Oleh Yulius Tandyanto
Ada pengalaman yang menarik di bulan Desember 2011. Menjelang hari Natal kala itu, ponsel saya sering bergetar dengan selang waktu yang tak terlalu lama. Itu berarti ada beberapa pesan singkat (SMS) yang masuk ke ponsel saya dengan selisih waktu yang berdekatan. Isinya adalah ucapan-ucapan yang berkaitan dengan perayaan Natal. Yah, suatu ritual yang tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Tapi yang menggelitik perhatian saya di penghujung tahun itu bukanlah isi pesannya, melainkan bahasa pengantar pesannya dan nama-nama pengirimnya. Hampir sekitar tiga puluh pesan yang saya baca itu berbahasa Inggris dan dikirim oleh handai taulan yang bernama Hans, Necholas, Andreas, Robert, Philip, Alice, Jordan, Edward, Monica, dan lain-lain. Bahkan nama anak-anak yang dicantumkan sebagian dari mereka juga bernuansa “Barat.”
Membaca pengantar bahasa Inggris dan nama-nama tersebut rasa-rasanya saya sedang berada di Tanah Eropa. Tapi untunglah saya segera tersadar dan tersenyum geli bahwa ternyata mereka yang mengirimkan pesan singkat itu adalah kawan-kawan saya yang berasal dari suku Batak, Jawa, Tionghoa, Toraja, dan beragam suku lainnya yang ada di Nusantara. Dan buyarlah perasaan bahwa saya sedang berada di Tanah Eropa itu.
Kegelian saya bukan bermaksud menganggap rendah para orang tua yang sudah memberikan nama kepada mereka. Tentu orang tua mereka punya berbagai angan, harapan, dan pemaknaan yang ingin ditanamkan pada anak-anaknya dengan menggunakan nama-nama yang bernuansa Barat ataupun yang berasal dari kitab suci. Hanya saja nama-nama tersebut terdengar “asing” dan “eksklusif” di Tanah Indonesia.
Saya kira lebih afdal jika kita menggunakan nama yang mengindonesia di tanah air sendiri. Selain lebih membumi, nama-nama yang mengindonesia akan mendukung upaya “menghidupkan” bahasa Indonesia dari mati surinya. O rasanya kita tak perlu ingkar dan berdalih tentang fakta-fakta mengenai bahasa Indonesia yang sedang karut-marut saat ini. Ada yang “nginggris”, alay, dan segala macam kreativitas lainnya yang membunuh tutur kata kita.
Nah, mengingat keadaan itu, bukankah kita akan turut melestarikan bahasa nasional dengan memberikan nama yang mengindonesia pada bayi (Indonesia)? Secara tak langsung, kita sedang memopulerkan kembali istilah-istilah yang mengindonesia. Namun, jangan-jangan alasan sebagian besar orang enggan menggunakan nama yang mengindonesia karena nama-nama tersebut terdengar kurang keren. Saya rasa pendapat itu tidaklah tepat karena keren menyangkut pola pikir dan kreativitas.
Pola pikir yang perlu kita bangun adalah kecintaan dan kepercayaan pada kemampuan diri bahwa kita dapat menghasilkan sesuatu yang baik, berguna, dan laik. Bila pola pikir ini dilakurkan dengan daya kreatif sang pembuatnya, maka terbentuklah suatu ciptaan yang istimewa. Dan hal yang serupa berlaku pula pada perihal membuat nama yang mengindonesia. Siapatah yang tak akan senang dan menganggap keren ketika mendengar ada seorang gadis bernama “Kemilau Mutia” ataupun “Kemilau Cempaka”?
Mungkin Anda juga akan bertanya-tanya, “Adakah nama-nama yang asli Indonesia?” Saya akan menjawab, “Ada!” Tapi dengan prinsip umum yang lebih kurang begini: nama-nama yang mengindonesia berakar dari nama-nama kedaerahan (suku). Prinsip ini tentu akan selaras dengan jaminan hukum dalam UUD 1945 Pasal 32 ayat 2 yang berbunyi: “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.”
Dengan demikian, nama-nama khas daerah seperti Maruli (Batak), Pingkan (Minahasa), Teras (Dayak), Joko (Jawa)—bahkan serapan budaya luar yang telah menyatu dengan leluri kita seperti Cempaka (Sanskerta/Melayu)—merupakan bagian dari kekayaan budaya nasional. Dan tak menutup kemungkinan perbauran antarbudaya akan menambah khazanah nama-nama yang mengindonesia, seperti Bhranta Balontia (Jawa-Minahasa), Kinawa Simamora (Toraja-Batak), Lina Chandrika (Tionghoa-Jawa), dan beragam lainnya.
Jadi, nama yang mengindonesia merupakan suatu sumbangsih nyata kita untuk berpihak kepada penggunaan bahasa Indonesia. Dan itu berarti kita sedang menghayati makna menjadi Indonesia dengan berupaya menggunakan bahasa Indonesia yang tepat dan indah. Kelak, saya berharap akan mendengar nama-nama mengindonesia yang elok, bahari, dan kirana. Semoga saja!
.
Yulius adalah seorang mahasiswa pascasarjana jurusan filsafat yang tinggal di DKI Jakarta.
.
Gilak, setuju banget sama yang inih!
jd igt tulisan k’yunk yang di Kompasiana 🙂
Ternyata nama2 putri bg Samuel menginspirasi penulis ini jga,hehehe..
oya, izin koreksi ya bg. Pada kalimat “Siapatah yang tak akan dan menganggap keren……..”, barangkali maksudnya “Siapakah”,.. 😀
Sebelumnya, salam kenal dari Padang..:-)
Wah, jadi pikir-pikir nih awak mengoleksi nama “kebaratan” untuk anak awak kelak. Kalau nama yang sudah terlanjur “kebaratan” sebelum terbitnya tulisan ini, harap dimaklumi yah, karena sesuatu.