Seni yang (Belum) Merdeka

Oleh Yulius Tandyanto

Seni yaitu gerakan sukma
– J.E. Tatengkeng

Suatu kali saya menyambangi pameran seni bersama seorang teman. Berulang kali kami terpaku memandang karya-karya seni yang ada di sana. Uniknya, lekat perhatian kami bukan karena daya pukau karya-karya itu, tapi karena berusaha keras memahami makna dan keindahannya.

Di kala lain, saya mendengar seorang rohaniwan berseru bahwa seni yang baik adalah karya yang dapat membawa manusia datang kepada Tuhan. Naga-naganya ia menafsirkan seni sebagai “alat” untuk mencapai tujuan teologis. Alhasil, suatu karya seni dipandang “baik” bila bercorak religius.

Dari dua pengalaman tersebut, saya bernala-nala, “Apakah seni masih sedemikian terasing dan terkekang setelah 67 tahun bangsa ini menghirup udara kemerdekaan?” Pasalnya, pada pengalaman pertama, seni sekonyong-konyong membuat saya menjadi mahkluk asing. Artinya, seni tidak lagi dapat dinikmati oleh masyarakat, hanya oleh Tuhan, seniman, dan (mungkin) komunitas sang seniman. Boleh jadi karena itulah masyarakat memberi stigma “aneh” pada para pekerja seni dan aktivitasnya.

Pada pengalaman kedua, seni mengerdil dan melacurkan diri sebagai alat propaganda agama. Dalam konteks yang lebih luas, kita akan temukan bahwa seni bukan lagi untuk seni itu sendiri tapi untuk kepentingan pragmatis: baik teologis, politis, maupun ekonomis. Ragam fakta keseharian ini membuktikan bahwa seni kita belum merdeka. Lantas, bagaimanakah seni yang merdeka itu?

Barangkali ungkapan Tatengkeng, penyair berdarah Sangir, yang saya nukilkan di atas dapat menjadi salah satu alternatif pertimbangan. Pernyataannya sungguh sederhana, tapi maknanya dalam. Sederhana karena tak memuat kalimat-kalimat yang panjang dan jelimet. Namun, dalam satu kalimat ia coba jelaskan arti seni dalam paduan dua kata, yakni gerakan dan sukma.

Justru dalam kesederhanaan dua kata itulah terletak kedalaman maknanya. Sebagai gerakan sukma, yang ada adalah kehendak yang tidak pernah tetap. Bagi saya kehendak tersebut bermain dengan kreatif tanpa mencari-cari alasan dan tujuan, kecuali peng-iya-an terhadap kehidupan yang apa adanya.

Contohnya begini: misalkan saja Anda sedang menjelajah suatu gunung. Sepanjang perjalanan Anda disambut dengan udara sejuk yang mengisi paru-paru. Dan sejauh mata memandang, hijau pepohonan tak henti-hentinya memanjakan netra Anda. Lantas ketika Anda telah berada di puncak seraya menatap sekeliling, muncul suatu rasa takzim yang bergelora di dalam dada Anda.

Begitu pula ketika Anda sedang berjalan-jalan menyusuri pantai sambil menikmati matahari terbenam berlangitkan lembayung senja, tak ketinggalan udara hangat dan debur ombak yang berkarib dengannya. Anda terkesima oleh pemandangan itu hingga lidah pun kelu karena tak sanggup melukiskan perasaan Anda.

Rasa takzim dan lidah yang kelu dalam pengalaman di atas mewakili ekspresi manusia akan suatu karya seni agung. Anda dan saya tak perlu mencari-cari alasan juga tujuan atas reaksi tersebut. Mengapa? Karena ekspresi tersebut merupakan tanggapan alamiah dan menyatu dengan kehidupan yang apa adanya—lengkap dengan keindahan misterinya.

Itulah rasa seni. Dan suatu karya seni akan tercipta bila sang seniman mampu mengolah rasa itu dan menghadirkannya bagi diri dan orang lain dalam segala bentuk seni. Pun kehadiran karya seni itu memerdekakan bila karya itu menyemesta dan merayakan kehidupan. Dengan kata lain, seni yang merdeka adalah seni yang dapat dinikmati oleh sebanyak-banyaknya orang dan lekat dengan kehidupan masyarakat.

Sebetulnya bangsa ini punya segudang karya seni rancak dan apik. Tapi apa mau dikata, kebanyakan orang baru sibuk memedulikannya ketika warisan budaya kita diklaim bangsa lain atau sedang terancam punah. Karena itu, perlu upaya kreatif dari pekerja seni, masyarakat, dan pemerintah untuk memerdekakan seni Indonesia.

Misalnya, para seniman dapat mengembangkan karya seni dan menautkannya dengan kondisi kekinian seperti yang dilakukan oleh Muhammad Tavip (46) dengan Wayang Tavip-nya1. Masyarakat juga dapat memulai gerakan apresiasi seni dengan mengajak anak-anaknya ke pameran seni. Dan yang tak kalah penting, pemerintah perlu memulai program pemeliharaan dan pendokumentasian karya-karya seni Nusantara dengan cergas.

Semoga saja seni Indonesia tak lagi terasing atau terkekang, tapi sungguh-sungguh menjadi gerakan sukma Indonesia yang merdeka!

.

Yulius adalah seorang mahasiswa pascasarjana jurusan filsafat yang tinggal di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Wayang Tavip adalah inovasi wayang berwarna dengan menggunakan bahan daur ulang limbah plastik, tata cahaya khusus, dan layar khusus. Wayang ini sudah tampil di Spanyol, Yunani, dan Korea—bahkan mendapat penghargaan sebagai seni kreasi orisinal di Vietnam. Informasi lebih lengkap dapat diakses di www.wayangtavip.com.

4 thoughts on “Seni yang (Belum) Merdeka

  1. Yohanes Halim Febriwijaya

    Menarik sekali kalau ingat W.S Rendra pernah menulis begini di salah satu puisinya

    “Apakah artinya kesenian,
    bila terpisah dari derita lingkungan.
    Apakah artinya berpikir,
    bila terpisah dari masalah kehidupan.”

    Kayaknya mungkin insan yang merajut kesenian sekarang lagi terjajah oleh pemikirannya sendiri alih-alih kembali membumi 😀

    Reply
    1. yulius tandyanto

      Wah, mantap, Yo. Penyair kawakan modern seperti Rendra pun setuju bahwa seni lekat dengan masalah kehidupan. Semoga kita semua sadar akan “penjajahan” jenis ini. 🙂

      Reply
  2. Victor Samuel

    Halo Ko Iyung,
    makasih buat tulisannya. Seperti biasa, tulisanmu selalu indah, unik, dan sarat makna. Namun, ada beberapa keraguan muncul di benak ini.

    Pertama, bagaimanakah seni, yang merupakan “peng-iya-an terhadap kehidupan yang apa adanya,” bisa selalu konsisten terhadap proses pemerdekaan seni yang bertujuan seni tersebut “dinikmati oleh sebanyak-banyaknya orang dan lekat dengan kehidupan masyarakat”?

    Reaksi emosional sang seniman terhadap keadaan sekitarnya (atau meminjam istilah Ko Iyung, “peng-iya-an”), memang, adalah spontan dan tidak pernah mencari-cari alasan atau tujuan. Mungkin contoh mudahnya adalah ketika kita sakit hati ditolak gebetan. Ya, ‘rasa’ sedih itu muncul secara spontan, tanpa didahului proses akal yang panjang dan berkesimpulan logis bahwa saat itu ia harus sedih.

    Namun, pengalaman dan reaksi orang tentu berbeda-beda dalam hal jenis maupun kerumitannya. Tentu puisi yang ditulis anak SD tidak akan sama dengan yang ditulis Rendra. “Sajak Sebatang Lisong” yang dikutip Pak Yohanes di atas mungkin akan menggerakkan hati mahasiswa-mahasiswa ITB tapi belum tentu halnya jika yang dengar petani. Begitu juga, lirik-lirik lagu Rhoma Irama, yang mungkin dinikmati banyak orang dan lekat dengan kehidupan masyarakat belum tentu dapat dinikmati oleh orang-orang yang lebih memilih mendengar Cello Suite-nya Bach.

    Jika peng-iya-an tersebut perlu mengalami proses “pemerdekaan,” bukankah akhirnya pada akhirnya “kita akan temukan bahwa seni bukan lagi untuk seni itu sendiri tapi untuk kepentingan pragmatis,” yakni meraup penikmat sebanyak-banyaknya?

    Keraguanku yang kedua ada di dalam konteks Kristen, yang mungkin terkait dengan komentar sang rohaniwan di tulisan Ko Iyung.

    Aku ambil contoh yang Ko Iyung pakai tentang seseorang yang menjelajah gunung maupun menyusuri pantai. “Rasa takzim dan lidah yang kelu dalam pengalaman di atas mewakili ekspresi manusia akan suatu karya seni agung.” Aku setuju pernyataan ini namun aku berpikir penting sekali adanya kesadaran kita bahwa Allahlah yang telah menciptakan itu semua sehingga peng-iya-an seorang Kristen bukanlah sekedar peng-iya-an, melainkan sebuah penyembahan. Sebaliknya, melepaskan Allah di dalam ekstasi akan ciptaan adalah sebuah penyembahan berhala.

    Terkait hal ini, izinkan aku mengutip C. S. Lewis dari bukunya “Letter to Malcolm” (diterjemahkan bebas olehku):
    “Kita tidak bisa … mendengar suara burung sebagaimana apa adanya. Makna atau pesan (“Itu ada burung”), tak dapat terhindarkan datang bersamaan dengan suaranya–sebagaimana seseorang tak bisa melihat sebuah kata sebagai pola visual semata. Pembacaan itu datang secara tak sengaja bersama dengan penglihatannya. … Pembedaan itu seharusnya menjadi, dan kadang-kadang memang, tidak mungkin; untuk menerimanya dan menyadari sumber ilahinya adalah pengalaman yang tunggal. … Kita tahu bahwa kita sedang disentuh oleh jari tangan kanan itu, yang padanya ada sukacita selamanya. Tidak perlu ada pertanyaan akan ucapan syukur ataupun pujian secara terpisah, yang dilakukan sesudahnya. Mengalami teofani [perwujudan Allah di dunia dalam wujud tertentu; biasanya muncul di Perjanjian Lama] kecil itu sendiri adalah mengagumi.”

    Aku jadi paham apa yang dimaksud sang rohaniwan. Ketika peng-iya-an itu sendiri adalah sebuah penyembahan, tentu seni yang dihasilkan adalah sebuah karya yang “membawa manusia kepada Tuhan.” Inilah seni yang ‘baik’ karena konsisten dengan panggilan orang Kristen untuk memberkati orang lain, sesuatu yang hanya mungkin jika kita sudah merasa terberkati terlebih dahulu.

    Karena itu, ‘motivasi’ relijius (baik bersyukur dalam sukacita ataupun meratap dalam dukacita) seharusnya tak dipisahkan dalam seni yang dihasilkan orang Kristen. Toh orang Kristen pun dipanggil untuk berkarya dalam konteks masyarakat dan bangsa.

    Namun, sepaham dengan Ko Iyung, aku tidak setuju bahwa semuanya harus memiliki ‘corak’ relijius, yakni atribut-atribut keagamaan. Keindahan seni itu sendiri, lepas dari atribut agama, menunjuk keberadaan Sang Seniman Agung.

    Salam,
    Victor

    Reply
  3. yulius tandyanto

    Wah, terima kasih untuk tanggapannya, Victor. Saya akan coba tanggapi kedua keraguanmu ya 🙂

    Pertama, mengenai keselarasan antara “seni sebagai seni” dengan “dinikmati masyarakat seluas-luasnya”. Keraguanmu beralasan karena saya rasa memang ada perdebatan yang belum terselesaikan hingga kini: apakah seni terutama berkutat dalam ranah logika, estetika, atau lainnya? Tapi, untuk kepentingan praktis saya tak akan bahas di ruang ini.

    Yang saya coba usulkan adalah semacam memberi konteks alam pikir untuk sebuah karya seni. Sederhananya, sang seniman perlu memberi arahan agar para penikmat seni dapat menafsir karya seninya. Dengan begitu ada titik temu antara “seni sebagai seni” dan “dinikmati oleh masyarakatnya”.

    Misalnya, beberapa hari yang lalu saya sempat menemukan buku sejarah mengenai corak motif batik yang ada di seluruh nusantara. Mulai dari motif mega mendung cirebonan hingga batik khas NTT (kalau tidak salah ingat). Nah, alangkah baiknya para seniman juga menyediakan informasi latar belakang ini sehingga masyarakat dapat makin menghargai sejarah, kreativitas, dan keunikan sebuah karya seni. Dengan demikian, kita melibatkan masyarakat untuk menyebarluaskan karya seni baik di tanah air sendiri maupun mancanegara.

    Kedua, mengenai seni yang membawa manusia pada Tuhan. Penekanan saya adalah pada kata “alat” dan “dipandang baik”. Jika seni dimaknai sebagai alat untuk mencapai tujuan teologis (dakwah, dsb.), maka yang terjadi adalah manipulasi (paksaan) yang bersifat estetis. Dan pada akhirnya seni akan bersifat politis (propaganda) pada agama apa pun, bahwa seni yang baik cenderung bercorak religius. Misalnya, lukisan “Kembalinya Sang Anak Hilang” karya Rembrandt van Rijn dinilai lebih “baik” (surgawi) dibandingkan lukisan “Kakak dan Adik” karya Basuki Abdullah.

    Tentu akan lain ceritanya bila seni pertama-tama menjadi suatu laku reflektif tanpa “paksaan teologis”, maka ada ketulusan dalam diri manusia untuk meng-iya-kan pengalaman dirinya dalam memaknai kehidupan ini. Dan refleksi tersebut memberikan makna yang bermacam-macam, termasuk makna teologis. Kisah Lewis yang Victor ceritakan merupakan salah satu contoh bagaimana pengalaman estetis memberi makna pada keyakinan Lewis, dalam hal ini pada Tuhan.

    Semoga komentar ini menanggapi keraguanmu, Vic! 🙂

    Salam,
    Yulius

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *