Lelang Pendidikan

Oleh Hariya Oktaviany

Pernah mengikuti pelelangan atau melihat orang lain menawar dalam lelang? Kita tahu bahwa lelang merupakan penjualan barang melalui penawaran harga yang semakin meningkat untuk mencapai harga tertinggi. Biasanya peserta lelang yang memiliki uang banyaklah yang berhasil mendapatkan barang, karena ia mampu membayar penawaran harga tertinggi.

Selain barang, pendidikan juga ternyata bisa dilelang. Pernahkah Anda berpikir tentang hal itu? Izinkan saya memberi gambaran mengenainya dari pengalaman KKN (Kuliah Kerja Nyata) belum lama ini di sebuah kabupaten di Kalimantan Barat (Kalbar). Di sana saya dan teman-teman KKN biasa berbincang dengan warga mengenai banyak hal.

Satu kali, dalam sebuah perbincangan, seorang warga mengeluh karena anaknya gagal masuk kuliah lewat jalur beasiswa pemerintah.1 Ia sudah menyiapkan sejumlah uang sebagai “pemulus,” tetapi seperti katanya sendiri, “Eh, tahu-tahunya malah anak pak si Anu yang dapat.”

Seorang bapak menanggapinya dengan enteng, “Pak si Anu kan nyiapkan duit lebih besak. Mana dia punya orang dalam agik. Kalahlah kite.”

Sekelumit perbincangan di atas mengungkap contoh lelang pendidikan. Saya mengatakan “lelang” karena kebanyakan jalur beasiswa, baik tingkat sekolah maupun perguruan tinggi, diperoleh anak-anak keluarga berada. Bukan rahasia lagi, siapa mampu menyediakan uang lebih besar untuk oknum pengelola beasiswa, dialah yang berhasil mendapatkannya.

Seperti kita ketahui, pendidikan seharusnya disediakan pemerintah seluas-luasnya bagi generasi muda. Namun, lelang pendidikan mempersempit peluang tersebut bagi masyarakat tidak mampu. Akibatnya, pendidikan di kampung-kampung, khususnya di pedalaman, jadi tidak berkembang. Remaja dan anak-anak kampung yang seharusnya berada di sekolah atau kampus sering kali malah terpaksa berada di hutan atau di kebun dan sawah orang tua mereka.

Selain itu, lelang pendidikan bisa mencacati mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Sebagian anak yang masuk sekolah lewat permainan uang ternyata tidak mampu menunjukkan prestasi, malah ada yang berhenti di tengah masa pendidikan. Secara psikologis, itu terjadi karena mereka menjadi sombong dan menganggap uang mampu mengatasi segala masalah. Dengan generasi muda berpola pikir seperti ini, Indonesia tidak akan bisa mengatasi masalah “UUD” (“Ujung-Ujungnya Duit”) yang sangat menghambat kemajuannya.

Untuk mengatasi masalah tersebut, saya kira tidak ada cara ampuh selain tindakan tegas pemerintah. Tindakan ini mungkin bisa berupa sanksi administratif bagi oknum instansi pemerintah yang melakukan lelang pendidikan. Lebih jauh lagi, saya rasa lelang pendidikan adalah penyalahgunaan wewenang oleh oknum tersebut akibat suap (uang lebih yang diberikan masyarakat). Ini dapat menjatuhkan sanksi pidana terhadap si oknum.2

Terlepas dari itu, pemerintah juga bisa membuka kesempatan memperoleh pendidikan melalui dua jalur. Jalur pertama, untuk masyarakat ekonomi lemah dengan jalan mencari anak-anak yang tidak mampu namun berprestasi dan berkeinginan untuk melanjutkan sekolah (seperti dilakukan beberapa sekolah swasta). Jalur kedua, untuk umum, dengan jalan tes serta memberikan beasiswa kepada anak yang berprestasi, baik dari golongan atas maupun bawah.

Tetapi masalah membuka kesempatan pendidikan bukan sepenuhnya urusan pemerintah. Masyarakat juga memiliki peran penting untuk bersama-sama menghapus lelang pendidikan, yaitu dengan cara memiliki rasa keadilan yang tinggi. Golongan atas, misalnya, bisa menahan diri untuk tidak turut mendaftar dalam program beasiswa yang memang ditujukan untuk masyarakat golongan bawah.

Ketika pemerintah dan masyarakat mampu bekerja sama mendirikan keadilan, maka akan terjadilah pemerataan pendidikan di tiap daerah. Keseimbangan kesempatan bersekolah pasti akan menghasilkan SDM yang bermutu bagi Indonesia.

Akhirnya, kita semua—pemerintah dan masyarakat—memang sudah seharusnya berjuang menghilangkan praktik lelang pendidikan. Perkataan “orang miskin dilarang sekolah” jangan sampai tergenapi. Saya, Anda, Kalbar, dan Indonesia harus berusaha menghapus “UUD” di dunia pendidikan demi bangkitnya SDM terbaik di Indonesia.

.

Hariya adalah seorang mahasiswa jurusan pendidikan yang tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat.

.

Catatan

1 Beberapa instansi pemerintah di Kalbar menyediakan beasiswa khusus guna membantu anak daerah yang tidak mampu tetapi berprestasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan.

Pasal 419 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pejabat: Ke-1 yang menerima hadiah atau janji; padahal diketahui, bahwa itu diberikan untuk menggerakkan dia supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.” Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggolongkan tindak pidana yang disebutkan dalam pasal 419 KUHP tersebut sebagai tindak pidana korupsi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *