulai dikenal ketika ia bertugas di Medan, kota yang saat itu merupakan sarang judi, penyelundupan, dan korupsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengusaha Medan kerap menyuap para pejabat untuk melicinkan jalannya usaha ilegal mereka.

Pengujian terhadap integritas Hoegeng pun dimulai. Begitu tiba di Medan, Hoegeng ditawari rumah dan mobil oleh utusan yang mengaku berasal dari kelompok pengusaha tertentu. Tawaran ini ditolaknya mentah-mentah. Hoegeng memilih tinggal di hotel sampai ia mendapat rumah dinas.

Belum putus asa, mereka kemudian memenuhi rumah dinas Hoegeng dengan berbagai perabot mewah. Tetapi usaha mereka untuk merebut hati sang kepala polisi kembali gagal. Perabot-perabot itu ia keluarkan ke jalan di depan rumahnya dan dibiarkan begitu saja! Hadiah-hadiah lain yang dikirimkan padanya sebagai suap bernasib sama.

Tindakan tegas Hoegeng menggemparkan Medan. Selama ini masyarakat berpandangan bahwa para pejabat mudah disuap. Faktanya, memang banyak pejabat di Medan yang menjadi pelindung para pelaku bisnis ilegal. Rupanya kepala polisi yang satu ini berbeda! Bukan saja ia tak mempan disuap, ia juga berani mengusut para pelaku bisnis ilegal, termasuk tentara dan polisi, untuk kemudian diproses secara hukum.

Ketika menjadi Kapolri (1968-1971), Hoegeng tetap anti-suap dan tak pandang bulu dalam menindak pelanggaran hukum. “Kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapapun. Kita hanya takut kepada Tuhan yang Maha Esa,” katanya ketika mengeluarkan instruksi pengusutan kasus Sum Kuning (kasus pemerkosaan yang diduga melibatkan beberapa anak pejabat). Ia juga mengusut kasus penyelundupan mobil mewah yang dilakukan oleh seorang pengusaha kaya.

Setelah tak lagi menjabat sebagai Kapolri, ia tetap bersuara untuk memperjuangkan keadilan dan kepentingan masyarakat. Jelas bahwa “melindungi dan melayani” masyarakat baginya bukan jargon belaka.

Melihat kondisi Indonesia kini, kita menemukan tantangan-tantangan yang serupa dengan yang dihadapi Hoegeng di masanya. Institusi penegakan hukum masih dicap sebagai institusi terkorup, begitu pula lembaga-lembaga negara lainnya. KKN masih merajalela! Indonesia sudah merdeka 66 tahun, tetapi kemerdekaan dari KKN ini belum juga kita rasakan.

Di tengah keadaan seperti inilah teladan seorang Hoegeng menepuk pundak dan menguatkan hati kita untuk berani hidup benar. Dulu seorang Hoegeng bangkit untuk meluruskan institusi Kepolisian yang dibengkokkan KKN. Hari ini kita rindu melihat bukan hanya “seorang,” tapi banyak “Hoegeng” lain bangkit untuk melakukan hal serupa, bukan cuma di Kepolisian tapi juga di institusi-institusi lain.

Tak ragu menolak suap. Tak gentar menghadapi orang-orang gede. Tak pernah membiarkan hati dipalingkan dan dibutakan oleh harta ataupun jabatan. Tak terhentikan untuk membela kepentingan rakyat. Hoegeng telah menggemparkan negeri ini dengan segala sepak terjangnya!

Ia berhasil mematahkan anggapan bahwa hidup berintegritas di tempat KKN tumbuh subur adalah mustahil. Jadi, mari kita berhenti mengungkung diri dengan kata-kata “tak mungkin hidup lurus di institusi ini atau itu”. Mari kita ikuti teladan Hoegeng. Biar Indonesia gempar lagi—demi kebaikannya—oleh pribadi-pribadi berintegritas yang tak tergoyahkan hingga akhir.

.

Viona Wijaya adalah seorang mahasiswa jurusan hukum yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Sumber riwayat

2 thoughts on “Hoegeng: “Kita Tidak Gentar Menghadapi Orang-orang Gede”

  1. tjong hok liang

    Wah, Hoegeng. Iya memang perlu orang berintegritas di negri ini. Biar orang yang benar-benar merdeka lahir-batin-ruh menjabat pemerintahan negri ini. Kira-kira dari mana kita dapat memulainya–memulai mendengungkan integritas di negri ini?–bagi orang lain yang belum ‘merdeka’ pasti berkata sama: mustahil.

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *