Menjadi Penderma Bahagia nan Cerdik

Oleh Yulius Tandyanto

Semua orang ingin hidup bahagia. Dan kebanyakan orang beranggapan bahwa untuk mencapai kebahagiaan mereka harus meningkatkan kekayaan, pendapatan, serta harta benda. Anggapan itu tidaklah keliru, malahan kita dapat melihat hubungan positif antara kekayaan dan cita-cita yang bisa diraihkannya: orang kaya umumnya memiliki pendidikan yang lebih baik, kesehatan yang lebih baik, dan beragam kelebihan lainnya dibandingkan orang miskin. Jadi, kita dapat simpulkan: makin kaya seseorang, kian bahagialah ia.

Namun, anggapan di atas menjadi keliru dan menyesatkan bila kita memutlakkannya. Bagaimana mungkin seorang kaya merasa bahagia, bila tetangga atau kerabatnya berada dalam perangkap kemiskinan? Sekaya apa pun seseorang tak mungkin ia berbahagia sementara orang lain menderita, kecuali hati nuraninya telah terkubur dalam liang tanpa rasa. Itulah paradoks kebahagiaan.

Kebahagiaan tidak hanya berkisah tentang diri sendiri atau materi, tetapi sekaligus hadir dalam hubungan antarmanusia. Kalangan psikolog menyebut sifat ini sebagai eudaimonia—semacam kebaikan tertinggi. Nichomachean Ethics, sebuah mahakarya etika garapan Aristoteles, dalam Bruni (2005:8) menggambarkan eudaimonia:

Sungguhlah aneh melihat orang bahagia hidup seorang diri. Pasalnya, tak ada seorang pun yang menginginkan seluruh dunia, tetapi hidup sendirian. Manusia adalah makhluk politik yang memiliki sifat alami untuk hidup bersama manusia lainnya. Begitu pula halnya dengan orang bahagia karena ia memiliki sesuatu yang baik dalam dirinya untuk dibagikan bersama-sama dengan sesamanya. Dengan demikian, orang yang berbahagia membutuhkan kawan.

Lantas, bagaimana kita dapat berbagi (berderma) kebahagiaan dengan orang lain? Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan sesuatu yang profan untuk tujuan yang mulia. Setidaknya kekayaan teologis inilah yang saya temukan dalam perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur (Lukas 16:1-9). Sang bendahara berlaku cerdik dengan mengecilkan nilai surat hutang. Bagi orang-orang yang berhutang, tentu sang bendahara akan dianggap sebagai penolong, sedangkan sang tuan puas karena tetap mendapat untung dari pinjaman yang diberikan.

Perumpamaan tersebut  perlu dipahami dalam konteks bahwa pada tradisi Israel tidak diperkenankan untuk memungut bunga uang atau riba (bandingkan dengan Yehezkiel 18). Itulah sebabnya sang tuan memuji kecerdikan sang bendahara. Di sisi lain, secara tak langsung Yesus juga menegaskan untuk memanfaatkan materi fana demi tujuan yang bersifat kekal (ayat 9).

Demikian pula kondisi serba tak ideal saat ini mengharuskan kita untuk bersikap cerdik sekaligus tulus—tetap berada di jalan yang benar—ketika menolong orang lain. Pemenang nobel perdamaian tahun 2006, Muhammad Yunus, mewujudkan sikap tersebut dengan mendirikan Bank Grameen yang ditujukan bagi orang-orang miskin. Yunus berhasil mempraktikkan prinsip bisnis sosial sehingga orang-orang yang ditolongnya mampu hidup mandiri dan tidak bergantung kepada suntikan dana dari para penderma (program pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, bantuan internasional, dsb).

Kita pun tak perlu ragu untuk menggelontorkan pundi-pundi harta untuk tujuan sosial yang jelas. Namun, kita juga harus yakin bahwa dana yang telah diberikan tidak membuat bisnis sosial tersebut menjadi “manja”. Misalnya, kita dapat terlibat sebagai pemegang saham atau sponsor dalam dunia literatur/penerbitan. Kita tentu tahu bagaimana rendahnya minat baca masyarakat kita. (Anda dapat membaca tulisan-tulisan di bulan sembilan.) Oleh karena itu, dana yang diberikan jelas bukan untuk mendapatkan keuntungan materi semata, tetapi terutama untuk menyebarluaskan pengetahuan (buku-buku) yang baik dan bermutu di kancah perang informasi.

Oleh karena itu, jadilah penderma yang berbahagia juga cerdik!

.

Yulius adalah seorang mahasiswa jurusan komunikasi yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.

.

Daftar Pustaka

Luigino Bruni and Pier Luigi Porta. Economics and Happiness, Framing the Analysis. New York: Oxford University Press, 2005.

Muhammad Yunus. Creating a World Without Poverty: Social Business and the Future of Capitalism. New York: PublicAffairs, 2007.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *