Oleh S.P. Tumanggor
Dari kenangan berkumpul bersama para pemuda di masa perjuangan di Yogyakarta, Liberty Manik (1924-1993) menggubah lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang elegan itu.1 “Dan lagu itu akan abadi,” ujar Jansen Sinamo, guru etos asal Dairi, Sumatera Utara, daerah kelahiran Manik. “Selama Indonesia masih ada di bumi lagu itu akan terus dikumandangkan dengan takzim, penuh getar, dan rasa cinta buat negeri ini.”2
Napas lagu Manik didapat dari Kongres Pemuda 1928 sebab formula nusa-bangsa-bahasa dalam liriknya adalah khas Sumpah Pemuda—ikrar yang dihasilkan kongres tersebut. Baris terakhir yang diguratkan Manik teramat agung: “Nusa, bangsa, dan bahasa kita bela bersama.”
Tetapi lain cita-cita lain kenyataan. Baris merdu-megah penutup lagu Manik itu mudah dilantunkan dengan tepat tetapi rupanya susah dilaksanakan dengan tepat. Apalagi di Indonesia hari ini.
Sudah susah orang Indonesia membela nusa bersama. Tidak meratanya pembangunan dan keterwakilan mendesak beberapa daerah bergumam soal lepas dari NKRI. Gumaman mereka mengalun jadi lagu tersendiri yang meredam mantera “nusa, bangsa, dan bahasa kita bela bersama.”
Era reformasi telah mengorak simpul keterpusatan RI dan menganugerahkan otonomi daerah yang terkadang menguntungkan, terkadang merugikan. Mabuk otonomi—memerintah mandiri—membuat beberapa wilayah terhuyung-huyung menatang kristal janji hidup berbangsa yang berbasis UUD 1945 dan Pancasila.
Sudah susah pula orang Indonesia membela bangsa bersama. Tanpa musuh bersama, yang diperankan Belanda dan Jepang di masa lampau, sebagian khalayak Indonesia “pulang perang” secara keliru ke “kampung” golongannya masing-masing. “Pulang” yang keliru ini mendorong mereka mementingkan suku atau agama sendiri daripada “nusa, bangsa, dan bahasa kita bela bersama.”
Selagi Indonesia meluncur menuju dasawarsa ketujuh kemerdekaannya, penghargaan dan pembelaan terhadap orang sebangsa malah jumud, kalau bukan susut. Banyak pejabat, pemuka, pengusaha, dan juga rakyat gagal memandang TKW yang disiksa, gadis yang diperdagangkan, atau anak jalanan sebagai saudaranya sendiri, sebangsa dan setanah air.
Dan pastinya sudah susah orang Indonesia membela bahasa bersama. Jika nusa dan bangsa masih jadi buah bibir anak bangsa, bahasa bernasib paling buruk: diperkosa di bibir anak bangsa. Kaum terpelajar 1928 bergairah menjunjung bahasa persatuan Indonesia, tetapi kaum terpelajar masa kini bernafsu meng-Inggris atau meng-Arab daripada “nusa, bangsa, dan bahasa kita bela bersama.”
Di era kesejagatan (globalisasi) hari ini kebanyakan orang Indonesia tidak tampil jadi insan multibahasa yang menguasai bahasa lain di samping bahasa nasionalnya sendiri. Sebaliknya, mereka jadi insan sulit-bahasa yang tak kunjung menguasai bahasa lain dan tak kunjung menguasai bahasa nasionalnya sendiri. Mau bagaimana pula memimpikan bahasa Indonesia dinobatkan jadi bahasa internasional (bahasa Indonesia dinilai sangat memenuhi syarat untuk itu)?
Kala orang Indonesia tak lagi serius memaknai nusa, bangsa, dan bahasa, seisi buana akan melihat Indonesia terus terpincang-pincang dan tersipu-sipu di tengah pergaulan antar bangsa. Kala orang Indonesia tak lagi paham rincian arti kata kita, bela, dan bersama, seisi buana bisa menaksir-naksir berapa lama lagi umur Indonesia di bawah langit dan matahari.
Jadi, tanya-tanya penting harus diletupkan orang Indonesia sendiri di jantungnya: Mahalkah, berhargakah, muliakah nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia bagiku? Maukah aku—kami—gesit, gigih, dan giat membela semua itu bersama-sama sepanjang masa? Ini memang soal ke-mau-an—soal itikad, tekad, niat—yang tak pernah segampang pengucapan belaka.
Ya, membahanakan Satu Nusa Satu Bangsa dalam “takzim, penuh getar, dan rasa cinta buat negeri ini” adalah baik, selamanya baik. Namun, keeleganan lagu karya Liberty Manik itu barulah sempurna ketika baris “kita bela bersama” benar-benar dilaksanakan oleh seluruh warga Nusantara, orang-orang yang terikat ikrar demi nusa, bangsa, dan bahasa yang satu: Indonesia.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
- “Jenazahnya Dilepas dengan Konser” dalam Tempo terbitan 25.09.1993. <http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1993/09/25/OBI/mbm.19930925.OBI3812.id.html>.
- Jansen Sinamo. “Andaikan Abang Jadi Bupati Dairi” dalam blog Candid Talks with Jansen Sinamo. <http://jansen-sinamo.blogspot.com/2008/12/andai-guru-etos-jadi-bupati-dairi.html>.
Artikel yang menarik :). Mari kita mulai dari diri kita sendiri. Berikutnya, kita tularkan semangat persatuan tersebut kepada orang-orang di sekitar kita. Selanjutnya, kita wariskan semangat persatuan ini kepada generasi selanjutnya 🙂 …
Satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Demi Indonesia yang lebih baik!